Trump Terpilih Jadi Presiden AS Buat China Khawatir Dihajar Tarif Dagang Gila-gilaan
WASHINGTON – Terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat (AS) pada Pilpres 5 November 2024 menimbulkan kekhawatiran di China. Pasalnya, selama kampanyenya, Trump mengindikasikan bahwa dia akan mengenakan tarif hingga 60 persen terhadap barang-barang dari China.
Kekhawatiran ini diperparah dengan keputusan Trump menominasikan Mike Waltz, seorang tokoh agresif terhadap China sebagai Penasihat Keamanan Nasional (NSA), dan Senator Marco Rubio, seorang garis keras anti-China lainnya, sebagai Menteri Luar Negeri.
Rubio, disebut oleh New York Times, telah "lebih agresif terhadap China”, saat dia menjabat di Kongres AS sebagai Senator Florida pada 2020, masa jabatan pertama Trump. Rubio telah mensponsori RUU yang mencoba mencegah impor barang-barang China yang dibuat dengan menggunakan kerja paksa oleh minoritas Muslim Uighur China.
Mengutip dari The Singapore Post, Rabu (20/11/2024), pemerintahan Presiden AS Joe Biden telah menandatangani RUU ini menjadi undang-undang pada Desember 2021, yang menyebabkan kerugian moneter besar bagi China karena AS melarang barang-barang seperti kapas, tomat, dan polisilikon yang digunakan dalam pembuatan panel surya.
Bahkan di akhir rezimnya, Presiden Biden, menurut CNN, tidak bersedia memberikan keringanan apa pun kepada China. Dia telah menyelesaikan penerapan kenaikan tarif yang besar pada impor China tertentu. Dengan ini, tarif kendaraan listrik akan naik hingga 100 persen, sel surya 50 persen, baterai kendaraan listrik, mineral penting, baja, aluminium, masker wajah, dan derek kapal ke pantai 25 persen.
Namun, Trump-lah yang telah bersumpah untuk memberikan lebih banyak penderitaan kepada China setelah nantinya resmi berkuasa di Gedung Putih pada 21 Januari 2025.
Selama kampanye presiden, Trump telah berjanji untuk mengenakan tarif 60 persen pada semua barang China, yang secara tegas mengisyaratkan bahwa Beijing akan menghadapi tekanan lebih besar di bidang ekonomi dalam empat tahun ke depan di bawah kepemimpinan Trump. Dalam masa jabatan pertamanya di Gedung Putih, Trump telah mengenakan tarif yang mencapai 25 persen pada barang-barang China yang memasuki pasar Amerika.
Bahkan anggota parlemen dari Partai Republik tidak berminat untuk bersikap lunak terhadap China dan dalam hal ini, sekilas hal itu dapat dilihat dalam langkah mereka baru-baru ini untuk mendorong undang-undang di DPR, yang bertujuan mencabut hak China untuk menikmati status hubungan perdagangan normal permanen (PNTR) dengan AS.
Pada September 2024, sejumlah senator dari Partai Republik, termasuk Marco Rubio, telah memperkenalkan sebuah RUU di Kongres AS untuk mengakhiri hubungan perdagangan normal permanen dengan China.
Mendukung rancangan undang-undangnya terhadap status PNTR bagi China, Marco Rubio yang dilaporkan telah dicalonkan sebagai Menteri Luar Negeri oleh Trump, kemudian berpendapat bahwa, "memberikan China manfaat perdagangan yang sama seperti yang kita berikan kepada sekutu terbesar kita adalah salah satu keputusan paling buruk yang pernah dibuat negara kita."
Pada 14 November, senator Republik lainnya, John Moolenaar, telah mengajukan rancangan undang-undang serupa untuk mencabut status PNTR yang diberikan pemerintahan AS yang dipimpin Bill Clinton kepada Beijing pada 2000, yang menyebabkan peningkatan perdagangan dan investasi AS di China. Ekspor China ke AS meningkat berlipat ganda kala itu.
Defisit Perdagangan AS-China
Menurut data dari Departemen Perdagangan AS, antara 2001 dan 2021, nilai barang yang diimpor dari China melonjak hingga lebih dari USD500 miliar. Hal ini menyebabkan perpindahan yang cukup besar di banyak sektor AS, termasuk manufaktur karena perusahaan-perusahaan Amerika mengalihdayakannya ke China.
Defisit perdagangan AS dengan China meningkat lebih dari empat kali lipat, bersamaan dengan ekspor jutaan pekerjaan Amerika ke negara Asia Timur tersebut. Para ahli anti-PNTR berpendapat bahwa melanjutkan hubungan dagang normal yang permanen dengan China bukanlah hal mudah.
Dikatakan bahwa setelah RUU tersebut diubah menjadi undang-undang, RUU tersebut juga akan mencabut perlakuan 'De Minimis' yang diberikan kepada barang-barang bernilai rendah yang mencapai pasar AS dari China. Berdasarkan perlakuan ini, pengiriman paket dengan harga di bawah USD800 dibebaskan dari bea masuk, pajak, dan pemeriksaan ketat, menurut laporan South China Morning Post. China menggambarkan langkah tersebut sebagai upaya untuk "memutar balik roda sejarah."
"Beberapa politisi AS berupaya memutar balik roda sejarah dan menarik kembali hubungan perdagangan dan ekonomi China-AS ke era Perang Dingin,” kata Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China Lin Jian.
“Ini melanggar aturan WTO, dan hanya akan merugikan kepentingan bersama kedua negara, serta mengganggu ekonomi global. Kami mendesak anggota Kongres AS tertentu untuk sungguh-sungguh mematuhi aturan WTO dan berhenti mengatakan atau melakukan apa pun yang tidak menguntungkan siapa pun,” ungkapnya.
Namun, dadu sudah dilempar. Trump akan memimpin Amerika dan dia telah memberi tahu dunia tentang rencananya untuk China. Dia akan melaksanakan agenda yang menurutnya dapat berfungsi sebagai benteng terhadap "ancaman yang tidak biasa dan luar biasa" terhadap ekonomi AS atau keamanan nasional negaranya.
Menurut laporan The Wall Street Journal, Robert Lighthizer, yang pernah memainkan peran penting dalam perang dagang Trump dengan China selama masa jabatan presiden pertamanya, akan dilantik ke dalam kabinet Trump lagi. Dia telah membantu Trump dalam mengenakan tarif pada barang-barang China senilai USD380 miliar, kata WSJ, memberikan petunjuk luas bahwa hari-hari mendatang tidak akan menguntungkan bagi China di bawah Presiden ke-47 AS.
Sudah ada kekhawatiran tentang kemungkinan perusahaan-perusahaan Amerika, Eropa, dan Jepang, yang sibuk mendiversifikasi basis manufaktur mereka dan memperkuat rantai pasokan mereka di luar China sejak pandemi Covid-19, mempercepat pelarian mereka dari wilayah China di bawah pemerintahan Trump, kata para ahli.
Penurunan FDI
Tahun ini, perusahaan asing yang telah menarik operasinya dari China termasuk produsen mobil Nissan Motor Co. dan Volkswagen AG, bersama dengan Konica Minolta Inc dan Nippon Steel Corp. Perusahaan International Business Machines Corp (IBM) asal AS telah mengumumkan penutupan penelitian dan pengembangannya di China; hal ini akan berdampak pada sekitar 1.000 karyawan.
Meski ada beberapa alasan di balik keputusan IBM untuk pindah dari China, tidak boleh dilupakan bahwa AS telah meningkatkan pengawasan terhadap perusahaan-perusahaan Amerika yang terlibat dalam bisnis di ekonomi terbesar kedua di dunia, terutama di bidang-bidang strategis seperti kecerdasan buatan (AI).
Bagian yang menyedihkan dari strategi de-risk AS adalah bahwa strategi tersebut akan menjadi lebih tajam di bawah rezim Trump karena ada kemungkinan Washington membatasi aliran teknologi dari Amerika, Eropa atau Jepang ke China, yang akan merusak ambisi Beijing untuk menjadi pemimpin AI global di tahun 2030.
Di atas segalanya, perusahaan asing menunjukkan keengganan untuk melakukan investasi baru di China dan hal itu dapat dilihat dari terus merosotnya Penanaman Modal Asing Langsung (FDI) di negara tersebut.
FDI turun sekitar USD13 miliar di China selama sembilan bulan pertama tahun 2024, menurut data dari Administrasi Valuta Asing Negara China. Bahkan perusahaan-perusahaan China khawatir dengan prospek mereka.
Menurut South China Morning Post, permintaan perusahaan-perusahaan China untuk pabrik dan ruang kantor di Malaysia dan negara-negara Asia Tenggara lainnya telah meningkat sejak Donald Trump dipilih kembali oleh warga AS untuk menjadi presiden.