Special Report: Memutihkan Nama Mantan Kepala Negara

Special Report: Memutihkan Nama Mantan Kepala Negara

Nasional | okezone | Sabtu, 28 September 2024 - 12:59
share

JAKARTA - Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) mencabut tiga TAP MPR yang terkait dengan tiga nama mantan presiden, yakni Soekarno, Soeharto dan Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Tiga tap MPR tersebut dianggap mencoreng nama baik ketiga presiden tersebut, karena berkaitan dengan tuduhan kasus yang menjerat mereka di akhir jabatan. 

Langkah ini dianggap sebagai upaya negara untuk berdamai dengan kisruh masa lalu, meski pencabutan TAP MPR tersebut masih menyisakan polemik. Sekaligus  membawa Indonesia masuk pintu rekonsiliasi nasional, memutihkan nama mantan kepala negara yang selama ini "tersandera".

Beleid yang dicabut adalah TAP MPRS Nomor XXXIII/MPRS/1967 tentang Pencabutan Kekuasaan Pemerintah Negara dari Presiden Sukarno; TAP MPR Nomor 11 Tahun 1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme; serta TAP MPR Nomor II/MPR/2021 tentang Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia KH Abdurrahman Wahid.

Tuduhan Soekarno Lindungi PKI Tak Terbukti 

TAP MPRS Nomor XXXIII/MPRS Tahun 1967 tentang Pencabutan Kekuasaan Pemerintah Negara dari Presiden Sukarno berisi dugaan bahwa Soekarno terlibat dalam upaya pengkhianatan negara dengan melindungi PKI.

Pencabutan ini menegaskan bahwa Bung Karno tak pernah mengkhianati negara dan melindungi PKI seperti disebut dalam pertimbangan TAP MPRS itu. Sehingga secara yuridis tuduhan tersebut tidak pernah dibuktikan menurut hukum dan keadilan serta telah bertentangan dengan prinsip Indonesia sebagai negara yang berdasar atas hukum.

Hal itu sesuai ketentuan Pasal 1 ayat 3 UUD NRI 1945. Dalam prinsip hukum berlaku “Omnis Idemnatus pro innoxio legibus habetur” (setiap orang yang tidak dapat dinyatakan bersalah sebelum dinyatakan sebaliknya oleh hukum).

Apalagi, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melalui Keputusan Presiden Nomor 83/TK/Tahun 2012 telah menganugerahkan Gelar Pahlawan Nasional kepada Almarhum Dr. (H.C.) Ir. Soekarno pada 2012. Pertimbangan pemberian gelar Pahlawan Nasional tersebut antara lain adalah Bung Karno merupakan putra terbaik yang pernah dimiliki oleh bangsa Indonesia.

Pasal 25 huruf e Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 Tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan menyebutkan salah satu syarat pemberian gelar Pahlawan Nasional  yaitu setia dan tidak pernah mengkhianati bangsa dan negara.

Tuduhan KKN Soeharto Dihapus karena Sudah Meninggal Dunia

Ketetapan (TAP) MPR Nomor 11 Tahun 1998 tentang perintah untuk menyelenggarakan yang bersih tanpa Korupsi, Kolusi, Nepotisme (KKN) akhirnya dicabut. Keputusan itu disampaikan Ketua MPR Bambang Soesatyo dalam Sidang Paripurna Akhir Masa Jabatan Periode 2019-2024, yang digelar di Gedung Nusantara, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat

"Terkait dengan penyebutan nama Mantan Presiden Soeharto dalam TAP MPR Nomor 11/MPR 1998 tersebut secara diri pribadi, Bapak Soeharto dinyatakan telah selesai dilaksanakan karena yang bersangkutan telah meninggal dunia," kata pria yang akrab disapa Bamsoet.

Bamsoet menjelaskan, keputusan itu dilandasi atas adanya usulan dari Fraksi Golkar pada 18 September 2024. Kemudian, MPR RI menggelar rapat gabungan pada 23 September 2024. Hasilnya mencabut nama Soeharto dari TAP tersebut. Kendati demikian, Bamsoet mengatakan, TAP MPR itu secara yuridis masih berlaku. Hanya saja, proses hukum terhadap Soeharto sesuai Pasal itu telah selesai karena yang bersangkutan telah meninggal dunia. 

 

"MPR sepakat untuk menjawab surat tersebut sesuai dengan etika dan peraturan perundang-undangan yang berlaku di mana status hukum TAP MPR Nomor 11 Tahun 1998 tersebut dinyatakan masih berlaku oleh Tap MPR Nomor 1/R 2003," katanya. 

Pasal 4 TAP MPR Nomor 11/1998 mengamanatkan pemberantasan KKN bagi pejabat negara termasuk Presiden Soeharto, dan para kroninya. TAP itu ditekan pada 13 November oleh MPR di bawah pimpinan Harmoko. 

"Upaya pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme harus dilakukan secara tegas terhadap siapapun juga, baik pejabat negara, mantan pejabat negara, keluarga, dan kroninya maupun pihak swasta/konglomerat termasuk mantan Presiden Soeharto dengan tetap memperhatikan prinsip praduga tak bersalah dan hak-hak asasi manusia," demikian bunyi TAP tersebut. 

Pemberhentian Gus Dur dalam TAP MPR Tak Berlaku Lagi

TAP Nomor II/MPR/2001 tentang Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) kini tak berlaku lagi, usai MPR memutuskan untuk mencabut aturan tersebut karena dianggap sudah tak berlaku lagi.

Permintaan itu dilayangkan Wasekjen PKB Eem Marhamah Zulfa yang mewakili Fraksi PKB. Permintaan itu, dilandasi atas adanya TAP Nomor I/MPR/2023 mengenai Peninjauan terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan MPRS dan Ketetapan MPR RI Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002. 

Dia berkata, pencabutan TAP Nomor II/MPR/2001 untuk memulihkan nama baik Presiden ke-4 RI Gus Dur. "Fraksi PKB MPR RI memohon agar MPR RI mengeluarkan surat keputusan administratif terkait tap nomor II/MPR/2001 sudah tidak berlaku lagi Sesuai dengan pasal 6 TAP MPR nomor I tahun 2003 dalam rangka pemulihan nama baik Presiden KH Abdurrahman Wahid," kata Eem.

Menurutnya, TAP nomor II/MPR/2001 tak berlaku lagi seiring adanya TAP Nomor I/MPR/2023 mengenai Peninjauan terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan MPRS dan Ketetapan MPR RI Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002.

Reaksi Pencabutan TAP MPR  

Putra dari Mantan Presien Soekarno, Guruh Soekarnoputra menyambut baik soal tak berlakunya lagi TAP MPRS Nomor 33 tahun 1967. Ia pun mengaku, keluarga Bung Karno telah menunggu lebih dari 57 tahun untuk mendapat sikap dari Pemerintah atas pendongkelan Bung Karno dari jabatan Presiden ke-1 RI.

"Ya, saya memang harus mengatakan demikian karena faktanya kami telah menunggu dan menunggu selama lebih dari 57 tahun 6 bulan alias 57 tahun setengah akan datangnya sikap perikemanusiaan dan keadilan sesuai dengan Pancasila yang dimana termaktub sila kemanusiaan yang adil dan beradab dari lembaga MPR kepada Bung Karno," tutur Guntur.

Guntur pun mengenang ayahnya yang diangkat menjadi Presiden RI seumur hidup oleh MPRS. Dia mengingatkan, keputusan MPRS itu juga menekankan peninjauan ulang kembali terkaot pengangkatan Bung Karno jadi presiden.

"Yang tidak dapat kami terima adalah alasan pemberhentian Presiden Sukarno karena dituduh melakukan pengkhianatan terhadap bangsa dan negara dengan memberikan dukungan terhadap pengkhianatan dan pemberontakan G30SPKI pada tahun 1965 yang lalu," tutur Guntur.

"Tuduhan keji yang tidak pernah dibuktikan melalui proses peradilan apapun juga seperti itu telah memberikan luka yang sangat mendalam bagi keluarga besar kami, maupun rakyat Indonesia yang patriotik dan nasionalis yang mencintai Bung Karno sampai ke akhir zaman," tandas Guntur.

Wasekjen PKB Eem Marhamah Zulfa juga menyambut baik pencabutan TAP Nomor II/MPR/2001. Menurutnya, pencabutan itu membuat nama baik Gus Dur dipulihkan.

Menurut Eem, kiprah Gus Dur sebagai Presiden ke-4 RI sejak 20 Oktober 1999 hingga 23 Juli 2001 telah memiliki banyak jasa pengabdian dan kontribusi bagi bangsa dan negara. Salah satunya, sambungnya, Gus Dur telah menginisiasi dan mengawal proses reformasi, membangun demokrasi, dan mengembangkan pluralisme dalam kehidupan berbangsa dan negara.

"Serta memajukan hak asasi manusia dengan memperkuat perlindungan negara terhadap seluruh warga negara khususnya kaum minoritas. Jasa dan kontribusi beliau telah mendapatkan pengakuan luas dari rakyat selaku Pemegang kedaulatan tertinggi negara," terang Eem. Selain itu, kata Eem, wafatnya Gus Dur telah menjadi kehilangan besar bagi bangsa dan negara.

Pencabutan Ketetapan MPR soal kasus KKN mantan Presiden Soeharto menyisakan polemik. Meski penghapusan nama Soeharto dijelaskan karena yang bersangkutan meninggal dunia, namun kasus KKN dan sejumlah pelanggaran HAM di Orde Baru masih menyisakan polemik.

Pasal 4 TAP MPR Nomor 11/1998 mengamanatkan pemberantasan KKN bagi pejabat negara termasuk Presiden Soeharto, dan para kroninya. TAP itu ditekan pada 13 November oleh MPR di bawah pimpinan Harmoko. 

"Upaya pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme harus dilakukan secara tegas terhadap siapapun juga, baik pejabat negara, mantan pejabat negara, keluarga, dan kroninya maupun pihak swasta/konglomerat termasuk mantan Presiden Soeharto dengan tetap memperhatikan prinsip praduga tak bersalah dan hak-hak, asasi manusia," demikian bunyi TAP tersebut. 

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid menilai pencabutan nama Soeharto itu melecehkan korban dan keluarga korban pelanggaran hak asasi manusia (HAM) selama rezim orde baru (orba). “Keputusan MPR mencabut nama eks Presiden Soeharto dari Ketetapan MPR Nomor 11 Tahun 1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) patut dikritik,” ujar Usman.

Dia menilai pencabutan nama Soeharto itu langkah mundur perjalanan reformasi. “Jalan pengusutan kejahatan korupsi, kerusakan lingkungan maupun pelanggaran HAM selama 32 tahun Soeharto berkuasa belum selesai diungkap,” ungkapnya.

Usman memprediksi kebijakan itu akan mempersempit ruang sipil bagi para masyarakat sipil yang bergerak di sektor antikorupsi dan korban pelanggaran HAM masa lalu. 

“Mulai dari korban peristiwa pembantaian orang-orang yang dicap pendukung PKI 1965-1966, peristiwa penembakan misterius 1982-1985, peristiwa Tanjung Priok 1984, peristiwa Lampung 1989, peristiwa penghilangan paksa 1997-1998, Tragedi Trisakti dan Kerusuhan Mei 1998, hingga korban peristiwa pelanggaran HAM selama penetapan status DOM di Aceh, Papua dan Timor Timur,” tuturnya.

Topik Menarik