[OPINI]: Pilkada Purwakarta, antara Pemuja Status Quo dan Pendamba Perubahan

[OPINI]: Pilkada Purwakarta, antara Pemuja Status Quo dan Pendamba Perubahan

Terkini | purwakarta.inews.id | Selasa, 3 September 2024 - 23:30
share

oleh: Tatang Budimansyah*

Empat pasangan calon (paslon) siap bertarung di Pilkada Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat. Sang petahana (Anne Ratna Mustika) akan berebut suara dengan tiga paslon lainnya. Jika variabelnya soal popularitas, Anne jelas lebih unggul dari pada paslon-paslon lainnya. Tapi popularitas tidak selalu linier dengan tingkat keterpilihan.

HINGGA 29 Agustus 2024 silam, empat paslon resmi mendaftar ke KPU Purwakarta. Mereka terdiri dari Anne Ratna Mustika-Budi Hermawan, Zaenal Arifin-Sona Maulida R, Yadi Rusmayadi-Pipin Sopian, dan Saepul Bahri Binzein-Bang Ijo Hapidin.

KPU tengah sibuk meneliti persyaratan paslon sampai 21 September mendatang. Sesuai dengan tahapan Pilkada, empat paslon tersebut akan ditetapkan sebagai kontenstan pada 22 September 2024.

Dari empat paslon yang menjadi kontestan Pilkada 2024 ini, dua orang di antaranya merupakan kontestan pada Pilkada sebelumnya. Mereka adalah Anne Ratna Mustika dan Zaenal Arifin.

Sedangkan Yadi Rusmayadi dan Saepul Bahri Binzein merupakan new comer yang siap memberi kejutan pada pesta demokrasi lima tahunan ini.
Menarik untuk dicermati, suka atau tidak, Pilkada Purwakarta merupakan pertarungan antara pelaku status quo dan calon bupati yang mengusung perubahan.

Status quo , berarti kondisi atau keadaan yang saat ini terjadi atau sedang dijalankan. Pelaku status quo , dengan sendirinya adalah seorang yang sedang menjalankan pemerintahan.

Siapapun kepala daerahnya, pasti akan mengklaim bahwa sepanjang menjalankan kekuasaannya, telah banyak karya dan pencapaian yang diraih. Dan biasanya itu yang akan dijual kepada khalayak dalam masa kampanye kelak.

Tak hanya catatan pencapain-pencapaian yang telah diraih, tetapi juga akan menjual gagasan-gagasan inovatif apabila kelak terpilih kembali. Akan memperbaiki kekurangan, dan akan meneruskan program-program yang belum tereliasisasi.

Sedangkan pengusung perubahan adalah sosok yang menginginkan adanya perubahan, mulai dari tata kelola pemerintahan, kondisi politik, ekonomi, sosial, dan sebagainya.

Pengusung perubahan meyakini adanya suatu kondisi di mana sebuah daerah perlu dilakukan perbaikan. Ada kondisi tertentu di mana pemimpin daerah tersebut belum memenuhi ekspektasi masyarakat.

Reinkarnasi Dedi Mulyadi

Dalam konteks Pilkada Purwakarta 2024, Yadi dan Zaenal merupakan representasi dari semangat perubahan. Status quo disandang oleh Anne. Lantas, di mana posisi Binzein. Di kubu perubahan atau status quo?

Secara eksplisit Binzein sudah mem- branding diri bahwa dia merupakan penerus kepemimpinan Dedi Mulyadi. Tak hanya itu, gestur dan gaya kepemimpinan Binzein pun setali tiga uang dengan Dedi.

Dengan demikian, kendati Binzein adalah new comer dan bukan petahana, maka posisi yang tepat baginya adalah dia merupakan pelaku status quo .

Dengan kata lain, pertarungan status quo versus perubahan pada Pilkada Purwakarta mempertarungkan antara Anne-Binzein versus Yadi-Zaenal.

Binzein ingin mewujudkan keinginan masyarakat yang belum sempat terealisasi pada saat Dedi Mulyadi memimpin kabupaten ini. Dan itulah yang kerap dielaborasi Binzein saat menyambangi masyarakat di berbagai kesempatan.

Binzein hendak memposisikan diri sebagai reinkarnasi dari Dedi Mulyadi. Apapun pilihan yang diambilnya, tentu ada resistensi yang menyertainya.

Para pengagum, pemuja, dan loyalis Dedi Mulyadi, akan melimpahkan dukungannya kepada Binzein. Terlebih, dalam Pilkada Purwakarta Dedi tak tinggal diam. Dia secara intens dan terus-menerus meng- endors Binzein.

Dari sisi sosial, Dedi menanamkan keyakinan kepada masyarakat bahwa Binzein merupakan sosok penerusnya. Dedi juga menyokong Binzein secara politis. Dia membuat manuver-manuver untuk memengaruhi pihak-pihak yang dianggapnya bisa membantu mendulang suara untuk Binzein.

Dedi menjadikan Binzein sebagai investasi politiknya. Seandainya Binzein memenangi Pilkada 2024, tak menutup kemungkinan pada Pilkada berikutnya Dedi akan menduetkan Binzein dengan putra sulungnya.

Selanjutnya, pada Pilkada berikutnya lagi, putra sulungnya ini akan disodorkan menjadi calon bupati. Ya, siapa tahu.

Pasti muluskah jalan Binzein? Belum tentu. Dia akan dihadang dan digembosi oleh pihak-pihak Anti Dedi. Yakni, mereka yang menilai Dedi bukanlah Bupati Purwakarta yang ideal.

Pada saat ada sosok yang seolah-olah menjadi reinkarnasi Dedi, pihak ini akan serta merta menolaknya. Siapa pun sosok itu, tidak hanya berlaku untuk seorang Binzein.

Ini tentu saja menjadi batu sandungan dan persoalan tersendiri bagi Binzein. Itu merupakan risiko yang mesti dihadapi. Tinggal sejauh mana kemampuan dia untuk meminimalisir resistensi itu. Syukur-syukur Binzein bisa membalikkan keadaan: para pembenci Dedi menjadi loyalisnya.

Yang menarik, kendati sama-sama berada di posisi status quo , Anne dan Binzein bagaikan minyak dan air. Di antara keduanya tersimpan rivalitas yang sengit.

Jika Binzein adalah penerus kepemimpinan Dedi, maka Anne merupakan sosok antitesa dari Dedi Mulyadi. Dalam urusan politik memang Anne tak memperlihatkan sikap yang konfrontatif terhadap Dedi Mulyadi. Tapi dibanding Yadi dan Zaenal, Anne lebih mempunyai ketegasan sikap dalam berkompetisi dengan sosok yang disokong Dedi.

Maka boleh jadi Anne mendapat limpahan suara dari para pemilih yang antipati terhadap Dedi Mulyadi. Sisanya, akan dibagi untuk Yadi dan Zaenal.

Menambal Keretakan

Simbol perubahan ada pada sosok Yadi dan Zaenal. Namun demikian, bukan berarti kedua sosok ini harus dengan cara hantam kromo menyerang pelaku status quo . Bolehlah jika mereka menilai ada kondisi Purwakarta yang mesti diubah. Tapi, Yadi dan Zaenal juga mesti mengakui bahwa pada rezim Dedi dan Anne, banyak karya fundamental yang patut diacungi jempol.

Untuk menarik simpatik publik, idealnya Yadi dan Zaenal mesti kembali mengingat peribahasa tak ada gading yang tak retak. Nah, sebagai simbol dari perubahan, keduanya sebaiknya menawarkan gagasan realistis kepada publik untuk menambal keretakan-keretakan yang terjadi.

Sudah menjadi rahasia umum, banyak ditemukan keretakan di Kabupaten Purwakarta sepanjang rezim Dedi dan Anne. Soal sulitnya mendapat pekerjaan, pembangunan infrasruktur yang belum merata, reformasi birokrasi yang cuma slogan, atau maraknya Bank Emok yang leluasa menjalankan praktik haramnya karena Pemkab Purwakarta terlalu permisif.

Sebagai simbol perubahan, Yadi dan Zaenal jangan hanya mengumbar narasi-narasi yang yang berkonotasi kontradiktif. Lebih dari itu, keduanya harus bisa meyakinkan publik bahwa Purwakarta akan lebih baik jika dipimpin oleh sosok yang mengusung perubahan. Caranya, ya dengan menawarkan gagasan yang inovatif, realistis, dan solutif.***

* Penulis adalah Pemimpin Redaksi iNewsPurwakarta.id




Topik Menarik