Soal Gempa Megathrust Selat Sunda dan Mentawai-Siberut, Kepala BMKG: <i>Wallahualam</i>, Kita Harus Siap

Soal Gempa Megathrust Selat Sunda dan Mentawai-Siberut, Kepala BMKG: Wallahualam, Kita Harus Siap

Nasional | okezone | Jum'at, 17 Januari 2025 - 16:44
share

JAKARTA - Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) kembali mengingatkan potensi ancaman gempa besar yang berpotensi tsunami dari zona megathrust Selat Sunda dan Mentawai-Siberut. Meskipun, hingga saat ini belum ada yang bisa memastikan kapan gempa di zona megathrust itu akan terjadi.

Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati pun mengungkapkan, bahwa seismik gap zona megathrust Selat Sunda dan Mentawai-Siberut sudah lebih dari 200 tahun. Padahal, berkaca dari seismik megathrust Nankai Jepang seismik gapnya membutuhkan waktu 78 tahun. Sementara, megathrust Tohoku-Oki itu tahun tahun 2011 terlepas yang membutuhkan waktu 176 tahun dan Aceh-Andaman sudah lepas dengan waktu 97 tahun. Sehingga sudah seharusnya meningkatkan kewaspadaan akan potensi gempa di zona megathrust.

“Yang belum terjadi yang sedang ditunggu itu adalah di Selat Sunda dan di Mentawai Siberut sudah lebih dari 227 tahun. Sehingga sudah seharusnya kami untuk bersiap menyiapkan itu. Teknologi kita tingkatkan, kita bangun terus sistemnya,” jelas Dwikorita dalam webinar Resolusi 2025: Mitigasi Bencana Geologi, Jumat (17/1/2025).

“Nah ini data yang menunjukkan aktivitas gempa yang relatif jarang di zona seismik gap. Jadi kenapa kita sebut seismik gap di situ memang ada kekosongan ya, ada gap. Dan di situ kita khawatir di zona yang itu, nah itu dikhawatirkan akan terlepas sewaktu-waktu karena massanya sudah terlampaui,” papar Dwikorita.

Oleh karena itu, Dwikorita mengatakan, bahwa dalam rangka persiapan gempa di zona megathrust, BMKG telah melakukan skenario model guncangan gempa megathrust Selat Sunda. Menurut Pusat Studi Gempa Nasional (PuSGen) magnitudonya mencapai 8,7.

“Dan di situ dapat terprediksi atau terestimasi kalau itu terjadi yang akan mengalami guncangan adalah zona-zona kuning itu guncangannya kuning ya, kuning sampai orange, ada merah juga itu di sekitar juga ya itu intensitas guncangannya mencapai 6 hingga 7 MMI ya dengan deskripsi artinya kalau intensitas setinggi itu akan terjadi kerusakan sedang hingga berat,” katanya.

 

“Zonanya mana saja itu sudah terdeteksi dari model ya ini. Nah jadi ini yang harus ini kami sampaikan ke pemerintah daerah dan pihak terkait agar melakukan antisipasi dan kesiapan. Jadi kita enggak tahu apakah mau terjadi 2025 atau 2000 sekian, wallahualam ya tapi kita harus siap,” tambah Dwikorita.

Bahkan, menurut Dwikorita, jika gempa terjadi di zona megathrust maka wilayah-wilayah di sekitar Selat Sunda, seperti Banten, Lampung, dan sebagian Jawa Barat, berpotensi mengalami guncangan dengan intensitas mencapai 6 hingga 7 MMI (kerusakan sedang hingga berat). Selain itu, tsunami yang dihasilkan diperkirakan dapat mencapai ketinggian lebih dari 3 hingga 20 meter, terutama di pantai-pantai sekitar Selat Sunda.

“Kemudian juga skenario model gempa megathrust Selat Sunda ini kita lengkapi dengan skenario model tsunami, ketinggian tsunami ini warna merah tingginya bisa di atas 3 meter, 3 meter juga bisa 10 meter ya di atas 3 meter, bisa sampai 10 m lebih belasan meter bahkan mungkin 20 meter atau belasan lah ya paling tidak yaitu di pantai Selat Sunda di Banten kemudian juga di Lampung, Jawa Barat dan Bengkulu,” katanya.

Bahkan, kata Dwikorita, di Teluk Jakarta juga terdampak yang dari skenario bisa terjadi tsunami setinggi 50 cm. “Di Jakarta itu kira-kira setengah meter kayaknya, di Jakarta maksudnya di teluk Jakarta itu juga kena, tapi hanya sekitar berapa cm gitu ya, 50 cm sekitar itu.”

 

Dwikorita pun mengatakan bahwa skenario tersebut telah disampaikan ke pihak yang berwenang misalnya pemerintah kota pemerintah daerah terkait. 

“Kemudian juga kelengkapan sistem monitoring karena megathrust itu benar-benar kami jaga maka kita lipat kan jumlah sensornya, kita tambah ya dan kita sedang menyiapkan sistem peringatan dini gempa bumi sedang dalam proses penyiapan dan bekerjasama dengan antara lain dengan Taiwan,” tuturnya.

“Kemudian juga kita tambah sensor muka laut kemudian kita pasang radar khusus kemudian juga kita pasang sensor-sensor cuaca, kemudian sirine tsunami ada 15, khusus untuk Selat Sunda dan alat penerima peringatan dini tsunami,” pungkasnya. 

Topik Menarik