Penjualan Mobil Anjlok, Volkswagen akan Produksi Senjata dan Peralatan Militer
Pabrikan mobil Jerman yang sedang berjuang, Volkswagen, terbuka untuk memproduksi senjata dan peralatan militer, menurut CEO Oliver Blume.
Dia menyampaikan pernyataan tersebut sebagai tanggapan atas pengumuman Uni Eropa (UE) baru-baru ini tentang rencana membelanjakan hingga USD870 miliar untuk sektor pertahanannya.
Raksasa otomotif itu membukukan penurunan penjualan dan laba tahun lalu dan terpaksa mengumumkan penutupan pabrik dan PHK massal di Jerman untuk pertama kalinya.
Jerman adalah ekonomi utama dengan kinerja terburuk secara global pada tahun 2023 dengan mencatat kontraksi 0,3, diikuti pertumbuhan minimal pada tahun 2024 yang menyebabkan resesi. Krisis ekonomi sebagian disebabkan oleh hilangnya energi Rusia yang terjangkau setelah sanksi terkait Ukraina.
Berbicara kepada penyiar negara Jerman NDR pada hari Selasa, Blume mengumumkan pembuat mobil itu sedang memeriksa dengan saksama kebutuhan industri pertahanan.
Semua opsi ada di atas meja, menurut dia, termasuk mengubah beberapa pabrik dari produksi sipil menjadi produksi militer. "Kami pada dasarnya terbuka terhadap topik-topik seperti itu," klaim Blume.
Gagasan tersebut didukung produsen senjata terbesar Jerman, Rheinmetall. CEO Rheinmetall, Armin Papperger, mengatakan pada hari Rabu bahwa fasilitas VW di Osnabrueck akan cocok untuk diubah.
VW sebelumnya memproduksi kendaraan militer untuk Wehrmacht, angkatan bersenjata Nazi Jerman, selama Perang Dunia II, termasuk pengangkut ringan Kubelwagen dan kendaraan amfibi berpenggerak empat roda Schwimmwagen.
Satu pabrik VW terlibat dalam pembuatan komponen untuk bom terbang V-1, sejenis rudal jelajah awal yang digunakan untuk menimbulkan efek yang menghancurkan oleh Nazi.
Uni Eropa mengintensifkan upayanya melakukan militerisasi setelah Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump berulang kali mengkritik anggota NATO Eropa karena gagal memenuhi komitmen pengeluaran pertahanan blok tersebut.
Sebagai tanggapan, Brussels mengumumkan inisiatif militerisasi besar yang diusulkan Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen.
Dijuluki ReArm Europe, rencana tersebut dapat mengalihkan 800 miliar euro (USD870 miliar) ke sektor pertahanan selama empat tahun ke depan.
Sementara pengumuman itu membuat harga saham produsen senjata terbesar di Eropa melonjak, rencana itu ditolak anggota parlemen Belanda, dengan alasan masalah fiskal.
Moskow mengecam rencana UE, dengan menyatakan rencana itu terutama ditujukan kepada Rusia dan menimbulkan "kekhawatiran yang mendalam."
Prakarsa militerisasi UE muncul saat Rusia dan AS memulai negosiasi bulan lalu untuk mencoba dan menyelesaikan konflik Ukraina.
Meskipun demikian, para pemimpin UE telah berjanji terus mendukung Ukraina secara militer.