Biden Berencana Hapus Setengah Utang Jumbo Ukraina Rp73,8 Triliun
Presiden Amerika Serikat atau AS, Joe Biden memutuskan untuk menghapus utang pinjaman sekitar USD4,7 miliar atau setara Rp73,8 triliun (Kurs Rp15.711 per USD) ke Ukraina, sebagai bagian dari upaya mendukung Kiev sebelum Presiden terpilih Donald Trump menjabat tahun depan.
Sejak Februari 2022, Kongres AS telah menyetujui paket bantuan senilai lebih dari USD174 miliar untuk mendukung Ukraina dalam konfliknya dengan Rusia. Tahap terbaru yang disetujui pada bulan April, mencakup lebih dari USD9,4 miliar dalam "pinjaman yang dapat dimaafkan" untuk membantu mengisi kesenjangan dalam anggaran Kiev.
"Kami telah mengambil langkah yang diuraikan dalam undang-undang untuk membatalkan pinjaman tersebut," kata juru bicara Departemen Luar Negeri, Matthew Miller pada hari Rabu, lalu.
Ia mengonfirmasi bahwa Biden berusaha untuk menghapus setengah dari jumlah itu, atau sekitar USD4,7 miliar. Membatalkan utang adalah "kepentingan nasional Amerika Serikat dan mitra Uni Eropa, G7+, dan NATO," klaim Departemen Luar Negeri dalam sebuah surat kepada Kongres tertanggal 18 November, menurut Bloomberg.
Sementara Presiden terpilih Donald Trump menyatakan, saat kampanye bahwa dia tidak akan menentang Kongres yang menyetujui untuk mengirimkan lebih banyak bantuan ke Ukraina, dengan catatan selama bantuan yang diberikan dalam bentuk pinjaman daripada hadiah yang didanai pembayar pajak.
Mengubah citra beberapa bantuan sebagai pinjaman adalah salah satu penyesuaian utama yang membantu mendorong paket pada bulan April senilai USD61 miliar setelah menemui kebuntuan selama berbulan-bulan antara Partai Republik dan Gedung Putih.
Di sisi lain senator Rand Paul bersumpah untuk memblokir pembatalan utang, dengan alasan bahwa hal itu memberikan beban yang tidak adil pada pembayar pajak Amerika.
"Saya akan memaksa pemungutan suara untuk mencegah Biden mengubah utang Ukraina menjadi masalah Amerika. Usulannya menempatkan beban bisnis, petani, dan birokrat korup Ukraina di pundak orang Amerika yang pekerja keras," tulis Paul dalam sebuah pernyataan di X pada tengah pekan kemarin.
Seperti diketahui setelah perang berkepanjangan, Pemerintah Ukraina hampir seluruhnya bergantung pada bantuan Barat untuk menjaga ekonominya tetap bertahan. Pada bulan September, Kiev mengadopsi rancangan anggaran tahun 2025, dengan memprediksi defisit mencapai 75 dan memperkirakan membutuhkan anggara sekitar USD12 miliar dan USD15 miliar untuk menutup defisit.
Utang publik Ukraina tercatat sudah melebihi USD152 miliar pada Juli, menurut Kementerian Keuangan. Biaya pembayaran pinjaman telah melonjak dari USD900 juta menjadi USD5,2 miliar tahun ini, seperti yang dihitung oleh surat kabar Rusia Vedomosti setelah meninjau data keuangan Kiev.
Pada bulan Oktober, negara-negara G7 merampungkan pinjaman terpisah senilai USD50 miliar untuk Ukraina, didukung oleh keuntungan sekitar USD300 miliar yang diperoleh dari aset Rusia yang saat ini dibekukan di Barat. Terlepas dari tekanan AS untuk menyita aset seluruhnya, Dana Moneter Internasional (IMF) sejauh ini menentang tindakan ini, dengan kekhawatiran hal itu dapat merusak kepercayaan pada sistem keuangan Barat.
Moskow juga mengecam pembekuan aset sebagai tindakan "pencurian" dan memperingatkan bahwa memanfaatkan dana ini sebagai aksi ilegal dan menjadi preseden berbahaya. Menteri Keuangan Rusia, Anton Siluanov berjanji untuk memulai langkah-langkah pembalasan dari apa yang dilakukan Barat.
"Jika negara-negara Barat memutuskan untuk menggunakan aset dan pendapatan kami dari aset (yang dibekukan), pihak Rusia juga akan menerapkan tindakan yang tepat," kata menteri keuangan.