Mengenal Asal Usul Budaya Carok yang Tewaskan Saksi Paslon Jimad Sakteh di Sampang Madura
JAKARTA - Mengenal asal usul budaya carok, yang tewaskan saksi paslon Jimad Sakteh di Sampang Madura, akan diulas lengkap dalam artikel ini. Diketahui, korban bernama Jimmy Sugito Putra tewas dicarok sejumlah orang.
Polda Jatim mengerahkan 4 tim untuk memburu para pelaku pembacokan di Desa Ketapang Laok, Sampang, Madura.
Kapolda Jatim, Irjen Imam Sugianto mengatakan, ada 4 tim khusus dalam menangani peristiwa di Kecamatan Ketapang, Sampang.
"Polda Jatim melakukan koordinasi, konsolidasi terutama kepada para tim pemenangan pasangan calon yang berkontestasi," kata Imam Sugianto kepada wartawan, Selasa (19/11/2024).
Sementara itu, kata dia, satu pelaku dalam insiden berdarah itu sudah diamankan anggota dan dilakukan pemeriksaan di Polda Jawa Timur.
“Kami telah mengamankan satu orang tersangka berinisial FS. Dan mudah-mudahan dengan penangkapan satu orang tersangka ini nantinya bisa cepat dikembangkan ke tersangka lain,"pungkasnya.
Dilansir beragam sumber, carok merupakan salah satu tradisi unik asal Madura yang begitu lekat dengan kekerasan. Tradisi ini ditandai dengan pertarungan berdarah menggunakan senjata tajam seperti celurit.
Keberadaan tradisi ini membuat masyarakat Madura lekat dengan imej keras dan temperamental. Tradisi ini, sebenarnya upaya orang Madura memulihkan kehormatan dan harga dirinya yang telah dicabut pihak lain.
Lantas apa itu Carok? Tradisi menyeramkan yang memakan korban jiwa di Madura berdasarkan buku berjudul Manusia Madura pada 2007 mengatakan, masyarakat setempat memegang prinsip: etambang pote mata lebih bagus pote tolang. Artinya, daripada hidup menanggung malu, lebih baik mati berkalang tanah.
Pada abad ke-12 zaman Kerajaan Madura saat dipimpin Prabu Cakraningrat, dan abad ke-14 di bawah pemerintahan Jokotole, istilah carok masih belum dipahami. Bahkan pada masa pemerintahan Penembahan Semolo, putra dari Bindara Saud putra Sunan Kudus di abad ke-17, tidak ada istilah Carok.
Pemicu terjadinya Carok bisa banyak hal, dari perebutan kekuasaan, warisan, hingga perselingkuhan. Tradisi ini pertama kali berkembang di Madura pada zaman pendudukan Belanda, sekitar abad 18.
Kala itu, Belanda menghasut warga untuk melakukan perlawanan terhadap keluarga Blater, jagoan asal Madura, yang disebut-sebut sebagai kaki tangan penjajah. Hingga akhirnya terjadi Carok antara warga lokal dengan ‘saudara’ sendiri dari kaum Blater.
Berawal dari sinilah, masyarakat setempat terbiasa menyelesaikan masalah mereka dengan bertarung menggunakan celurit. Bahkan ketika Indonesia merdeka, tradisi Carok ini masih terus terpelihara di Bangkalan, Sampang, hingga Pamekasan.
Sebelum melakukan Carok, para peserta biasanya akan sepakat tentang hari pertarungan terlebih dahulu. Setelahnya mereka akan membuat arena yang bisa disaksikan oleh siapa saja.
Jika ada yang terbunuh dalam pertarungan itu, si pemenang biasanya akan menyerahkan diri kepada aparat. Namun dalam perkembangannya, tradisi ini mulai ditinggalkan karena menyalahi aturan hukum dan agama.
Sementara itu ada dua jenis carok yang sering dilakukan. Yang pertama adalah Ngonggai, suatu cara melakukan carok dengan sengaja mendatangi rumah musuh untuk menantangnya.
Orang yang Ngonggai pasti memiliki keberanian yang luar biasa dan persiapan yang matang. Oleh karena itu, cara ini lebih dihargai dari pada cara yang kedua yaitu Nyelep.
Nyelep adalah cara yang dilakukan oleh pelaku carok dengan cara menyerangnya dari belakang atau dari samping. Dari dua kategori ini bisa disimpulkan bahwa carok itu bisa direncanakan dan ada pula yang spontan