Penganiayaan Anak di Boyolali, Prof Henry Indraguna: ABH, Tak Pantas Dianiaya!
JAKARTA, iNews Depok.id - Peristiwa penganiayaan terhadap KM, seorang anak berusia 12 tahun oleh beberapa orang dewasa di Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah mendapat perhatian serius dari praktisi hukum, Prof Dr Henry Indraguna. Henry menyoroti, pemberitaan media terkait peristiwa yang menimpa bocah malang dipicu oleh aksi mencuri beberapa kali harta benda warga setempat.
Terakhir adalah ketika ia dituduh mencuri pakaian dalam. Akibatnya ia ditangkap, disidang dan akhirnya dianiaya secara bersama-sama oleh warga masyarakat setempat, termasuk Ketua RT.
Prof Henry berpandangan bahwa anak berhadapan dengan hukum (ABH), harus wajib mendapat pendampingan hukum yang layak.
"Saya sangat apresiasi kepada polisi yang menangkap delapan warga pelaku penganiayaan anak, yang semestinya tidak dengan cara kekerasan dan bertindak seolah-olah mereka bisa bertindak sebagai hakim pengadil. Sekalipun anak KM diduga telah mencuri barang-barang warga, tapi tindakan warga dengan cara barbar justru bertentangan dengan hukum dan perundang-undangan," jelas Prof Henry di Jakarta, Senin (23/12/2024).
Henry yang pernah menjadi Caleg DPR RI dari Dapil Jateng V, menuturkan bahwa masyarakat Jawa memiliki kearifan lokal untuk mengatasi konflik semacam itu.
"Jika masih bocah, harus dibedakan antara kenakalan dan kejahatan. Dulu, ketika ada anak mencuri mangga tetangga, maka sanksi yang diberikan adalah pemilik mangga akan menemui orang tuanya dan menceritakan yang terjadi. Kemudian si anak akan dipanggil dan diberi hadiah mangga," ungkapnya.
Menurut Henry, tujuannya selain sebagai sindiran juga pesan moral bahwa semua hal bisa dibicarakan baik-baik. Terlebih usia anak masih dalam perlindungan hukum negara.
"Dalam khazanah budaya Jawa dikenal istilah wirang. Ini bukan hanya sekadar malu, namun efeknya lebih dari malu. Biasanya anak-anak yang nakal itu, akan dibuat wirang. Wirang itu jadi sanksi sosial yang justru upaya terakhir dalam penegakan aturan masyarakat, agar pelaku tidak mengulangi tindakan yang melanggar kepantasan dan kepatutan. Obat terakhir agar anak-anak tidak mengulangi tindakan nakal," terangnya.
Menurut Henry yang memiliki gelar Kanjeng Pangeran Aryo dari Kasunanan Surakarta Hadiningrat menjelaskan, jika seseorang sudah merasa wirang, ia akan merasa diawasi banyak orang. Saat itulah diharapkan kemudian bisa berubah.
Namun berkaca dari kasus KM yang dituduh suka mencuri, maka perlakuan atau tindakan yang perlu diperhatikan adalah kondisi psikologisnya.
"Mungkin saja ia mengidap kleptomania. Atau lihat juga pergaulan dan latar belakang keluarganya. Bisa jadi ada masalah yang belum terungkap. Maka kewajiban penyidik pun yang mengungkapkannya," jelas Anggota Dewan Pembina Kongres Advokat Indonesia (KAI) ini.
Menurut Henry, anak-anak yang bermasalah dengan hukum sebenarnya layak dikasihani. Jika memang ia berbuat seperti yang diceritakan dan diyakini mayoritas masyarakat.
"Jangankan anak, orang dewasa sekalipun tetap tidak boleh dianiaya, diadili secara barbar. Seorang maling ayam yang tertangkap basah sekalipun tak boleh dianiaya dan dihakimi tanpa ada aturan," tegasnya.
Disebutkan pula bahwa pelaku penganiayaan terhadap KM memiliki profesi dan status sosial yang baik di masyarakat. Mulai dari Ketua RT, guru, dan lainnya.
Artinya, status sosial itu hanya bisa didapat dengan pendidikan tertentu. Jika sudah seperti ini, layak dipertanyakan pula manfaat dari pendidikan jika tak sanggup menjadi benteng moral dan kepantasan.
"Oke lah anak itu bersalah. Oke lah ia sudah beberapa kali tertangkap basah dan tak jera. Kondisi itu apakah mengizinkan orang lain mencabut hak hidupnya? Jelas tidak. Ingat, penganiayaan bisa saja berujung kematian. Artinya, jika tidak dihentikan maka akan merampas hak hidup mereka," terangnya.
Henry kembali menegaskan bahwa kepantasan menjadi parameter seseorang sebelum bertindak. Kepantasan itu tempatnya lebih tinggi dari peraturan.
"Itulah sebabnya, jika seorang hakim memvonis rendah seorang koruptor akan mendapat cibiran publik. Karena memang tak pantas jika pengadil justru memberikan ganjaran hukuman yang tidak sepadan," katanya.
Peristiwa sudah terjadi, Prof Henry berharap kasus semacam ini atau kasus lain yang melibatkan anak, sebaiknya disikapi secara proporsional.
"Kepantasan bisa menjadi parameter diri sebelum mengambil tindakan. Caranya? Dengan mengingat bahwa jika hal yang sama menimpa keluarganya, perasaan seperti apa yang akan dirasakan," pungkasnya.