Hakim MK Guntur Hamzah Terisak Bacakan Dissenting Opinion Putusan Hak Asuh Anak

Hakim MK Guntur Hamzah Terisak Bacakan Dissenting Opinion Putusan Hak Asuh Anak

Berita Utama | inews | Kamis, 26 September 2024 - 15:40
share

JAKARTA, iNews.id - Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Guntur Hamzah sempat terisak dalam sidang pembacaan putusan atas gugatan lima ibu yang memperjuangkan hak usai anak kandungnya diambil paksa mantan suami, Kamis (26/9/2024). Momen itu terjadi saat dia membacakan dissenting opinion. 

Mulanya, Ketua MK Suhartoyo membacakan putusan yang menolak gugatan lima penggugat yakni Aelyn Halim (Pemohon I), Shelvia (Pemohon II), Nur (Pemohon III), Angelia Susanto (Pemohon IV), dan Roshan Kaish Sadaranggani (Pemohon V).

Kelima ibu tersebut mempermasalahkan Pasal 330 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Negara (KUHP), yang berbunyi: “Barang siapa dengan sengaja menarik seorang yang belum cukup umur dari kekuasaan yang menurut undang-undang ditentukan atas dirinya, atau dari pengawasan orang yang berwenang untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun”.

Frasa ‘barang siapa’ inilah yang menjadi alasan kelima ibu menggugat Pasal 330 ayat (1) KUHP ke MK karena merasa hak konstitusionalnya dirugikan. Namun, kelima ibu tidak bisa memproses secara hukum mantan suami mereka atas dugaan penculikan karena frasa tersebut.

Dalam petitumnya, kelima ibu tersebut meminta frasa ‘Barang siapa’ diganti menjadi ‘setiap orang tanpa terkecuali ayah atau ibu kandung dari anak’. 

“Tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai ‘Setiap orang tanpa terkecuali Ayah atau Ibu kandung dari Anak’,” bunyi petitum.

Namun MK pun menolak seluruhnya permohonan kelima ibu tersebut. “Mengadili menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya,” kata Suhartoyo.

Hakim MK Guntur Hamzah justru bersikap berbeda atas putusan itu. Dia ingin gugatan kelima ibu tersebut dikabulkan sebagian. 

Momen haru pun terjadi ketika Guntur membacakan dissenting opinion-nya. Guntur terisak ketika mengingat kesaksian para ibu kandung di persidangan yang dipisahkan dari anak-anaknya.

Guntur menegaskan pengasuhan anak seharusnya menjadi tanggung jawab kedua orang tua meskipun terjadi perceraian. Dia pun sempat menyinggung perspektif Islam, bahwa penghormatan anak kepada ibunya didahulukan tiga kali lebih banyak jika dibandingkan ayahnya.

“Terus terang, saya merasa nelangsa tatkala membaca permohonan pemohon dan mendengar kesaksian ibu-ibu yang terpaksa harus berpisah dengan buah hatinya yang masih di bawah umur karena rebutan hak asuh anak yang berujung pada pengambilan paksa seorang anak dari ibu kandung,” kata Guntur dengan suaranya yang terdengar bergetar.

Guntur mengatakan seharusnya frasa barang siapa dalam norma a quo tidak hanya dibaca setiap orang, tapi juga harus dipahami dalam konteks norma dalam pasal a quo secara utuh yang pada pokoknya menekankan keberpihakan hak pengasuh yang lebih cenderung diletakkan kepada ibu kandungnya demi memperkokoh ikatan batin anak dan ibunya, serta guna kepentingan pertumbuhan anak yang masih di bawah umur.

Sehingga, kata Guntur, seharusnya Pasal 330 ayat (1) KUHP diubah sesuai dengan gugatan kelima ibu yakni frasa 'barang siapa' diganti dengan ‘setiap orang termasuk ayah atau ibu kandung’.

“Sehingga pasal a quo selengkapnya berbunyi, 'Setiap orang dengan sengaja menarik seorang yang belum cukup umur dari kekuasaan yang menurut UU ditentukan atas dirinya, termasuk ayah/ibu kandungnya atau dari pengawasan orang berwenang untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun',” tutupnya.

Topik Menarik