China Hadapi Pemogokan Kerah Biru yang Terus Meningkat Imbas Kesulitan Ekonomi

China Hadapi Pemogokan Kerah Biru yang Terus Meningkat Imbas Kesulitan Ekonomi

Global | okezone | Sabtu, 24 Agustus 2024 - 13:44
share

BEIJING China dilaporkan menghadapi keresahan dari kalangan pekerja kerah biru sebagai imbas dari tantangan ekonomi, termasuk penurunan di sektor properti dan manufakturnya. Ini terutama dikarenakan berkurangnya jaring pengaman sosial dan kompensasi bagi para pekerja kelas biru di Negeri Tirai Bambu. Para pekerja pun melakukan pemogokan massal untuk memprotes masalah itu.

Menurut China Labour Bulletin (CLB), kelompok advokasi pekerja yang berbasis di Hong Kong, aksi mogok buruh di China meningkat 3 persen dalam setahun menjadi 719 pada paruh pertama 2024. CLB mencatat jumlah protes terbesar, yaitu sebanyak 344, dilakukan oleh pekerja konstruksi yang menuntut upah.

Seperti diketahui, penurunan di sektor properti yang berkelanjutan menyebabkan dan permintaan rumah tangga yang rendah, berdampak pada melambatnya pertumbuhan ekonomi China menjadi 4,7 persen pada kuartal kedua, dari 5,3 persen pada kuartal pertama tahun ini.

Menurut laporan Reuters dan dFinancial Post pada Sabtu (24/8/2024), PMI (Indeks Manajer Pembelian) manufaktur Global Caixin/S&P China turun menjadi 49,8 pada bulan Juli dari 51,8 pada Juni 2024. Angka ini tterendah sejak Oktober 2023. Dengan permintaan eksternal dan domestik untuk barang-barang China yang tetap rendah dan terkekang, aktivitas manufaktur di negara tersebut berada dalam kesulitan mengerikan.

South China Morning Post (SCMP), mengutip data yang didukung pemerintah, beberapa pabrik telah menutup operasinya, sementara beberapa beroperasi jauh di bawah kapasitas manufakturnya, sehingga sangat menantang bagi pekerja kerah biru untuk bertahan hidup di China. Pekerja kerah biru mencakup sekitar 70 persen dari total karyawan di sektor manufaktur dan jasa China, yang sebagian besar berpenghasilan antara 5.000 (USD718) dan 8.000 yuan per bulan.

Dalam situasi ketika pekerja kerah biru yang sebagian besar berasal dari daerah pedesaan diberhentikan, mereka sangat terpukul oleh fakta bahwa jenis pekerjaan mereka, selain bergaji rendah, tidak melibatkan kontrak yang mengikat secara hukum.

Dengan demikian, para pekerja kerah biru di China dapat dipaksa menerima apa pun yang diberikan pemberi kerja kepada mereka sebagai kompensasi pada saat mereka diberhentikan dari pekerjaan. Kompensasi ini tidak termasuk tunjangan jaminan sosial apa pun yang dapat membantu mereka meringankan kehidupan pasca-pemutusan hubunga kerja. Para pekerja kerah biru akan dibiarkan berjuang sendiri usai diberhentikan.

 

Para ahli mengatakan sangat sulit bagi pekerja kerah biru di China untuk mendapatkan pekerjaan yang membayarkan jaminan sosial selama 15 tahun, prasyarat untuk mendapatkan dana pensiun saat sudah tidak lagi bekerja. Hal inilah yang telah menimbulkan ketidakamanan finansial di seluruh pasar tenaga kerja dengan pekerja yang sering melakukan pemogokan untuk melampiaskan kemarahan mereka terhadap sistem.

Faktanya, pekerja migran di bidang konstruksi adalah yang paling menderita. Ada laporan yang menunjukkan bahwa pekerja di Xinjiang dan beberapa provinsi China lainnya harus menunggu berbulan-bulan untuk mendapatkan gaji mereka. Namun, setelah industri konstruksi, sektor manufaktur adalah tempat para pekerja menjadi korban ketidakpastian dan ketidakpedulian pengusaha.

Antara Januari dan Juni 2024, sebanyak 240 pemogokan dilakukan para pekerja sektor manufaktur di China. Pekerja yang bekerja di merek-merek internasional seperti Nike, Adidas, Solomon, dan Timberland telah melakukan mogok kerja karena upah dan kompensasi mereka yang belum dibayarkan.

Aksi protes semacam itu menunjukkan ketidakbahagiaan pekerja di China, tempat keluhan mereka biasanya terkait dengan jam kerja yang panjang dan upah rendah atau tidak dibayar, kata CLB. Mogok kerja ini juga terkait dengan tidak disediakannya tunjangan jaminan sosial.

Kesenjangan Pekerja Perkotaan dan Migran

Mengenai hal ini, para analis menyalahkan buruknya penerapan aturan perlindungan tenaga kerja dan adanya langkah pencegahan dari pemerintah China agar pekerja tidak membentuk serikat pekerja yang independen. Dengan begitu, para pekerja kesulitan menyampaikan aspirasi mereka kepada pemerintah.

Hal menyakitkan bagi para pengamat China adalah bahwa meski para pekerja merupakan tulang punggung ekonomi negara, mereka menghadapi diskriminasi dan sikap apatis di tangan para majikan mereka. Sementara pekerja perkotaan dengan rumah terdaftar mendapatkan lebih banyak dalam hal upah dan akses ke layanan. Mulai dari bantuan medis hingga pendidikan, pekerja migran yang populasinya sekira 293 juta tidak mendapatkan tunjangan tersebut.

Pihak berwenang China sebenarnya telah menyadari situasi diskriminatif ini, tetapi belum ada upaya serius yang dilakukan untuk memperbaiki kesenjangan antara pekerja perkotaan dan pekerja migran.

Namun, pada sidang pleno ketiga yang diselenggarakan bulan lalu, para pemimpin China berjanji untuk meningkatkan sistem jaminan sosial dengan menangani masalah yang dihadapi pekerja migran. Tetapi masih dalam ranah spekulasi apakah berbagai langkah tersebut akan benar-benar diambil untuk mengubah janji-janji menjadi kenyataan, mengingat kondisi kerja sering kali bergantung pada keinginan manajemen perusahaan yang tidak menentu di China.

Topik Menarik