Istitha'ah Kesehatan Haji

Istitha'ah Kesehatan Haji

Nasional | sindonews | Rabu, 3 Juli 2024 - 22:22
share

Akh. MuzakkiGuru Besar dan Rektor UIN Sunan Ampel Surabaya;Anggota Tim Monitoring dan Evaluasi Haji 2024 KALIMAT “Jangan sepelekan istitha’ah kesehatan haji” adalah pesan penting di balik kebijakan Menteri Agama RI Yaqut Cholil Qoumas tentang persyaratan pelunasan Biaya Perjalanan Ibadah Haji (Bipih). Kebijakan dimaksud, mudahnya, bisa dirumuskan begini: “Istitha’ah kesehatan dulu, baru pelunasan ongkos haji.” Dan bukan “pelunasan ongkos haji dulu, baru istitha’ah kesehatan.”

Begitu pentingnya kesehatan bagi ibadah haji hingga istitha’ah pun kini dalam kebijakan pemerintah RI menjadi kriteria penentu indikator kemampuan diri calon jemaah haji. Itu artinya, dari awal sekali, calon jemaah haji sudah harus menghitung kondisi kesehatan diri sebagai syarat untuk sekadar menjadi calon jemaah haji (CJH).

Maka, kepergian haji ke Arab Saudi tak akan bisa dipenuhi jika perihal kesehatannya tak memenuhi ketentuan istitha’ah itu. Menabung finansial memang penting agar bisa memenuhi minimal biaya haji. Tapi berinvestasi di kesehatan diri adalah mutlak sekali.

Kata “investasi” ini berarti ada kehendak kuat di dalam diri seseorang untuk menjaga, mempertahankan dan meningkatkan kesehatan dirinya. Dan karena investasi, maka prosesnya panjang dan tidak instan.

Pengalaman penyelenggaraan haji dari tahun ke tahun membuktikan bahwa saat standar kesehatan makin diperketat, sukses haji pun makin meningkat. Ukuran sukses haji di sini selain keabsahan peribadatan haji adalah makin kecilnya jumlah jemaah haji yang mengalami masalah kesehatan berat.

Mulai dari yang menjalani rawat inap di Klinik Kesehatan Haji Indonesia (KKHI) hingga dilakukannya tindakan medis di rumah sakit Arab Saudi. Telaahnya adalah analisis perbandingan dari tahun satu ke tahun lainnya. Nah, tahun yang terakhir tentu harus lebih baik dari tahun-tahun sebelumnya.

Lihatlah laporan kesehatan haji tahun 1445 H/2024 M sebagai contoh konkret. Atas kebijakan “Istitha’ah kesehatan dulu, baru pelunasan ongkos haji” di atas, pengetatan standar istitha’ah dengan memunculkan kesehatan sebagai sebuah faktor penentu berdampak signifikan pada indeks kematian jemaah haji.

“Kalau tahun lalu yang wafat 74 orang, kini yang wafat 42 orang,” jelas dr. Enny kepada Mahmud Syaltut bersama Affan Razi dan Akh Muzakki selaku Tim Monitoring dan Evaluasi Haji 2024 di Klinik Kesehatan Haji Indonesia (KKHI), Rabu (5 Juni 2024).

Dr. Enny sendiri adalah kepala KKHI Daerah Kerja Mekkah. Data itu adalah data sepuluh hari sebelum puncak ibadah haji di Arafah, Muzdalifah dan Mina (Armuzna) pada mjusim haji 1445 H/2024 M yang justeru menyita hebat tenaga jemaah haji.

Kini saat musim haji sudah memasuki tahap akhir dalam bentuk kepulangan jemaah haji Indonesia dari Arab Saudi ke tanah air, perbandingan angka kematian jemaah haji pasca Armuzna bagi musim haji 1444 H/2023 M dibanding musim haji sebelum-sebelumnya cukup signifikan.

Pada musim haji 1445 H/2024 M, hingga tulisan ini dibuat (02 Juni 2024) tercatat total-kumulatif masih dalam kisaran belasan di atas tiga ratus jemaah haji. Bandingkan dengan musim haji sebelumnya yang total mencapai angka di atas enam ratus.

Data di atas menunjukkan bahwa standar istitha’ah kesehatan melalui kebijakan “Istitha’ah kesehatan dulu, baru pelunasan ongkos haji” di atas sangat efektif. Standar kesehatan itu bisa menekan problem kematian jemaah haji Indonesia selama pelaksanaan haji di Arab Saudi. Jumlah jemaah haji yang masuk kategori kelompok risiko tinggi (risti) kesehatan makin menurun.

Maut memang kuasa Tuhan. Namun promosi kesehatan dan sekaligus pencegahan angka individu yang bermasalah dengan kesehatan harus dilakukan semaksimal mungkin oleh siapapun mereka. Nah, kriteria istitha’ah kesehatan itu instrumen penting untuk melihat suksesnya promosi kesehatan dimaksud.

Tentu jika ada praktik yang tidak benar dalam proses pemenuhan kriteria istitha’ah kesehatan di atas, masalah akan kembali kepada diri jemaah haji sendiri. “Ada seorang lelaki tua menyesal setelah mendapati isterinya meninggal dalam proses menjalani rangkaian ibadah haji di Arab Saudi,” cerita salah seorang pimpinan penyelenggara haji Indonesia siang itu.

Inisialnya JJ. Dia menceritakan kisah itu saat makan siang bersama di ruang makan, di Hotel Assel, Jeddah, Senen (02 Juli 2024), hari terakhir sebelum malamnya rombongan tim Monitoring dan Evaluasi haji 2024 kembali ke tanah air.

Kata “menyesal” dari pernyataan lelaki tua itu membuat pimpinan petugas haji Indonesia yang menceritakan ulang kisah itu semakin terangsang untuk bertanya lebuh jauh. “Lalu, kenapa Bapak menyesal? Bukankah isteri meninggal di Tanah Suci yang banyak dirindukan? Apa yang membuat Bapak menyesal?” Begitu tanya Pak JJ dalam ceritanya kala itu.

Lelaki tua itu menjawab: “Seandainya saya tidak melakukan kekeliruan, mungkin cerita isteri saya tidak seperti ini.” Mendengar pernyataan itu, sang petugas haji Indonesia itu makin tertarik untuk bertanya lebih mendalam. “Apa kekeliruan Bapak?” tanya petugas haji Indonesia itu seakan-akan menginvestigasi.

Lelaki tua itu pun menceritakan lebih detail seperti ini: “Saat mengurus surat kesehatan di Indonesia sebagai persyaratan haji, isteri saya menggunakan air kencing anak saya. Sebelum pergi ke rumah sakit untuk tes urin, isteri saya meminta anak saya untuk mengisi botol plastik kecil dengan urinnya. Lalu dia bawa saat ke rumah sakit. Nah, yang dia isikan ke botol urin untuk tes kesehatan di rumah sakit itu justeru dari urin anaknya yang telah dia simpan dari rumah. Hasil tes urinnya pun memang oke. Tapi justeru karena itu, isteriku di sini saat haji harus menjemput ajalnya karena dia tak kuat lagi bertahan dengan penyakit bawaannya.”

Mungkin lelaki tua itu tak pernah berpikir panjang dengan akibat buruk dari kekeliruan perilakunya dengan tidak jujur dalam uji Kesehatan semasa di Indonesia. Saat kriteria istitha’ah kesehatan waktu itu bisa dipenuhi dalam proses pengurusannya, kala itu mungkin hati senang-senang saja. Bahagia karena akan segera bisa berangkat haji.

Namun, nasib berkata lain. Justru dengan diterimanya hasil uji kesehatan dirinya dengan cara yang tidak jujur itu justeru membahayakan dirinya sendiri. Sebab akibatnya, mitigasi risiko tinggi atas kesehatannya mungkin tak lagi dipandang perlu. Sisi lain, tingginya kebutuhan terhadap kekuatan fisik untuk menjalani ibadah haji semakin memperparah situasi. Akhirnya, ketahanan fisik diri pun tak lagi bisa dipertahankan di tengah tuntutan gerak fisik yang tinggi dalam ibadah haji.

Indeks kesehatan diri memang terlalu mahal untuk dikesampingkan. Karena, indikator istitha’ah kesehatan semakin menjadi perhatian pemerintah Indonesia. Tentu kita semua. Baik jemaah haji Indonesia yang seang berada di Arab Saudi untuk menunaikan ibadah haji maupun keluarganya yang menunggu dan ikut berdoa di Indonesia.

Karena siapa pun kita, pasti ingin menikmati kebersamaan bersama orang-orang tercinta lebih lama. Pergi beribadah haji memang menjadi harapan dan keinginan siapapun yang ingin menyempurnakan keislamannya. Namun kebersamaan dengan orang-orang tercinta tetap tak ingin cepat berlalu karena dipisahkan oleh kematian.

Jangan sampai pembicaraan umum menjadi kenyataan dalam haji. “Dulu saat muda mau membeli sesuatu, uang tak ada. Saat dewasa, uang punya, tapi tak bisa beli apa-apa. Karena faktor kesehatan yang memperihatinkan.” Dalam konteks ibadah haji, saat menabung untuk bisa pergi haji ke Arab Saudi telah mencukupi, diri tak bisa berangkat haji karena faktor kesehatan yang tak memungkinkan. Kalaulah pergi berhaji ke Arab Saudi itu bisa terjadi, kekhidmatan berhaji agak terganggu oleh tingkat kesehatan diri yang terkurangi.

Maka, setiap kita penting menjaga kesehatan. Untuk kepentingan lebih luas dalam menjalani hidup. Namun untuk kepentingan spesifik, itu dibutuhkan agar kita bisa memenuhi standar istitha’ah kesehatan yang kini dipersyaratkan lebih utama. Dengan begitu, bukan saja berangkat haji bisa dimungkinkan. Melainkan juga selama beribadah haji pun, kesehatan bisa dijaga dan dipertahankan. Itu semua agar saat berhaji kesehatan diri bisa dijaminkan. Untuk kepentingan sukses haji yang selalu didambakan.

Saat kampanye tentang Gerakan Haji Muda yang belakangan mulai gencar dilakukan berbagai pihak, sebetulnya Menteri Agama RI Gus Yaqut Cholis Qoumas melalui kebijakan “Istitha’ah kesehatan dulu, baru pelunasan ongkos haji” di atas sedang menirimkan pesan penting kepada generasi muda. Penting namun konkret sekali pesan itu.

Jangan hanya fokus pada pemenuhan ongkos haji. Jangan hanya diskusi soal bagaimana literasi haji dari sisi manajemen keuangan pribadi hingga bisa berhaji. Jangan mencukupkan diri hanya dengan mendalami persoalan peribadatan haji. Semua itu baik. Tapi tidak cukup. Bahkan semua itu bukan menjadi faktor penentu.

Gus Men, panggilan akrab Menteri Agama RI itu, melalui kebijakan di atas sedang berpesan: hiduplah secara sehat dari sekarang. Jaga kesehatan dari dini. Karena, walaupun pada saatnya nanti engkau sudah memiliki banyak kecakapan dan kemampuan finansial, ibadah haji tetap menempatkan indikator istitha’ah kesehatan atau kemampuan diri di bidang kesehatan pada posisi hulu.

Kelak pada saatnya nanti justeru istitha’ah kesehatan yang akan menentukan nasib dan kesempatan berhajimu. Apakah kesempatan berhaji yang lahir karena kemampuan finansial dan kecakapan fiqhiyah dalam peribadatannya betul-betul akan bisa terealisasi atau tidak, kesehatan menjadi ukuran utamanya. Maka, hidup sehat adalah cara dini untuk menjemput peluang haji.

Pada titik inilah, Hadits Nabi yang berbunyi al-mu’min al-qawiy ahabbu ilallahi min al-mu’min al-dla’if bisa menemukan kekuatan makna dan daya dorongnya. Secara khusus, untuk kepentingan haji, Muslim yang memiliki ketahanan fisik yang tinggi lebih baik daripada Muslim yang lemah fisiknya.

Jangankan pada persoalan-persoalan lain dalam kehidupan sehari-hari, pada persoalan peribadatan saja seorang Muslim yang memiliki kebugaran fisik yang tinggi akan lebih efektif dan dicintai daripada selainnya. Apalagi untuk kepentingan ibadah haji, kesehatan fisik adalah penunjang pentingnya hingga haji pun disebut sebagai ibadah fisik yang utama.

Topik Menarik