PHK Massal dan Perlindungan Pekerja

PHK Massal dan Perlindungan Pekerja

Nasional | sindonews | Senin, 31 Maret 2025 - 14:24
share

Muhammad Irvan Mahmud Asi

Sekjen DPP Serikat Rakyat Indonesia (SERINDO)Direktur Eksekutif Pusat Pengkajian Agraria & Sumber Daya Alam (PPASDA)

PRESIDEN Prabowo Subianto berjanji akan membuka 8 juta lapangan kerja dalam lima tahun ini. Penciptaan 8 juta akan ditempuh dengan strategi investasi dan hilirisasi dengan total proyek 30, baik sektor hilir maupun hulu di antaranya minerba, pertanian, dan perikanan.

Penciptaan lapangan kerja dimaksud adalah bagian asta cita Presiden Prabowo Subianto, kini masyarakat menantikan realisasinya. Di tengah optimisme tersebut, terdapat tantangan berat berupa Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal.

PHK yang terjadi diawal tahun 2025, sebenarnya sudah dimulai tahun 2022.Di antaranya industri tekstil, garmen, maupun alas kaki, pertanian, perdagangan besar dan kecil, pertambangan, jasa dan bahkan start up melakukan PHK.

Data Kementerian Ketenagakerjaan per Desember 2024, terdapat 77.965 pekerja terkena PHK, naik 20,2 persen dibandingkan 2023 sebesar 64.855 pekerja. Bahkan data Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) tahun 2025 ada 45.000 buruh di PHK (akumlasi 38 perusahaan).

Dua perusahaan yang jumlah PHK-nya terbesar yaitu PT Sritex 10.665 kariawan, dan PT Karya Mitra Budi Sentosa 10.000 kariawan.

Kejadian ini menambah jumlah pengangguran di Indonesia. Data Badan Pusat Statistik (BPS) per Agustus 2024 menunjukan 7,19 juta (4,91 persen) masyarakat kita menganggur. Sudah dipastikan data 2025 yang akan dirilis nanti, pengangguran bertambah.

Data World Economic Outlook per April 2024, pengangguran di Indonesia adalah yang tertinggi di ASEAN sebesar 5,2 persen, sementara Filipina (5,1), Brunei Darussalam (4,9), Malaysia (3,5), Vietnam (2,1), Singapura (1,9), dan Thailand (1,1).

Akumulasi Masalah

Dihulu, regulasi yang ada menciptakan celah sehingga terjadi ketidakpastian, lemahnya pengawasan pemerintah, dan penegakan sanksi yang lemah sehingga terjadi ketidakpatuhan.

Permendag No 8 Tahun 2024 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor yang menghapus persyaratan persetujuan teknis untuk produk impor barang jadi, membuat pasar domestik dibanjiri tekstil impor dari China. Belum lagi yang illegal dan penyelundupan.

Kebijakan ini membuatindustri tekstil babak belur. Permendag tersebut membawa efek domino-berdampak pada sektor seperti industri petrokimia sebagai salah satu bahan baku tekstil.

Padahal, industri tekstil menyumbang 11,7 persen terhadap konsumsi listrik dan 5,56 persen terhadap PDB nasional. Sebuah kehilangan yang sangat besar.

Sebab lainnya adalah konsumsi dalam negeri melamah karena daya beli masyarakat menurun sehingga permintaan terhadap produk-produk seperti manufaktur juga turun.Ditambah lagi efisiensi teknologi dengan penggunaan Al dan digitalisasi membuat produksi lebih murah.

Contoh lain, kasus PHK di dua perusahaan kelapa di Riau: PT Pulau Sambu (PHK 1.700 pekerja) dan PT Riau Sakit United Plantations 1.800 pekerja. Bermula dari permintaan bahan baku dari perusahaan naik, sedangkan produksi dan produktifiyasnya kelapa menurun.

Saat yang sama permintaan pasar global meningkat membuat petani lebih memilih menjualnya pada pengepul karena dihargai lebih tinggi dan pembayarannya lebih cepat.

Produksi dan produktifitas kelapa menurun terjadi sejak 2019 yang disebapkanoleh minimnya perawatan tanaman, serangan HPT, penggunaan benih non unggul, insentif harga kurang, lemahnya kelembagaan petani, dan minim adopsi teknologi.

Secara umum membludaknya perusahaan pailit atau pengurangan karyawan juga dipicu oleh kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN), dan peningkatan premi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) menambah beban biaya operasional perusahaan.Akibatnya perusahaan kesulitan mempertahankan profitabilitas.

Kedepan terhitung 30 Juni 2025 pekerja yang ter PHK makin terbebani, sebabPerpres No 59 Tahun 2024 tentang Perubahan Ketiga atas Perpres No 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan, pasal 103B ayat (1) mengamanatkan penerapan KRIS Satu Ruang Perawatan

Konsekuensi kebijakan ini: satu ruang perawatan hanya diisi maksimal 4 tempat tidur yang akan menghapus pelayanan ruang perawatan kelas 1, 2, dan 3 peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Akibatnya kualitas layanan kepada pekerja atau buruh dan keluarganya akan menurun.

Dapat disimpulkan PHK massal memperlambat pertumbuhan ekonomi, pemerintah kehilangan potensi pajak dan menambah beban pemerintah. Lebih jauh akanmenambah pangangguran, kemiskinan dan berdampak secara sosial seperti kriminalitas, bahkan dalam beberapa kejadian mengguncang psikologis korban.

Perlindungan yang Lemah

PHK adalah kewenangan perusahaan, baik alasan efisiensi, restrukturisasi, atau penurunan kinerja perusahaan. Selama prosedurnya benar, tidak masalah. Yang jadi persoalan, terkadang perusahaan memutuskan secara sepihak, mengabaikan ketentuan pasal 151 ayat (2) UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan bahwa jika pemutusan hubungan kerja tidak dapat dihindari, maka pemutusan hubungan kerja wajib dirundingkan oleh pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh atau dengan pekerja/buruh apabila pekerja/buruh yang bersangkutan tidak menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh.

Temuan Rahmawati (2021) dalam tulisannya “Evaluasi Kebijakan PHK dalam Situasi Krisis Ekonomi: Studi Kasus Pandemi Covid-19” mempertegasnya dimana62 persen kasus PHK selama pandemi terjadi tanpa adanya konsultasi sebelumnya, yang mencerminkan lemahnya pengawasan dan pelaksanaan regulasi.

Selain itu, alasan efisiensi perusahaan untuk melakukan PHK, sering kali tidak didukung oleh data yang cukup.Banyak perusahaan tidak membuka laporan keuangan kepada pekerja atau serikatnya. Penelitian Hidayati (2021) berjudul “Transparansi dalam Kebijakan PHK di Indonesia: Tantangan dan Solusi” menunjukkan kurang dari 30 persen perusahaan yang melakukan PHK selama pandemi yang menyediakan data keuangan yang dapat diverifikasi kepada pekerja.

Dengan memanfaatkan klaim ini, pelaku usaha mengabaikan kewajiban untuk memberikan kompensasi atau pesangon sesuai aturan. Padahal korban PHK hanya mendapatkan kompensasi yang murah sebagaimana diatur di pasal 40 PP No 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja.

Masalah lain, program jaminan sosial seperti Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) masih memiliki cakupan yang terbatas, terutama bagi pekerja informal atau mereka yang tidak terdaftar sebagai peserta BPJS Ketenagakerjaan.

Putusan pengadilan terkait PHK juga menunjukkan persoalan, ketika pekerja melakukan upaya hukum, proses penyelesaian sengketa sering kali berlarut.Pekerja bukan saja rugi waktu, tenaga, tetapi harus mengeluarkan pundi-pundi rupiah.

Kondisi ini menjadi disinsentif bagi pekerja untuk melanjutkan langkah hukum, sehingga banyak kasus yang berakhir tanpa penyelesaian yang adil. Di sini unsul pasal 28D ayat (1) UUD 1945 di mana“setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum” makin bias.

Kedepan, mekanisme penyelesaian sengketa yang lebih cepat dan terjangkau perlu dikembangkan untuk memastikan keadilan. Di sisi lain, perusahaan didorong untuk mempertimbangkan langkah alternatif sebelum PHK: misalnya pengurangan jam kerja, cuti tanpa gaji, atau pelatihan ulang bagi pekerja agar dapat menyesuaikan diri dengan peran baru.

Dalam upaya alternatif inilah, ketidakmampuan regulasi yang ada sekarang untuk diperkuat sehingga kelemahan kebijakan yang lama dengan solusi yang reaktif berubah menjadi preventif dan cepat.

Paket Kebijakan

Peran pemerintah sebagai regulator dan fasilitator sangat sentral dalam mendorong terciptanya peluang kerja baru.Oleh karenanya, pemerintah mesti menghadirkan paket kebijakan yang holistik dan terintegrasi.

Pertama, paket stimulus ekonomi untuk mendukung keberlanjutan usaha padat karya (terutama tekstil, garmen, dan alas kaki) kemudian sektor manufaktur, pertanian dan perikanan.Insentif berupa pengurangan pajak, subsidi gaji, atau bantuan langsung tunai kepada usaha yang terdampak krisis dapat membantu menjaga kestabilan operasional mereka sehingga tidak perlu melakukan PHK massal.

Sementara untuk korban PHK, pengurangan atau pembebasan pajak diberikan untuk Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sampai mereka mendapatkan kembali pekerjaan.

Kedua, optimalisasi UMKM.Terdapat 64,2 juta UMKM dengan sumbangsih terhadap PDB nasional sebesar 61,07 persen atau setara Rp 8.573 triliun, menyerap 117 juta pekerja (97 persen) dari total tenaga kerja,dan berkontribusi 15,7 persen terhadap ekspor non migas. Capaian ini rendah dibandingkan Singapura (41 persen) atauChina 60 persen.

Dengan kebijakan penghapusan utang macet UMKM - diatur dalam PP No 47 Tahun 2024 tentang Penghapusan Piutang Macet kepada UMKM.Baik UMKM pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan, dan kelautan, serta UMKM lainnya harus memanfaatkan peluang ini dan saat bersamaan dukungan ke fasilitas permodalan, pelatihan dan pengembangan keterampilan serta program reskilling menjadi penting.

Hal yang sama berlaku untuk BUM Desa, perlu optimalisasi. Keberadaan BUM Desa sebagai strategi kebijakan membangun Indonesia dari pinggiran dengan pengembangan usaha ekonomi Desa yang bersifat kolektif memerlukan revitalisasi.

BUM Desa punya peluang mengubah potensi lokal menjadi peluang ekonomi, menghasilkan nilai tambah dan menjadi inkubator bagi UMKM lokal untuk menciptakan usaha baru: menyerap tenaga kerja lokal, meningkatkan pendapatan Desa dan mengurangi migrasi warga.

Salah satu caranya dengan penguatan kemitraan strategis baik untuk pendanaan dan pengembangan usaha maupun promosi produk.Pasal 87A ayat (2) UU No 3 Tahun 2024 disebut BUM Desa dapat bekerja sama dengan BUMN, BUMD, Badan Usaha Milik Swasta (BUMS) dan/atau koperasi; ayat (3) Kerja sama BUM Desa dilakukan untuk membentuk kemitraan yang saling menguntungkan antar pelaku ekonomi dan saling menguatkan untuk mewujudkan demokrasi ekonomi dan efisiensi nasional yang berdaya saing tinggi.

Keempat, menggenjot investasi terutama Penanaman Modal Asing (PMA). Strateginya dengan mengharmonisasi regulasi - penyederhanaan perizinan.

Dengan adanyaOmnibus Law Cipta Kerja harusnya ini bisa diselesaikan. Kemudian stabilitas kebijakan guna memberikan kepastian hukum, terutama aspek perpajakan, ketenagakerjaan, dan lingkungan serta penertiban ormas-ormas yang suka memalak investor; dan sebagainya.

Berbagai strategi diatas, mesti paralel dengan kemauan politik untuk merevisiUU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan jo. UU 6/2023 sebagaimana Putusan MK No 168/PUU-XXI/2023.Momentumnya ada dengan dimasukan kedalam Program Legislasi Nasional Prioritas 2025 sebagai usulan Komisi IX.

Kemudian revisi PP 35/2021 terutama klausul pasal 40 agar kompensasi atau pesangon yang diterima oleh pekerja PHK lebih besar.Terakhir revisi Permendag 8/2024 terutama klausul yang menghapus persyaratan persetujuan teknis untuk produk impor barang jadi, termasuk tekstil. Terkhusus substansi revisinya adalah perlindungan hak-hak pekerja, mencakup hak atas kompensasi, pesangon, serta perlakuan yang bebas dari diskriminasi dan sebagainya.

Tulisan ini adalah bagian telaah atas situasi PHK massal yang terjadi akhir-akhir ini dan semoga membuka ruang diskursus konstruktif pagi pencegahan PHK di masa mendatang.

Topik Menarik