Taiwan Diperingatkan, China Bisa Mengobarkan Perang Ekonomi
Mengobarkan perang ekonomi dan dunia maya dapat menjadi pilihan buat China untuk mengambil alih Taiwan tanpa harus mengangkat senjata. Sebuah laporan yang dirilis oleh Foundation for Defense of Democracies (FDD) menerangkan, tentang kemungkinan taktik non-militer yang dapat digunakan secara efektif.
Skenario yang mungkin tetap diabaikan, bakal menimbulkan tantangan bagi AS, sekutu terbesar Taiwan . Lembaga penelitian yang berbasis di Washington itu menyarankan AS membuat persiapan untuk menanggapinya dengan cara terbaik.
Para peneliti FDD bekerja sama dengan pakar perbankan dan keuangan di Taiwan pada awal tahun sempat mensimulasikan kemungkinan langkah non-militer oleh Beijing, seperti kampanye disinformasi dan serangan siber terhadap infrastruktur. Latihan ini adalah yang pertama dari jenisnya dan berusaha untuk mengisi kesenjangan analitis, kata FDD.
"Globalisasi modern telah menciptakan lebih banyak koneksi ekonomi yang dapat dieksploitasi China untuk mencapai tujuan koersif," kata laporan itu.
"Inovasi teknologi menciptakan lebih banyak koneksi digital, menawarkan lebih banyak kemungkinan untuk pemaksaan, termasuk melalui penargetan infrastruktur penting," bebernya.
Beijing telah berjanji merebut Taiwan dengan paksa jika perlu, meskipun Presiden China Xi Jinping menekankan bakal melakukan "upaya maksimal" secara damai. Taiwan berpisah dari daratan pada tahun 1949 selama perang saudara ketika pemerintah nasionalis yang kalah melarikan diri ke pulau itu.
Ketegangan telah berkobar di Selat Taiwan sejak 2016 ketika Beijing mulai meningkatkan tekanan diplomatik dan militer di pulau itu, mendorong AS untuk meningkatkan dukungannya.
Washington, yang diwajibkan di bawah hukum AS untuk menyediakan perangkat keras militer yang memadai bagi Taipei untuk pertahanannya, berpendapat bahwa semua ini menjadi kepentingan AS untuk menjaga perdamaian di selat dan berdiri bersama negara-negara demokrasi seperti Taiwan untuk mempertahankan tatanan dunia berbasis aturan.
Beijing telah menuntut AS untuk menjauh dari Taiwan, dengan alasan bahwa masalah tersebut merupakan urusan domestik.
Dengan perkiraan 1 juta orang Taiwan yang tinggal dan bekerja di China, maka hubungan ekonomi keduanya semakin erat. Semua itu membuat kemungkinan pemaksaan ekonomi, boikot dan blokade militer menjadi ancaman yang lebih besar.
Dalam latihan simulasi, para ahli dari AS dan Taiwan mempelajari kemungkinan langkah Beijing seperti melakukan perang psikologis untuk mengikis kepercayaan publik, melarang impor produk Taiwan atau menaikkan tarif terhadapnya. Hingga menjual saham Taiwan, membekukan transfer bank melintasi selat, memotong kabel serat optik, dan menargetkan impor dan penyimpanan energi.
Ada beberapa rekomendasi yang diberikan dalam laporan tersebut, termasuk agar Taiwan mendiversifikasi impor energinya, merelokasi bisnis dari daratan China, mengembangkan pasar baru, dan membangun aliansi dan kemitraan. Laporan itu menyarankan agar Amerika Serikat mengembangkan buku pedoman untuk melawan China dan meningkatkan koordinasi dengan sekutu.
Akademi Perbankan dan Keuangan Taiwan, yang bekerja dengan FDD dalam latihan simulasi, berpendapat bahwa Taiwan harus memperkuat ketahanan keuangannya.
"China dapat mengacaukan sistem keuangan Taiwan untuk memicu kerusuhan sosial sebagai pendahulu invasi," kata laporan itu.
Direktur eksekutif Global Taiwan Institute, Russell Hsiao yang berbasis di Washington, mengatakan Beijing telah meningkatkan langkah-langkah non-militer terhadap Taiwan dan bahwa upaya semacam itu diperkirakan akan meningkat dalam beberapa bulan dan tahun mendatang.
"Amerika Serikat dan Taiwan harus bekerja sama dengan sekutu dan mitra yang berpikiran sama untuk memperkuat ketahanan kolektif terhadap persenjataan, serta saling ketergantungan ekonomi China," ungkap Hsiao.