Alarm Bahaya Ekonomi China Berbunyi, Goldman Sachs: Intervensi Beijing Tak Membantu

Alarm Bahaya Ekonomi China Berbunyi, Goldman Sachs: Intervensi Beijing Tak Membantu

Berita Utama | sindonews | Selasa, 24 September 2024 - 02:15
share

Pelemahan ekonomi China diproyeksikan tidak akan mereda dalam waktu dekat, dimana Goldman Sachs menilai, intervensi kebijakan Beijing tidak banyak membantu. Kondisi tersebut membuat Analis di Goldman Sachs memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi China.

Goldman Sachs menurunkan perkiraan mereka untuk pertumbuhan PDB China dari 4,9 menjadi 4,7. Angka tersebut terutama lebih rendah dari target yang dipasang pemerintah China yakni "sekitar 5" untuk tahun 2024.

Baca Juga: China Menyetujui Rencana Menaikkan Usia Pensiun Per Januari 2025

Penurunan proyeksi ini diterangkan oleh para analis merujuk pada pelemahan data ekonomi dari bulan lalu, dengan penjualan ritel yang berkontraksi dan potensi tekanan pasar tenaga kerja. Poin-poin data ini menunjukkan kebijakan ekonomi China tidak tepat, kata para ahli strategi.

"Meskipun kebijakan makro sudah mulai mereda, mereka terlalu lambat. Akibatnya, ekonomi China menghadapi lebih banyak tantangan hari ini daripada beberapa bulan yang lalu karena kepercayaan terus terkikis," kata para analis dalam catatannya.

Analis juga mengutarakan, kebijakan moneter, fiskal, dan perumahan China yang lambat dan bertahap dari tahun lalu telah menciptakan siklus pelemahan lebih lanjut ke depan.

Baca Juga: Angka pengangguran Anak Muda China Meningkat 17 di Juli 2024, Ini Penyebabnya

Mereka menunjuk secara khusus pada dorongan efisiensi China di bidang manufaktur, yang mendorong penguatan ekspor tetapi kemungkinan merugikan pasar tenaga kerja karena jumlah pekerjaan yang diciptakan oleh PDB cenderung turun.

"Baik untuk kebijakan struktural maupun siklus, kecepatan implementasi sama pentingnya dengan arah kebijakan ini. Mendorong manufaktur dan otomatisasi berteknologi tinggi terlalu cepat tanpa memperkuat dukungan terhadap pengangguran dapat menyebabkan tekanan pasar tenaga kerja," jelas para analis.

Jika pasar tenaga kerja tak juga bergerak, maka menurut analis bisa semakin merugikan permintaan domestik China.Sentimen negatif lainnya termasuk kenaikan suku bunga riil China, yang membebani permintaan dan inflasi harga, sehingga menurunkan ekspektasi inflasi dan semakin meningkatkan suku bunga riil. Hal ini menciptakan siklus kenaikan suku bunga, kata para analis.

Sementara itu kegagalan China untuk menanggapi krisis keuangan pemerintah daerah juga memicu potensi hambatan. Pemerintah daerah, yang dihadapkan pada tekanan pembiayaan di tengah kejatuhan pasar properti yang berkelanjutan.

"Semakin lama kebijakan yang ada cenderung ragu-ragu dan semakin sering implementasi kebijakan mengecewakan, memicu pesimis di kalangan rumah tangga, bisnis, dan investor," kata para analis.

Pasar perumahan yang mengalami tekanan menjadi efek bola salju terhadap produksi baja dan semen, yang mengalami penurunan dari tahun ke tahun pada bulan Agustus dan ikut menurunkan penjualan ritel secara keseluruhan, menurut para ahli strategi.

Para analis membunyikan alarm terkait pertumbuhan China dalam beberapa pekan terakhir. Pekan lalu, ekonom Yingrui Wang mengatakan, China kemungkinan besar tidak akan mencapai target pertumbuhan pada akhir tahun, menunjuk pada perlambatan produksi industri dan sentimen konsumen yang terus lemah.

Topik Menarik