Kepala Daerah Baru Momentum Penguatan Etika Pemerintahan
Rahman YasinDirektur Eksekutif Lembaga Pengembangan Pendidikan Anak Bangsa Jakarta
PERTAMA kali dalam sejarah bangsa Indonesia di mana pelantikan kepala daerah dan wakil kepala daerah baik tingkat provinsi, dan kabupaten/kota digelar secara bersamaan, serentak dan di tempat yang sama. Sebanyak 961 kepala daerah seluruh Indonesia dilantik Presiden Prabowo Subianto di Istana Negara pada Kamis (20/2/2025).
Dalam sambutan presiden Prabowo Subianto mengatakan, “Saudara-saudara, hari ini merupakan momen bersejarah. Pertama kali di negara kita, kita lantik 33 Gubernur, 33 Wakil Gubernur, 363 Bupati, 363 Wakil Bupati, dan 85 Wali Kota serta 85 Wakil Wali Kota dengan total 961 kepala daerah” dari 481 daerah di Indonesia yang melaksanakan Pemilihan Kepala Daerah serentak tahun 2024.
Pelantikan kepala daerah itu didasarkan pada Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 2025 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2016 tentang Tata Cara Pelantikan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Wali Kota dan Wakil Wali Kota, maka pelantikan kepala daerah tersebut dilakukan secara serentak.
Pelantikan pejabat negara hasil penyelenggaraan Pemilu dan Pilkada ini merupakan agenda rutin kenegaraan lima tahunan. Di mana sebelumnya sudah diselenggarakan juga pelantikan anggota DPR RI dan anggota DPD RI serta Presiden dan Wakil Presiden terpilih untuk periode 2024-2029.
Pemilu Serentak tingkat nasional adalah pemilihan calon anggota legislatif yang telah lebih dahulu dilantik pada Hari Selasa (1/10/2024). Kita tahu sebanyak 580 anggota DPR dan 152 anggota Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) periode 2024-2029 yang dilantik di ruang paripurna Gedung Nusantara MPR/DPR RI Jakarta. Sedangkan pelantikan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka juga telah dilakukan di Gedung Nusantara, kompleks parlemen, Jakarta (20/10/2024).
Pemerintah dan DPR bersepakat dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama dengan KPU, Bawaslu, DKPP pada Senin (03/2/2025) mengenai pelantikan kepala daerah. Pelantikan Kepala Daerah terpilih Pilkada serentak 2024 dilaksanakan pada Hari Kamis, (20/2/2025) di Istana Negara.
Pelantikan ini sekaligus mengakhiri berbagai polemik tentang ditunda tidaknya pelaskanaan pelantikan Kepala Daerah dimaksud. Pro dan kontra dalam dinamika demokrasi merupakan hal yang lumrah karena masyarakat Indonesia yang kian dewasa dan matang dalam berdemokrasi.
Jenis dan Tahap Pelaksanaan Pemilu 2024
Pemilu dan Pilkada Nasional Serentak yang diselenggarakan 2024 telah kita lewati dengan berbagai dinamika yang relatif kondusif. Pada 2024 ada tujuh jenis Pemilu dan Pilkada yang diselenggarakan dalam dua tahap.Tahap pertama terdiri dari 3 (tiga) jenis penyelenggaraan Pemilu Serentak Nasional yang dilaksanakan pada Hari Rabu, (14/2/2024). Tahap kedua adalah Pilkada yang terdiri dari 4 (empat) jenis Pemilu yang dikategorikan dalam Pilkada tingkat lokal.
Pemilu yang diselenggarakan pada (24/2/2024) adalah rangkaian Pemilu tingkat pusat untuk memilih pertama, calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR); kedua, memilih Dewan Perwakilan Daerah (DPD); dan ketiga, memilih calon Presiden dan Wakil Presiden.
Sedangkan Pemilu dalam kategori Pilkada yakni pertama, untuk memilih calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi; kedua, memilih calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) tingkat Kabupaten/Kota; ketiga, memilih Gubernur dan Wakil Gubernur; dan keempat adalah memilih calon Bupati dan Wakil Bupati serta calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota.
Pemilu Serentak yang dilaksanakan pada Rabu (14/2/2024) dan Pilkada Nasional Serentak yang diselenggarakan pada (27/11/2024) secara umum telah sukses. Pilkada melibatkan sejumlah besar kontestasi dan meski secara umum dikatakan berhasil akan tetapi hal itu bukan menjadi sesuatu yang membuat khususnya penyelenggara lalai akan praktik kecermatan, kecekatan dalam menjawab berbagai tantangan dan hambatan yang dialami selama masa pelaksanaan Pemilu dan Pilkada.
Pemilu tingkat pusat boleh di bilang tidak ada suatu kendala yang berarti. Akan tetapi harus disadari bahwa masih banyak kekurangan yang mesti diperbaiki.
Secara khusus penyelenggara Pilkada dituntut selalu mengedepankan sikap profesionalisme dan kecermatan tanggung jawab untuk menyelesaikan agenda Pilkada Serentak seperti yang diketahui di mana ada dua daaerah yang harus dilakukan pemilihan ulang dikarenakan kolom kosong menang. Kedua daerah dimaksud adalah Kabupaten Bangka dan Kota Pangkal Pinang.
Skema Pemilihan Ulang
DPR dan KPU telah bersepakat jika kedua daerah yakni Kabupaten Bangka dan Kota Pangkal Pinang akan diselenggarakan pemilihan ulang pada (27/8/2025). Skema perekayasaan sistem pemilihan ulang di dua daerah dimaksud haruslah mengikuti standar ketentuan yang ada.Pilkada di dua daerah ini harus digelar ulang tentu didasarkan pada ketentuan norma pilkada yang menyatakan, penetapan hasil pemilihan bupati dan wakil bupati, serta wali kota dan wakil wali kota dalam Pemilihan 1 (satu) pasangan calon pada tahun 2024 terdapat daerah yang perolehan suara pasangan calon pada Pemilihan 1 (satu) pasangan calon tidak lebih dari 50 (lima puluh persen) dari suara sah, sehingga perlu dilakukan pemilihan ulang.
Terhadap ini KPU telah menyediakan skema rekayasa konsep pelaksanaan Pilkada ulang di dua daerah tersebut secara apik. Usaha penyesuaian norma teknis substantif pelaksanaan pemilihan ulang ini secara yuridis formal membutuhkan sikap kehatian-hatian penyelenggara karena harus mengubah regulasi internal.
Namun kenyataan praktik menyikapi fenomena pemilihan ulang ini telah disiapkan KPU Pusat dan Provinsi serta KPU Kabupaten dan Kota sebagai ujung tombak teknis penyelenggaraan di lapangan.
Pembahasan rancangan Peraturan KPU tentang Tahapan dan Jadwal Pemilihan Ulang Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, Wali Kota dan Wakil Wali Kota Tahun 2025 pada RDP (4/12/2024) sebagai kelanjutan dari pembahasan-pemabahasan sebelumnya pada forum Fokus Group Dusscation (FGD) bersama pemerintah, DPR, Bawaslu, dan DKPP serta stakeholders patut direspons positif karena ada langkah-langkah kongkrit untuk menuntaskan tanggung jawab agenda Pilkada serentak ini secara profesional dan akuntabel.
Dalam konteks itu, maka berdasarkan ketentuan Pasal 54D ayat (3) UU 10/2016 tentang Perubahan Kedua atas UU 1/2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang, pemilihan berikutnya diulang kembali pada tahun berikutnya atau dilaksanakan sesuai dengan jadwal yang dimuat dalam peraturan perundang-undangan.
Maka konsensus bersama KPU dan DPR untuk melaksaksanakan pemilihan ulang di Kabupaten Bangka dan Kota Pangkal Pinang dengan pendekatan penguatan dan penyesuaian regulasi internal PKPU merupakan langkah efektif dalam memecahkan persoalan yang dihadapi.
Karena pada kenyataan, proses penyiapan skema pemilihan ulang ini sejalan dengan spirit mewujudkan Pilkada yang mandiri, berintegritas, dan kredibel.
Pemilu dan Pilkada Beretika
Proses peneyelenggaraan Pemilu dan Pilkada yang beretika ialah harapan semua masyarakat Indonesia. Pemilu dan Pilkada yang beretika menjadi cermin utama negara yang beradab dalam menjalankan sistem nilai-nilai kebangsaan yang didasari oleh sumber konstitusi tertinggi kita yaitu Pancasila dan UUD 1945.Pemilu dan Pilkada yang beretika sejatinya dihasilkan dari sebuah proses pelaksanaan tahapan yang benar-benar mengikuti dan mentaati seluruh ketentuan norma peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sebagai suatu standar etika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Standar perilaku ideal penyelenggaraan Pemilu dan Pilkada secara normatif—berkaitan erat dengan kualitas dan kompetensi serta integritas penyelenggara.
Integritas hasil Pemilu dan Pilkada sangat ditentukan oleh integritas dan kompetensi penyelenggara. Karena penyelenggara menjadi kunci utama dalam mengelola dan mengendalikan proses dan hasil tahapan Pemilu dan Pilkada.
Dalam konteks ini, meminjam paradigma John Locke, dikatakan, “penyelenggara pemilu itu adalah pemegang bentuk kekuasaan yang secara langsung menentukan martabat politik suatu bangsa”.
Penyelenggara Pemilu juga manusia biasa yang memiliki potensi kekurangan dan kelebihan. Potensi konstruktif dan destruktif dapat saja muncul dalam proses pelaksanaan tahapan tertentu apalagi urusan Pemilu dan Pilkada yang melibatkan berbagai perilaku kontestan merebut kekuasaan sehingga tidak menutup kemungkinan godaan dan gangguan independensi bisa saja terjadi.
Penyelenggara yang lalai dan bahkan lupa akan sumpah jabatan kerap kali didapati tidak melaksanakan tugas dan fungsi sebagaimana mestinya dan yang sangat disayangkan ada yang terjebak dengan janji, iming-iming tertentu dari peserta.
Pengalaman demokrasi elektoral Indonesia terutama pada pelaksanaan Pemilu dan Pilkada Serentak 2024 menunjukkan, penyelenggara Pemilu tidak terlepas dari berbagai pelanggaran berupa kecurangan, penyimpangan, dan bentuk-bentuk malpraktik Pemilu lainnya.
Dalam laporan jajaran Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), kecenderungan (trends) pelanggaran berbanding lurus dengan dinamika politik. Semakin tinggi intensitas dinamika suatu daerah pemilihan dalam Pemilu, maka semakin tinggi potensi berbagai pelanggaran seperti pelanggaran administrasi Pemilu, pelanggaran tindak pidana Pemilu, pelanggaran kode etik Penyelenggara Pemilu, sengketa proses Pemilu, dan pengajuan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum.
Realitas ini mengindikasikan adanya permasalahan kepatuhan di kalangan para aktor Pemilu, seperti peserta Pemilu, tim kampanye atau tim sukses, massa pendukung, masyarakat pemilih, serta para pemangku kepentingan termasuk di dalamnya adalah para penyelenggara Pemilu, belum memiliki tingkat kepatuhan yang memuaskan dalam penyelenggaraan Pemilu.
Kendatipun sebenarnya pengaturan mengenai ruang lingkup, kuantitas norma tentang larangan dan ancaman sanksi, serta peningkatan struktural dan fungsional pengawas menurut undang-undang Pemilu telah ditingkatkan.
Dari perspektif kerangka hukum Pemilu di Indonesia, sebenarnya telah mengadopsi standar Pemilu internasional, juga telah secara konsisten menerapkan sistem keadilan Pemilu (electoral justice system) yang dipraktikkan secara luas oleh komunitas Pemilu internasional.
Namun dalam faktanya, sebagaimana telah disinggung di atas, Pemilu dengan standar internasional tidak serta merta imun dari berbagai bentuk pelanggaran. Demikian halnya dengan penerapan sistem keadilan Pemilu, yang menumpukan strategi pencegahan dan penindakan, juga belum mampu secara efektif meminimalisasi berbagai bentuk pelanggaran Pemilu tersebut.
Keadaan ini sudah sepatutnya untuk dicari jalan ke luar, supaya Pemilu Indonesia tetap dipercaya sebagai mekanisme demokrasi elektoral yang handal di mata peserta Pemilu, masyarakat pemilih, dan para pemangku kepentingan lainnya. Pemilu yang diterapkan secara berintegritas menentukan akseptabilitas proses dan hasil-hasil Pemilu, dan ujung dari integritas Pemilu adalah menyangkut akseptabilitas pemerintahan yang dihasilkan dari Pemilu.
Pemahaman di atas seyogyanya mengingatkan kita semua untuk tetap memperkuat sistem pemilu berbasis pada etika. Pemilu beretika tidak lain adalah pengejewantahan dari amanat TAP MPR RI Nomor VI Tahun 2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa.
Dalam pokok-pokok etika kehidupan berbangsa yang dimuat dalam TAP MPR Nomor VI Tahun 2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa, dikatakan bahwa etika politik dan pemerintahan dimaksudkan untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih, efisien, dan efektif serta menumbuhkan suasana politik yang demokratis yang bercirikan keterbukaan, dan rasa bertanggungjawab. Selain itu tanggap akan aspirasi rakyat, menghargai perbedaan, jujur dalam persaingan, kesediaan untuk menerima pendapat yang lebih benar, serta menjunjung tinggi hak asasi manusia dan keseimbangan hak dan kewajiban dalam kehidupan berbangsa.
Dalam konteks itu, semua stakeholders dalam kekuatan bangsa terus memperkuat komitmen memperbaiki segala kelemahan dan kekurangan dari pengalaman penyelenggaraan Pemilu dan Pilkada Serentak Nasional 2024.
Sukses pesta rakyat 2024 tidak serta merta membuat kita terutama penyelenggara lupa karena masih banyak persoalan yang harus diperbaiki.
Pemerintah, DPR dan penyelenggara Pemilu KPU, Bawaslu dan DKPP tentu optimis dengan selalu berharap peran aktif pemangku kepentingan — media massa, kaum intelektual, dan kalangan pro-demokrasi untuk terus bersama-sama mendorong gagasan penguatan sistem Pemilu yang stabil dan saling topang antara rule of law dan rule of ethics. Sistem Pemilu yang diperkuat dengan aturan hukum dan etika yang berjalan secara simultan.
Penguatan Etika Penyelenggaraan Negara
Masyarakat Indonesia tentu menaruh harapan besar dan menempatkan ekspektasi pembangunan daerah yang semakin menyejahterakan rakyat. Para kepala daerah hasil Pilkada Serentak 2024 yang baru saja dilantik ini diharapkan dapat bekerja dan berusaha memberikan tauladan kepemimpinan di daerah secara konstruktif.Sehingga anggapan krisis keteladanan kepemimpinan baik pusat dan daerah dalam beberapa dekade terakhir diharapkan dapat pulih kembali melalui kepemimpinan baru dari 961 kepala daerah yang dilantik sekarang.
Pemimpin daerah yang mampu memberikan contoh baik bagi generasi muda bangsa.
Dengan demikian, cita-cita penguatan sistem etika pemerintahan atau etika penyelenggaraan negara dapat diimplementasi lebih kongkrit. Etika pemerintahan atau etika penyelenggaraan negara mempunyai makna fungsional strategis dalam mewujudkan tata kelola bernegara yang baik good governance.
Melalui kepemimpinan para kepala daerah yang baru ini rakyat harap ada peningkatan penerapan sistem etika pemerintahan atau etika penyelenggaraan negara yang bermartabat berdasarkan prinsip-prinsip negara hukum dan etika dapat berjalan efektif. Penguatan sistem hukum dan etika yang dijalankan secara fungsional.
Etika pemerintahan atau etika penyelenggaraan negara yang memastikan bahwa penegakan hukum efektif dan sistem etika dapat dijalankan secara konsisten terutama dalam kerangka menerapkan penegak kode etik dan kode perilaku setiap pejabat negara terutama pejabat dalam konteks kepemimpinan politik.
Penegakan etika pemerintahan dan etika penyelenggaraan negara menjadi sangat penting dan mendasar karena dengan itu maka semua produk kebijakan menyangkut kepentingan publik senantiasa mengikuti standar penyelenggaraan administrasi pemerintahan yang transparan dan akuntabel.