Paradoks Pendidikan Tinggi
Deden PrayitnoDosen FTI, Mahasiswa Doktoral Perbanas Institute
LAGI-LAGI ini sebuah potret yang buram. Kepala Badan Pusat Statistik (BPS), Amalia Adininggar Widyasanti pada Selasa (4/3/2025) mengungkapkan dari seluruh penduduk Indonesia berusia di atas 15 tahun, hanya 10,20 yang menyelesaikan pendidikan hingga perguruan tinggi. Bandingkan dengan Singapura, yang memiliki angka partisipasi kasar (APK) pendidikan tinggi mencapai 91,09, jauh melampaui Malaysia (43) dan Thailand (49,29).
Ada, memang, upaya untuk memperluas akses secara masif ke pendidikan tinggi dan pemerintah sudah berkomitmen meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pendidikan tinggi secara lebih banyak. Namun, upaya itu kerap terhadang oleh hierarki institusi yang terbatas.
Masih ada stratifikasi yang menciptakan kesenjangan kualitas dan kesempatan antarperguruan tinggi dan menimbulkan tantangan dalam mewujudkan sistem pendidikan yang inklusif dan merata. Pendidikan tinggi di Indonesia masih menghadapi situasi paradoksial ini,
Akses pendidikan tinggi yang masif bertujuan untuk memberikan kesempatan kepada seluruh lapisan masyarakat, terutama bagi mereka yang berada di daerah terpencil. Pemerintah melakukan berbagai kebijakan, seperti peningkatan anggaran pendidikan dan program beasiswa bagi mahasiswa kurang mampu, untuk memperluas akses ini. Namun, akses yang masif ini tidak selalu menjamin kualitas yang merata.
Hierarki dalam pendidikan tinggi tercermin dari perbedaan kualitas antara perguruan tinggi negeri (PTN) dan perguruan tinggi swasta (PTS). PTN umumnya memiliki sumber daya yang lebih baik, baik dari segi fasilitas maupun tenaga pengajar, dibandingkan dengan PTS. Hal ini menyebabkan lulusan PTN lebih diminati di pasar kerja, sementara lulusan PTS sering kali menghadapi stigma negatif terkait kualitas pendidikan mereka.
Stratifikasi ini memperkuat ketimpangan dalam dunia pendidikan tinggi dan berdampak pada kesempatan kerja bagi lulusan. Dirjen Diktiristek Abdul Haris menegaskan, keterbatasan ini mengakibatkan tidak semua lapisan masyarakat dapat menikmati pendidikan tinggi yang berkualitas
Beberapa PTS memang sudah sangat bagus dan lulusannya mampu bersaing di dunia industri, tetapi jumlahnya tidak banyak. Salah satu permasalahan terkait peningkatan kualitas pendidikan tinggi adalah birokrasi yang rumit dan budaya feodal. Birokrasi kini lebih efisien dengan pemanfaatan sistem berbasis teknologi informasi, dan sistem yang sebelumnya feodal mulai bertransformasi menjadi lebih inklusif. Namun, proses pengambilan keputusan yang masih berjenjang dan lambat dalam merespons perubahan zaman tetap menjadi tantangan, sehingga inovasi serta penyesuaian kurikulum dengan kebutuhan industri masih terhambat.
Akibatnya, lulusan perguruan tinggi sering kali tidak siap menghadapi tantangan dunia kerja yang terus berkembang. Pemerintah telah memberikan kebijakan bagi perguruan tinggi untuk mengembangkan peta jalan guna mencapai visi dan misi institusional dengan diferensiasi misi yang kuat. Kebijakan ini mendorong integrasi penelitian dalam pembelajaran serta penerapan hasil riset dalam masyarakat. Sayangnya, belum banyak industri yang berperan aktif dalam mendorong PTS untuk berkolaborasi dalam pengembangan bersama guna menciptakan keterkaitan dan kesesuaian antara dunia pendidikan dan industri.
Kurangnya kolaborasi antara perguruan tinggi dan industri menyebabkan kurikulum perguruan tinggi kurang adaptif terhadap perkembangan dunia kerja. Materi yang diajarkan lebih berfokus pada kebutuhan saat ini daripada memproyeksikan tren dan keterampilan yang akan dibutuhkan dalam tiga hingga empat tahun ke depan. Akibatnya, saat mahasiswa lulus, ilmu yang mereka peroleh sering kali sudah kurang relevan dengan kebutuhan industri, sehingga memperlebar kesenjangan antara dunia akademik dan dunia kerja.
Perlunya Komitmen Bersama
Kini, pembenahan pendidikan tinggi juga menghadapi tantangan baru, seperti penghematan anggaran yang dapat berdampak pada sektor pendidikan tinggi. Pemotongan anggaran dilakukan untuk mendanai program lain, seperti penyediaan makanan gratis bagi siswa sekolah dasar dan permodalan Danantara. Kebijakan ini memicu protes dari mahasiswa yang merasa bahwa pendidikan tinggi dikorbankan demi prioritas lain.Selain itu, perubahan struktural dalam pemerintahan turut mempengaruhi dinamika pendidikan tinggi. Pemecahan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi menjadi tiga kementerian terpisah menimbulkan tantangan koordinasi dan konsistensi kebijakan antar kementerian terkait.
Untuk mengatasi paradoks ini, diperlukan pendekatan holistik yang mencakup peningkatan kualitas pendidikan di seluruh perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta. Pemerintah perlu memastikan distribusi sumber daya yang adil dan merata, serta mendorong kolaborasi antara institusi pendidikan dengan industri. Reformasi birokrasi dan pengurangan feodalisme dalam sistem pendidikan tinggi menjadi kunci untuk menciptakan lingkungan akademik yang inovatif dan adaptif terhadap perubahan.
Kolaborasi antara perguruan tinggi dan industri penting untuk memastikan bahwa inovasi tidak hanya berasal dari industri, tetapi juga dari perguruan tinggi. Dengan demikian, diharapkan pendidikan tinggi di Indonesia dapat menjadi instrumen efektif dalam menciptakan masyarakat yang adil dan sejahtera.
Stella Christie, Wakil Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi, juga menekankan pentingnya kolaborasi antara perguruan tinggi dan industri untuk memastikan bahwa inovasi tidak hanya berasal dari industri, tetapi juga dari perguruan tinggi. Dengan demikian, iharapkan pendidikan tinggi di Indonesia dapat menjadi instrumen efektif dalam menciptakan masyarakat yang adil dan sejahtera.
Penting pula memperhatikan kesejahteraan dan pengembangan karier dosen sebagai pengajar dan peneliti. Men-PAN RB, Rini Widyantini, menyampaikan bahwa pemerintah telah berupaya menyempurnakan tata kelola dosen melalui berbagai peraturan menteri dengan memberikan hibah untuk peningkatan kompetensi, distribusi, kesejahteraan, hingga pengembangan karier dosen. Langkah ini diharapkan dapat meningkatkan kualitas pengajaran dan penelitian di perguruan tinggi, sehingga mampu bersaing di tingkat global.
Pemanfaatan teknologi dalam pendidikan tinggi menjadi semakin krusial. Inovasi pembelajaran berbasis teknologi dapat menjadi solusi untuk meningkatkan kualitas pendidikan dan mengatasi kesenjangan akses pendidikan di berbagai wilayah Indonesia. Implementasi teknologi yang tepat guna dapat membantu perguruan tinggi dalam menyelenggarakan pembelajaran yang lebih fleksibel dan inklusif.
Evaluasi terhadap efektivitas sistem pembelajaran berbasis teknologi yang telah diterapkan dalam memperluas akses pendidikan tinggi juga diperlukan. Digitalisasi memang memberikan fleksibilitas yang memungkinkan lebih banyak individu mengakses pendidikan, tetapi pada saat yang sama, kesenjangan infrastruktur, pendanaan, serta keterampilan digital menciptakan hierarki baru antara perguruan tinggi dengan sumber daya yang memadai dan yang masih terbatas.
PTN umumnya lebih unggul dalam fasilitas, pendanaan riset, dan daya saing global, sementara PTS masih menghadapi tantangan dalam aspek tersebut. PTS perlu didukung dengan kebijakan yang memastikan akses setara terhadap infrastruktur digital, peningkatan kualitas akademik, serta penguatan jejaring dan kerja sama dengan industri dan lembaga riset. Dengan langkah tersebut, PTS tidak hanya dapat bersaing dengan PTN di dalam negeri, tetapi juga memiliki daya saing yang lebih kuat di tingkat global.
Tantangan dalam pendidikan tinggi di Indonesia memerlukan komitmen bersama untuk memperluas akses dan meningkatkan kualitas pendidikan, serta reformasi birokrasi yang efektif. Semua itulah yang akan membawa pendidikan tinggi Indonesia menuju sistem yang lebih adil, inklusif, berkualitas, dan berkelanjutan.