ICJR Minta Revisi KUHAP Fokus Pengawasan Antar Lembaga, Bukan Hanya soal Dominus Litis

ICJR Minta Revisi KUHAP Fokus Pengawasan Antar Lembaga, Bukan Hanya soal Dominus Litis

Nasional | sindonews | Sabtu, 22 Maret 2025 - 01:03
share

Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menyikapi pembahasan Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang saat ini tengah dibahas. Hal itu disampaikan peneliti ICJR Iftitahsari saat mengisi diskusi bertajuk RUU KUHP Memperkuat Sistem Peradilan Pidana Terpadu yang digelar di Cikini, Jakarta Pusat, Jumat (21/3/2025).

Diskusi tersebut turut dihadiri sejumlah narasumber ahli di bidang hukum yakni Wakil Ketua Komnas HAM AH Semendawai, Komisioner Komnas Perempuan Siti Aminah Tardi, Ketua DPN Peradi Luhut MP Pangaribuan, dan Pakar Hukum Margarito Kamis.

Iftitahsari meminta pembahasan mengenai Revisi KUHAP tak hanya berkutat pada narasi polarisasi tentang diferensiasi fungsional dan asas dominus litis.

Sebab, publik harus waspada terhadap adanya kepentingan terselubung dari para lembaga penegak hukum yang ingin memperluas kewenangannya khususnya melalui Revisi KUHAP dengan melemparkan narasi tentang penguatan asas dominus litis bagi pihak tertentu.

“Kita jangan sampai terjebak di narasi yang itu sebetulnya kepentingan-kepentingan lembaga tertentu yang tujuannya ingin memperbesar kewenangan," ujar Iftitahsari.

Terpenting dalam Revisi KUHAP tak boleh ada kewenangan powerfull yang dimiliki satu lembaga. Karenanya, dia menyebut pengawasan antarlembaga mutlak diperlukan.

Ketua DPN Peradi Luhut MP Pangaribuan menuturkan bagaimana para lembaga penegak hukum saling berlomba untuk memperkuat kewenangan mereka melalui Revisi KUHAP.

"Mereka berlomba-lomba menambah kewenangannya masing-masing. Namun poin yang harus disepakati adalah Polri sebagai penyidik utama tidak bisa diganggu, demikian Jaksa adalah penuntut tidak bisa diganggu," kata Luhut.

Artinya, dengan kata lain ada benturan antara diferensiasi fungsional yang dipertahankan Polri dan asas dominus litis yang diperjuangkan Kejaksaan.

Pernyataan tersebut turut diperkuat Wakil Ketua Komnas HAM AH Semendawai. Dia mengingatkan bahwa semakin besar kewenangan dan kekuasaan yang dimiliki suatu lembaga maka akan memperbesar peluang adanya korupsi di dalamnya.

“Jadi kalau sepenuhnya kepada satu lembaga misalnya tanpa ada pengawasan yang lain, ini kan kalau dia nggak jalan berarti berhenti tuh kasusnya, jadi bagaimana masyarakat bisa mencari keadilan," ungkapnya.

Semendawai mengevaluasi kondisi peradilan pidana di Indonesia saat ini di mana proses penuntutan sepenuhnya merupakan kewenangan kejaksaan.

"Masalahnya kalau ternyata jaksa tidak melakukan penuntutan suatu perkara sementara publik merasa harusnya dituntut, nah itu bagaimana kan harus ada solusinya. Kalau tidak ada solusi maka publik akan menganggap mereka tidak bisa mendapat keadilan," ujarnya.

Karena itu, dia berharap diferensiasi fungsional dan asas dominus litis dikembalikan pada fungsi seharusnya.

"Tujuan sistem peradilan pidana ini untuk memproses pihak yang melakukan perbuatan melanggar hukum. Terlepas siapa yang punya peran itu kan tinggal bagi-bagi saja tetapi harus diawasi agar kewenangan itu tidak hanya diserahkan kepada satu lembaga supaya tidak disalahgunakan," katanya.

Komisioner Komnas Perempuan Siti Aminah Tardi menjelaskan bahwa dalam sistem pidana di Indonesia, jaksa bukan berada di posisi mewakili korban.

"Jaksa itu sebetulnya tidak mewakili korban tetapi dia mewakili Undang-Undang, dia mewakili norma yang ada. Sehingga dengan standar itu perlakuan terhadap korban tidak seimbang dengan perlakuan terhadap terdakwa," ujarnya.

Padahal, yang harus ditekankan yakni mengenai peran jaksa dalam memberikan hak yang sama kepada korban dan terdakwa.

Menurut dia, yang masih jadi sorotan dalam sitem pidana di Indonesia yakni bagaimana mewujudkan sistem pidana yang terpadu. "Sementara dalam praktiknya banyak perkara adanya penundaan peradilan karena bolak-baliknya berkas antara polisi dan kejaksaan," ucapnya.

Pakar Hukum Tata Negara Margarito Kamis menyebut penerapan asas dominus litis pada Revisi KUHAP berpotensi memonopoli kewenangan terhadap suatu lembaga.

Adapun salah satu hal yang paling jelas dalam penerapan asas dominus litis pada revisi KUHAP adalah kejaksaan bisa memiliki dominasi pada penyidikan dan penyelidikan.

"Tidak boleh ada lembaga negara mendominasi lembaga negara lain karena harus balancing," ujarnya.

“Dari segi hukum, gagasan, kalau ada satu lembaga memonopoli kewenangan, itu sudah tidak sehat. Demokrasi itu menghendaki keseimbangan," sambungnya.

Margarito berharap konsep penyusunan revisi UU Kejaksaan dan KUHAP bisa melihat pada keseimbangan kewenangan antarlembaga.

"Menurut saya, kalau kita mau sehat, diseimbangkan, program-program itu diseimbangkan. Pokoknya tidak boleh monopolistik, diseimbangkan antar lembaga," ujarnya.

Topik Menarik