Workshop AJI Jakarta: Cawe-cawe Pemerintah beri Alarm Kemerosotan Demokrasi di Indonesia

Workshop AJI Jakarta: Cawe-cawe Pemerintah beri Alarm Kemerosotan Demokrasi di Indonesia

Terkini | sumba.inews.id | Minggu, 23 Maret 2025 - 12:24
share

JAKARTA, iNewsSumba.id— Isu kemunduran demokrasi di Indonesia kembali menjadi sorotan dalam Workshop "Kebijakan Publik dan Demokrasi" yang digelar oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta bersama Indonesia Corruption Watch (ICW) pada Sabtu (22/3/2025) di Sekretariat AJI Jakarta, Kalibata, Jakarta Selatan.

Workshop yang dihadiri oleh puluhan jurnalis ini menghadirkan narasumber terkemuka seperti Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini, Dosen Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera Bivitri Susanti, serta Peneliti di Institute of Social Studies, University of Tartu Estonia Muhammad Okky Ibrohim.

Titi Anggraini memaparkan data yang mengkhawatirkan: indeks demokrasi Indonesia turun ke angka 6,44 pada tahun 2024, dengan aspek "kultur politik" dan "kebebasan sipil" mencatat skor terendah, masing-masing 5,00 dan 5,29. Ia menyoroti fenomena yang tak biasa: alih-alih meningkat saat Pemilu seperti biasanya, indeks demokrasi justru merosot tajam.

Menurut Titi, salah satu pemicunya adalah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90 Tahun 2023 yang mengubah syarat usia minimal calon presiden dan wakil presiden, membuka jalan bagi Gibran Rakabuming Raka, putra Presiden Joko Widodo, untuk menjadi Wapres RI terpilih mendampingi Prabowo Subianto.

"Pemilu 2024 menjadi anomali, malah membuat indeks demokrasi menurun. Ini tidak terlepas dari politik dinasti dan politisasi aturan serta pengadilan," ungkapnya.

 

Titi juga menyoroti praktik malpraktik pemilu yang kian marak, mulai dari manipulasi aturan hingga intimidasi pemilih melalui politik uang, bantuan sosial, hingga politisasi aparat negara. Ia menilai bahwa cawe-cawe kekuasaan menjadi permasalahan utama yang merusak tatanan demokrasi.

"Pemilu bukan lagi sekadar ajang pesta demokrasi, tapi kesempatan untuk memperkuat pemusatan kekuasaan oleh elite politik," tambahnya.

Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti menyoroti kemunduran kebebasan sipil yang kian terasa, mulai dari kebebasan berpendapat hingga kebebasan beragama. Menurutnya, negara berkewajiban melindungi hak-hak tersebut.

"Hak itu harus dipenuhi, dihormati, dan dilindungi. Ini adalah hak semua warga negara, dan negara harus hadir untuk menjamin kebebasan itu," tegas Bivitri.

Peneliti dari University of Tartu, Muhammad Okky Ibrohim, menyoroti hubungan antara kecerdasan buatan (AI) dan tugas jurnalis dalam meliput isu ujaran kebencian. Menurutnya, jurnalis dapat memanfaatkan teknologi AI untuk mendeteksi potensi ujaran kebencian dalam pemberitaan.

 

"Dampak dari ujaran kebencian sangat serius, mulai dari diskriminasi hingga berujung pada konflik sosial. Dalam level terburuk, bahkan bisa memicu genosida," jelas Okky.

Workshop ini akan berlanjut pada Minggu, 23 Maret 2025, dengan menghadirkan Aktivis Hak-Hak Perempuan dan Ahli Politik Siti Musdah Mulia serta perwakilan dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai narasumber.


Workshop "Kebijakan Publik dan Demokrasi" yang digelar oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta bersama Indonesia Corruption Watch (ICW) - Foto : istimewa

Acara ini menjadi refleksi penting bagi para jurnalis dan masyarakat untuk terus mengawal demokrasi Indonesia agar tidak semakin tergerus oleh praktik kekuasaan yang menyimpang.

Topik Menarik