Kenaikan Tarif Royalti Tambang Bisa Ganggu Program Hilirisasi
JAKARTA - Pengamat Tambang dan Energi, Ferdy Hasiman menilai kebijakan kenaikan tarif royalti tambang bakal mengganggu program hilirisasi yang dicanangkan oleh Pemerintah.
1. Program Hilirisasi Pemerintah
Ferdy menjelaskan, lewat program hilirisasi Pemerintah mendorong untuk penciptaan smelter pengolahan hasil tambang. Disatu sisi, pemerintah terus menggerogoti keuntungan pengusaha dengan adanya kenaikan tarif royalti.
"Kebijakan ini membingungkan, di satu sisi mau membenahi tata kelola dan mau menaikkan penerimaan negara. Bahasa kasarnya negara sedang tidak punya duit, mereka naikkan royalti, itu kebijakan yang gampang tapi mencekik industri," ujarnya dalam Market Review IDXChannel, Rabu (12/3/2025).
Ferdy menegaskan, pemerintah harus mencermati dinamika industri ketika menaikan tarif royalti. Karena kebijakan ini dinilai mampu mematikan semangat industri dalam negeri hingga mengubur cita-cita hilirisasi.
"Kita tahu juga pemerintah sedang menggenjot hilirisasi mineral, jadi saya agak bingung, mereka (pemerintah) mendorong pembangunan hilirisasi, dalam arti semua perusahaan tambang wajib bangun pabrik smelter," kata Ferdy.
"Padahal untuk membangun pabrik smelter ini biayanya tidak sedikit, ini butuh biaya besar, dan perusahaan tambang punya hitungan, karena dengan biaya besar, bagaimana dia bisa memastikan usaha dia ke depan," tambahnya.
2. Pemerintah Cari Cara Lebih Kreatif
Ferdy berharap kepada pemerintah untuk mencari cara yang lebih kreatif untuk meningkatkan penerimaan negara. Bukan sekedar menaikan tarif dan justru bisa berdampak pada keberlangsungan industri di dalam negeri.
"Kita berharap pemerintah bisa memperhatikan baik baik dinamika di sektor industri ini, jangan hanya mengambil kebijakan yang gampangan, begitu keuangan negara turun, langsung ambil menaikkan royalti tanpa memperhatikan dinamika industri," tambahnya.
Pada kesempatan yang sama, Sekretaris Umum Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), Meidy Katrin Lengkey mengatakan rencana kenaikan tarif royalti tambang bisa membuat perusahaan tambang menghitung ulang untuk melanjutkan produksinya.
3. Harga Komoditas Nikel Global Belum Alami Kenaikan
Meidy menilai, saat ini harga komoditas khususnya nikel di pasar global juga belum mengalami kenaikan, bahkan cenderung mengalami penurunan sejak tahun 2024. Hal ini yang menurutnya belum mampu untuk mengakomodir kenaikan beban usaha imbas kebijakan baru pemerintah di tahun 2025.
Meidy menjelaskan, kenaikan tarif royalti bukan satu-satunya beban tambahan yang dialami para pengusaha mulai tahun 2025. Sebab bersamaan, pemerintah juga menetapkan kenaikan tarif PPN menjadi 12, yang mana alat berat tambang masuk kategori barang mewah.
Belum lagi menurutnya kebijakan baru pemerintah soal DHE (Devisa Hasil Ekspor) SDA (Sumber Daya Alam). Sehingga pengusaha wajib menyetorkan seluruh pendapatannya ke instrumen keuangan Indonesia selama 12 bulan. Selain itu ada juga kebijakan soal global minimum tax (GMT) yang naik menjadi 15, sehingga pelaku usaha yang berorientasi ekspor perlu mengeluarkan biaya tambahan untuk membayar pajak.
"Kalau kami dibebankan lagi (kenaikan royalti tambang) tentu perusahaan akan berfikir, akan melanjutkan produksi atau ini. Ini tentu menjadi kendala kita," pungkasnya.