ICJR Minta Proses Pemberian Amnesti 44.000 Narapidana secara Akuntabel dan Transparan

ICJR Minta Proses Pemberian Amnesti 44.000 Narapidana secara Akuntabel dan Transparan

Nasional | sindonews | Senin, 16 Desember 2024 - 10:40
share

Rencana pemerintah memberikan amnesti kepada 44.000 narapidana (napi) direspons oleh Deputi Direktur Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Maidina Rahmawati. Dia meminta proses pemberian amnesti tersebut harus dilakukan secara akuntabel dan transparan.

“Kami menyerukan proses ini harus dilakukan berbasis kebijakan yang bisa diakses publik untuk dinilai dan dikritisi,” kata Maidina dalam keterangan tertulisnya kepada SINDOnews, Senin (16/12/2024).

Dia menuturkan, teknis pemberian amnesti harus dirumuskan dalam peraturan, minimal setara peraturan menteri untuk menjamin standardisasi pelaksanaan penilaian dan pemberian amnesti, sampai dengan diusulkan ke presiden dan dipertimbangkan oleh DPR. “Penilaian juga harus berbasiskan hasil pembinaan yang memperhatikan aspek psikososial dan kesehatan,” katanya.

 

Selain itu, ICJR juga mengkritisi rencana narapidana yang diamnesti untuk dijadikan tenaga swasembada pangan dan komponen cadangan. ICJR menyerukan bahwa rencana tersebut rentan bersifat eksploitatif.

“Jika narapidana tersebut diberikan kesempatan kerja sebagai bagian dari pembinaan, maka hak atas upah pekerjaannya harus dibayarkan. Dan hal tersebut bahkan bisa dilakukan saat ini tanpa perlu mendasarkan hal tersebut dengan rencana amnesti,” katanya.

Dia mengatakan, harusnya yang diperkuat soal ketersedian tenaga kerja adalah pembukaan lapangan kerja yang layak oleh pemerintah, dan pengarusutamaan penggunaan alternatif pemidanaan non penjara seperti pelatihan kerja yang sistemnya harus dibangun dengan komprehensif. Selain itu, mengenai pemberian amnesti bagi narapidana pengguna narkotika, ICJR juga sudah menyuarakan hal tersebut sejak pemerintahan presiden sebelumnya bahwa pengguna narkotika untuk kepentingan pribadi harus dikeluarkan dari pemenjaraan.

“Kami juga tidak menyepakati bahwa menghindarkan pemenjaraan bagi pengguna narkotika sama dengan memberlakukan rehabilitasi bagi mereka. Hal ini tidak tepat, karena tidak semua pengguna narkotika membutuhkan rehabilitasi,” imbuhnya.

Dia mengungkapkan, hanya 13 pengguna narkotika yang mengalami penggunaan bermasalah (UNODC, 2022). Hanya 1 dari 9 pengguna narkotika mengalami permasalahan dalam penggunaannya yang membutuhkan rehabilitasi (UNODC, 2018).

“Jika pengguna narkotika dikeluarkan dari pemenjaraan namun seluruhnya diwajibkan rehabilitasi, maka hal tersebut hanya memindahkan overcrowding rutan dan lapas ke lembaga rehabilitasi,” ucapnya.

Untuk hal tersebut, ICJR menilai perubahan kebijakan yang harus didorong adalah Revisi UU No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika. Yaitu dengan dekriminalisasi pengguna narkotika. Artinya adalah respons nonpenghukuman dan pidana bagi penggunaan narkotika untuk kepentingan pribadi.

Dia menjelaskan, pengguna narkotika dalam jumlah tertentu harus merupakan domain intervensi lembaga kesehatan bukan aparat penegak hukum. Terhadapnya dapat diberlakukan intervensi kesehatan dan atau sosial yang tidak hanya dalam bentuk rehabilitasi.

Dia menambahkan, sebagai catatan penggunaan mekanisme ambang batas penggunaan narkotika untuk mengidentifikasi intervensi bagi pengguna narkotika sudah sempat disampaikan pemerintah ke publik, terkait hal ini ICJR mendukung langkah pemerintah tersebut.

“Untuk menjamin keadilan, amnesti bagi pengguna narkotika harus dilegitimasi dengan pengesahan revisi UU Narkotika yang memperkenalkan dekriminalisasi pengguna narkotika. Selain itu, dengan adanya rencana amnesti untuk narapidana penghinaan presiden, maka kriminalisasi penghinaan presiden dalam UU No 1 tahun 2023 tentang KUHP Baru juga harus dihapuskan,” tuturnya.

Dia melanjutkan, spesifik untuk narapidana yang dikeluarkan dikarenakan sakit, maka pertimbangan tentang tindak pidananya harus dilakukan. Amnesti tidak serta merta dapat diberlakukan, karena lewat amnesti akibat hukum pidana menjadi dihapuskan.

“Jika narapidana yang melakukan tindak pidana umum tertentu yang memang adalah perbuatan pidana dengan korban teridentifikasi, maka yang lebih tepat diberlakukan terhadap narapidana tersebut adalah Grasi atau pengampunan presiden, bukan penghapusan pidana lewat amnesti,” katanya.

Lewat upaya ini ICJR juga menyerukan bahwa pemerintah perlu mengambil langkah konkret untuk mengatasi overcrowding rutan dan lapas di Indonesia. Salah satu yang paling utamanya adalah revisi UU Narkotika dengan dekriminalisasi pengguna narkotika, bukan dengan rehabilitasi berbasis hukuman.

Selain itu, penguatan persiapan implementasi KUHP Baru yang meperkenalkan pidana pengawasan, pidana kerja sosial, dan pidana denda sebagai alternatif nonpenjara harus dilakukan secara komprehensif. “ICJR pada dasarnya menyepakati segala langkah yang dilakukan atas dasar kemanusiaan dan hak asasi manusia, apalagi yang ditujukan untuk mengakhiri kriminalisasi pengguna narkotika untuk kepentingan pribadi,” kata dia.

Diketahui, pada Jumat, 13 Desember 2024, Menteri Hukum Supratman Andi Agtas didampingi oleh Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra dan Menteri Hak Asasi Manusia Natalius Pigai mengadakan keterangan pers seusai rapat di Kompleks Istana Kepresidenan Jakarta.

Dalam keterangan pers tersebut dinyatakan bahwa Presiden Prabowo Subianto merencanakan akan melakukan amnesti atau pengampunan dengan penghapusan pidana terhadap 44.000 narapidana di Lapas di Indonesia. Hal ini dilakukan sebagai upaya untuk menangani overcrowding di Rutan dan Lapas di Indonesia.

Terdapat 4 kriteria jenis tindak pidana yang akan mendapatkan amnesti menurut Menteri Hukum tersebut. Yakni, perkara tindak pidana ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik) tentang penghinaan kepada kepala negara, warga binaan pengidap penyakit berkepanjangan dan mengalami gangguan jiwa, kasus makar tidak bersenjata di Papua, dan pengguna narkotika yang seharusnya dilakukan rehabilitasi.

“Dalam rencana tersebut disebutkan bahwa orang yang akan diberikan amnesti akan dimungkinkan untuk melakukan kegiatan terkait dengan swasembada pangan dan sebagai komponen cadangan untuk darurat militer,” pungkasnya.

Topik Menarik