LPEM UI: Penyitaan Membabi Buta Akan Merusak Image Sawit Indonesia di Mata Dunia

LPEM UI: Penyitaan Membabi Buta Akan Merusak Image Sawit Indonesia di Mata Dunia

Ekonomi | sindonews | Minggu, 30 Maret 2025 - 00:38
share

Sebagai produsen kelapa sawit terbesar di dunia, penyitaan disertai penyegelan yang membabi buta yang dilakukan Satgas Penertiban Kawasan Hutan (PKH) terhadap kebun-kebun sawit yang dinilai ilegal akan menambah buruk image Indonesia di mata dunia terutama bagi negara-negara Eropa. Ketidakpastian hukum ini ke depan akan mengganggu iklim investasi di Indonesia.

Peneliti Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI) Dr Eugenia Mardanugraha mengungkapkan kebijakan Satgas PKH tersebut membahayakan investor.

"Kita tahu Eropa sering membuat kampanye hitam untuk sawit Indonesia seperti tudingan eksploitasi anak, penebangan hutan, dan lainnya. Kampanye hitam seperti itu kan sudah menurunkan image Indonesia di mata dunia. Kalau misalkan ada seperti ini lagi (penertiban sawit yang membabi buta), image Indonesia tambah buruk," kata Eugenia, dikutip Minggu (30/3/2025).

Dia mengungkapkan penertiban lahan sawit yang berlebihan akan memunculkan ketidakpastian hukum dan pada gilirannya pasti mengganggu iklim investasi di Indonesia. Apalagi, ada sejumlah lahan-lahan sawit yang dimiliki masyarakat sudah mengantongi izin usaha perkebunan (IUP), bahkan juga ada yang telah memiliki surat hak guna usaha (HGU) dari pemerintah pusat. ‘’Saya kasihan kepada perusahaan-perusahaan yang sudah mengurus IUP dan HGB. Kalau IUP kan ke bupati, tapi Kalau mengurus HGU itu kan tidak gampang. Prosesnya bertahun-tahun, dan biayanya juga tidak murah,’’ jelasnya.

Menurut Eugenia, pemerintah seharusnya lebih melakukan pendekatan yang lebih manusiawi. Tidak asal merampas lahan sawit. Misalnya, ada perusahaan sawit yang belum bayar pajak atau pajaknya kurang, pemerintah bisa membicarakannya dengan para pengusaha untuk melunasinya. Karena mengelola kebun kelapa sawit membutuhkan keahlian khusus. ‘Pemerintah harus memiliki kemampuan mengelola dan memelihara pohon Sawit secara khusus. Pohon sawit seperti makluk hidup yang kalau sudah rusak akibat dijarah maka akan lebih sulit untuk 'menghidupkannya kembali' tanyanya.

Dia menilai langkah pemerintah yang menyerahkan pengelolaan kebun sawit hasil sitaan negara kepada PT Agrinas Palma Nusantara terlalu terburu-buru. Kalau memang semangatnya ingin menertibkan kawasan hutan, seharusnya semua lahan sawit tersebut dikembalikan ke fungsi hutan. Sebab, dalam kesepakatan internasional, yang diusung terutama oleh negara2 Eropa, hasil sawit yang berada di Kawasan hutan tidak boleh diperdagangkan. Pasar internasional akan menolak membeli produk-produk dari lahan sawit yang dikelola PT Agrinas tersebut. Seperti diketahui, Eropa sangat ketat dalam menerapkan standar-standar bagi masuknya produk sawit ke negaranya seperti Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO). Salah satunya, mereka tidak akan mau membeli sawit yang berasal dari kawasan hutan.

"Nah, persolannya itu nanti sawitnya akan dilempar kemana? Siapa yang mau membeli sawitnya itu?’" paparnya.

Di sisi lain, Eugenia juga meragukan kemampuan pemerintah dalam mengelola hasil sitaan lahan-lahan qsawit tersebut. Karena mengelola lahan sawit tidak mudah. Jika tidak dikelola secara baik, dikhawatirkan akan mengalami penurunan produksi. Apalagi lahan sawit yang masuk kawasan hutan luasnya sekitar 3,3 juta hektare. Dan hal tersebut akan membahayakan produksi sawit secara nasional. Karena itu, kalau memang benar-benar serius akan mengelola lahan sawit tersebut, pemerintah harus merekrut para pakar sawit secara profesional. Belum lagi investasi yang harus dikeluarkan juga sangat besar dalam industri sawit, pemerintah juga harus menyiapkannya.

Dalam pandangan Eugenia, pemerintah tidak bisa hanya mengelola sawit hasil sitaan secara asal-asalan. Karena akan mengganggu produktifitas pohon sawit. Pemerintah (dalam hal ini PT Agrinas Palma) harus bisa menggenjot produktivitas sawit melebihi pemilik sebelumnya. Apalagi, pemerintah sudah menganggarkan Rp 8 triliun untuk perusahaan-perusahaan yang ditunjuk oleh pemerintah tersebut.

"Harus dikerjakan oleh orang-orang yang betul-betul profesional sehingga sawit yang dihasilkan oleh PT Agrinas itu bisa bersaing dengan sawit yang dihasilkan oleh perkebunan yang tidak disita. Beda cerita kalau lahan tersebut mau dikembalikan menjadi hutan," tuturnya.

Bahkan, dia berharap lahan sawit yang dikuasai pemerintah dapat menghasilkan produktifitas melebihi yang dipegang pemilik sebelumnya.

"Jangan malah yang terjadi nanti sebaliknya (produktifitasnya menurun)," tambahnya.

Menurut dia, penjarahan akan menimbulkan kekacauan sosial di masyarakat yang pada gilirannya juga bisa menurunkan produktifitas sawit. Penjarahan akan merusak tanaman sawit, dan perusahaan yang sawitnya dijarah akan enggan untuk merawatnya kembali. Tanpa perawatan yang layak, dipastikan produksi buah sawit tidak akan bisa maksimal. "Seharusnya selesai dilakukan penyegelan, Satgas juga harus memastikan keamanannya sehingga tidak muncul penjarahan," tandasnya.

Dia mengharapkan Satgas PKH meneliti ulang lahan-lahan sawit yang telah disegel. Untuk yang sudah terbukti memiliki izin yang sah, Satgas PKH sebaiknya mengembalikan kebun-kebun sawit yang telah disegel kepada pemiliknya. Namun, jika memang tidak ada izin sama sekali, dia sepakat pelakunya dihukum. Hal ini penting agar terwujud kepastian hukum di negara ini. Ditambah lagi tiba-tiba marak terjadi penjarahan di lahan-lahan sawit yang dinilai ilegal seperti di kawasan Kalimantan Tengah pasca penyegelan.

Dia mengungkapkan bahwa dampak penjarahan akan lebih besar kepada masyarakat sekitar kebun dibandingkan dengan para pemilik sawit. Pemilik lahan sawit mampu untuk mengganti bisnisnya dengan bisnis lain. Sehingga kalau sudah merasa investasi di sektar sawit sudah tidak kondusif, mereka bisa saja pergi ke luar negeri atau mengalihkan dananya ke luar negeri. Namun, yang juga menjadi perhatian pemerintah adalah masyarakat sekitar lahan sawit yang selama ini menggantungkan kehidupannya di sana.

"Seandainya lahan sawit disita sama satgas, kemudian pekerjanya nggak bisa bekerja lagi, atau di situ upahnya dikurangi atau di PHK, itu kan yang lebih repot. Akhirnya ini akan merembet ke perekonomian nasional," paparnya.

Topik Menarik