Nuansa Budaya dalam Maskulinitas Intelijen

Nuansa Budaya dalam Maskulinitas Intelijen

Nasional | sindonews | Senin, 7 Oktober 2024 - 18:40
share

Darynaufal MulyamanAlumni Pasca HI UIDosen HI UKI

BUDAYA mengacu pada keyakinan, nilai, praktik, dan perilaku bersama kelompok, adalah lensa yang efektif untuk memahami dan mendalami orang lain dengan lebih seksama. Intelijen dan budaya adalah sebuah hubungan yang sebenarnya sudah berlangsung sangat lama.

Lewat membangun hubungan dengan para pemimpin budaya, anggota masyarakat, dan masyarakat lokal, analis intelijen dapat memperoleh akses ke informasi yang sulit diperoleh melalui cara standar. Jaringan ini dapat memberikan informasi tentang sikap, keyakinan, dan kondisi lokal, serta potensi ancaman dan bahaya secara faktual dan konsisten.

Bekerja dengan para pemimpin adat di tempat-tempat yang jauh adalah salah satu tindakan kongkret, seperti yang dilaksanakan oleh Cornelis de Houtman ketika pertama kali mendapat rempah-rempah saat mendarat di Banten pada 1595. Belanda saat itu menjadi paham dan bersemangat untuk mengeksplorasi Nusantara akibat informasi yang diteruskan oleh Houtman.

Budaya dapat menjadi alat penting dalam proses pengumpulan informasi. Memahami dan menggunakan nuansa budaya memungkinkan analis intelijen untuk memperoleh wawasan yang lebih dalam tentang motivasi, perilaku, dan kerentanan individu dan kelompok.

Lebih dalam lagi daripada itu, Matsumoto (1996) menjelaskan bahwa budaya adalah seperangkat sikap, nilai, keyakinan, dan perilaku yang dimiliki oleh sekelompok orang, tetapi berbeda untuk setiap individu, dikomunikasikan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Maka, lewat budaya antargenerasi, dapat terbangun sebuah sistem jaringan budaya yang dapat menjadi sumber informasi yang sangat berguna. Maka, dengan demikian, pendekatan budaya sudah pasti dapat digunakan untuk mendapatkan data intelijen yang kuat.

Menganalisis seni tradisional, sastra, dan musik, misalnya, dapat mengungkapkan informasi tentang nilai-nilai budaya, kepercayaan, dan kejadian sejarah, seperti yang disebutkan oleh Kroeber & Kluckhohn (1952), 'Budaya terdiri dari pola, eksplisit dan implisit, dari dan untuk perilaku yang diperoleh dan ditransmisikan oleh simbol'. Oleh karena itu, kebudayaan sudah pasti menjadi sumber data yang signifikan, tetapi apakah selama ini saat proses pengambilannya, sudah memakai teknik atau aset dalam budaya yang cenderung “feminim”?

Dunia intelijen selalu identik dengan maskulinitas, terutama kekuatan atau kejantanan. Pada budaya pop, di film-film seperti James Bond, Mission Impossible, ataupun Kingsman yang ramai dinikmati publik, kita bisa mengenal istilah agen atau mata-mata yang semua dibingkau sebagai sosok yang “macho” dengan keunggulan fisik maupun kecerdasan di atas rata-rata. Pun demikian dengan kemampuan mereka menguasai berbagai peralatan canggih yang superior.

Kendati demikian, tidak semua hal yang terkait dengan intelijen selalu diasosiasikan dengan maskulinitas. Beberapa hal dalam dunia intelijen jauh dari kata maskulinitas, tetapi vital untuk sektor intelijen. Misalnya, nuansa budaya yang memperkaya dunia intelijen serta menjadi faktor determinan yang penting dalam pengumpulan informasi di lapangan.

Joseph Nye (2011), seorang ilmuwan politik terkenal, menekankan pada pentingnya penggunaan kekuatan halus (soft power) atau kemampuan untuk mempengaruhi orang lain melalui ketertarikan daripada paksaan atau koersif yang telah menjadi semakin penting dalam praktik hubungan internasional. Kekuatan halus pun, terutama kemampuan untuk memahami dan mampraktikkan nilai-nilai budaya, menurut penulis, juga menjadi faktor penting dalam keberhasilan operasi intelijen.

Kekuatan halus melalui pemahaman kecerdasan budaya dapat dimaknai sebagai kemampuan untuk memahami dan menavigasi budaya yang berbeda secara efektif sehingga menjadi faktor integral bagi keterampilan seorang agen intelijen. Hal tersebut memungkinkan mereka untuk berbaur dengan target secara mulus (soft), membangun kepercayaan dengan sumber lokal, dan, pada akhirnya, mengumpulkan informasi yang akurat.

Misalnya, selama Perang Dunia I, Sekutu mempekerjakan agen yang fasih berbahasa asing dan sangat akrab dengan budaya setempat, seperti yang dilakukan oleh Mata Hari. Agen-agen ini mampu menjalin hubungan dengan individu-individu kunci di pihak lawan sehingga pengumpulan data dapat dilaksanakan dengan lebih efisien dan efektif.

Pemahaman budaya juga membantu badan intelijen untuk menghindari kesalahan yang merugikan. Kesalahan interpretasi nilai-nilai budaya dapat menyebabkan kesalahpahaman, ketidakpercayaan, dan bahkan kegagalan operasional. Misalnya, ketika sebuah operasi intelijen dilakukan dengan prinsip koersif atau pemaksaan sangat mungkin untuk menemui kegagalan sejak awal.

Sementara itu, apabila operasi intelijen dilakukan dengan prinsip kekuatan halus, yang dipenuhi dengan kooptasi, maka sangat mungkin ada penerimaan tanpa paksaan sehingga target mau memberikan informasi secara suka rela.

Salah satunya contohnya adalah dalam kasus “Project Black Venus” pada dekade 1990-an. Dalam operasi intelijen tersebut, seorang agen intelijen Korea Selatan menyamar sebagai pengusaha yang ingin memfilmkan iklan untuk perusahaan Korea Selatan di lokasi Korea Utara yang indah (AFP, 2018). Agen tersebut bahkan bertemu secara langsung dengan pemimpin Korea Utara, Kim Jong-il, selain mampu mengumpulkan informasi-informasi krusial tentang program nuklir Korea Utara.

Faktor budaya menjadi vital karena dapat dijadikan instrumen persuasif yang menjanjikan tanpa meninggalkan jejak koersivitas tertentu. Lain lagi dengan kisah Bahasa Cia-Cia yang dipreservasi dengan Hangeul di wilayah Bau-Bau, Sulawesi Tenggara, Indonesia.

Walaupun belum terbukti apakah ditunggangi operasi intelijen atau tidak, tetapi proyek preservasi dengan kekuatan halus, berupa aksara dan Bahasa Korea di sana, terbilang efektif tanpa ada jejak koersif sehingga penerimaan kekuatan halus melalui kooptasi yang tinggi pun terjadi (Mulyaman, 2021).

Masyarakat di sana, terpikat dan terpukau sehingga dengan suka rela memberikan izin untuk pihak asing mempreservasikan bahasa lokal mereka, yang menjadi fenomena yang tidak lazim terjadi di dunia lingusitik dengan rumpun bahasa yang berbeda.

Pada gilirannya, budaya adalah komponen penting dari spionase di era meningkatnya penggunaan kekuatan halus seperti sekarang ini. Dengan memahami dan menghargai nuansa budaya masyarakat target dan menunjukkan empati dan rasa hormat yang tulus terhadap masyarakat target, agen yang bekerja di badan intelijen dapat membangun kepercayaan, mengumpulkan informasi, dan membentuk hubungan dengan cara yang lebih efektif dan efisien tanpa perlu repot melakukan tindakan paksaan atau koersif.

Lewat dinamika global yang terus berkembang, pentingnya aspek budaya dalam dunia intelijen hanya akan terus bertumbuh dan berkembang. Selain itu, pemahaman budaya merupakan komponen penting dari spionase yang efektif, terutama di zaman modern seperti saat ini.

Kecerdasan budaya tentu dapat memengaruhi opini publik dimana pun. Dan ketika dunia menjadi semakin saling terhubung, kita tidak pernah tahu kemungkinan apa yang akan bisa terjadi nantinya. Badan-badan intelijen di Indonesia perlu untuk mempertimbangkan pendekatan budaya atau kultural dalam aktivitas-aktivitas intelijen agar tingkat keberhasilan operasinya menjadi lebih tinggi.

Perlu ada pembekalan yang memadai tentang budaya masyarakat target sebelum agen-agen diterjunkan ke lapangan agar kasus “tukang bakso membawa HT” tidak lagi dipergunjingkan di media sosial.

Topik Menarik