Jangan Langgengkan Praktik Demokrasi yang Manipulatif
POPULISME tak terukur bisa menjadi jebakan yang menghancurkan. Menihilkan standar kompetensi kepemimpinan dalam memilih pemimpin publik adalah awal kehancuran. Nuansa populis dalam Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 62/PUU-XXII/2024 tentang penghapusan presidential threshold justru memperluas ruang bagi manipulasi nilai dan prinsip-prinsip demokrasi.
Sudah menjadi fakta tak terbantahkan bahwa sebagian dari perjalanan sejarah demokrasi Indonesia modern diwarnai dengan praktik demokrasi yang manipulatif. Adalah nyata bahwa kekuasaan politik bisa dibeli, dengan terlebih dahulu membeli suara warga negara yang sudah memiliki hak untuk memilih. Itu sebabnya, semua elemen masyarakat tahu dan mengenal apa itu politik uang.
Demikian popularnya praktik dan ungkapan politik uang sehingga sering dijadikan candaan atau materi lawakan oleh berbagai kelompok masyarakat. Tidak peduli dengan program dan janji kandidat pemimpin publik yang sedang berkampanye, sebagian masyarakat justru lebih menunggu ‘serangan fajar’, saat-saat ketika para relawan sang kandidat bagi-bagi uang.
Selain politik uang, manipulasi terhadap praktik berdemokrasi juga dilakukan dengan menunggangi salah satu kewajiban negara, yakni ragam program bantuan sosial. Program ini sering direkayasa sedemikian rupa untuk membentuk persepsi bahwa bantuan diberikan oleh kandidat atau pribadi bersangkutan. Modus manipulasi lainnya adalah menekan pemimpin lokal untuk ‘memaksa’ dan memastikan warga setempat memilih kandidat tertentu. Jika sang pemimpin lokal menolak ‘paksaan’ itu, dia akan dikriminilisasi.
Kehendak bersama untuk membangun kehidupan berdemokrasi yang dewasa, bijaksana dan matang akan sulit diwujudkan jika praktik demokrasi yang manipulatif seperti sekarang ini dibiarkan berlarut-larut. Menjadi kewajiban suprastruktur dan infrastruktur politik negara untuk terus berupaya mengeliminasi praktik demokrasi yang manipulatif itu.
Benar bahwa semua warga negara berhak dan bisa menjadi pemimpin publik; dari kepala desa, camat, lurah, bupati, gubernur hingga presiden. Tetapi sosok pemimpin publik, apalagi presiden sebagai pemimpin nasional, harus dipersiapkan dan secara pribadi dia pun harus mempersiapkan dirinya. Masyarakat harus tahu bagaimana seorang calon pemimpin publik dipersiapkan. Semua aspek pada figur calon pemimpin publik haruslah positif.
Pengetahuan dan pemahaman tentang pemimpin yang harus dipersiapkan adalah keniscayaan, dan berlaku pada bidang apa pun. Pemimpin dari satuan kerja terkecil hingga yang berskala besar harus dipersiapkan. Utamanya karena sosok yang memimpin harus punya kompetensi dan kompetensinya pun harus diketahui publik. Rakyat di sebuah negara pun pasti menginginkan pemimpinnya punya kompetensi untuk mengelola kepentingan semua elemen masyarakat.
Syarat menjadi calon presiden telah disederhanakan sedemikian rupa sebagaimana tercermin pada Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 62/PUU-XXII/2024 itu. Penyederhanaan ini memang terkesan populis. Namun, membawa implikasi yang kompleks bagi dinamika politik dan proses pendewasaan demokrasi di Indonesia. Selain itu, penyederhanaan tersebut juga berpotesi semakin membuka dan memperluas ruang bagi manipulasi nilai dan prinsip-prinsip demokrasi dalam memilih pemimpin publik, utamanya memilih presiden.
Kelakar Gibran di Depan Ketua PP Pemuda Katolik: Senasib, Baru Saja Dikeluarkan dari Partai
Berpijak pada putusan MK itu, bisa dipastikan bahwa jumlah bakal calon pasangan Presiden-Wakil Presiden pada agenda pemilihan presiden (Pilpres) berikutnya, atau tahun 2029, lebih banyak dibanding agenda Pilpres sebelumnya. Selain itu, tidak tertutup kemungkinan akan banyak inisiatif dari elemen-elemen masyarakat untuk mendirikan partai politik baru demi kemudahan mendapatkan tiket Pilpres.
Mendirikan partai baru dan menjadi kandidat Pilpres butuh pembiayaan sangat mahal. Tentu saja pada waktunya nanti latar belakang kandidat peserta Pilpres dan partai-partai baru itu harus tranparan. Harus ada kejelasan tentang latar belakang figur dan transparansi tentang asal-usul pembiayaan.
Publik tentu tidak mau jika proses pencalonan kandidat Capres-Cawapres dibiayai dengan uang panas yang diperoleh dari tindak pidana semisal judi online atau transaksi narkoba, termasuk juga dana pen-capres-an yang bersumber dari pihak atau negara asing. Sebab, pada akhirnya, semua daya dan kekuatan yang tidak jelas itu akan digunakan untuk mempraktikan demokrasi yang manipulatif.
Untuk alasan populis, keputusan MK itu di satu sisi memberi kesempatan lebih besar bagi semua partai politik untuk berpartisipasi dalam Pilpres, karena bertambahnya jumlah pasangan calon yang akan bertarung dalam kontestasi Pemilu. Namun, bertambahnya jumlah pasangan calon presiden tidak selalu berdampak positif. Sebaliknya, dia akan menghadirkan persoalan dan tantangan riel. Misalnya, selain praktik demokrasi yang manipulatif, ada risiko fragmentasi politik, polarisasi, tingginya biaya politik dan munculnya calon berkualitas rendah dengan agenda politik yang sempit.
Pasal 6A ayat 1 UUD NRI 1945 menyebutkan presiden dan wakil presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat. Ayat 2 menegaskan, pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum. Artinya, konsekuensi penghapusan presidential threshold bisa diatur dengan pembatasan minimal dan maksimal gabungan (koalisi) partai politik pengusul capres-cawapres, untuk menghindari hanya dua pasang calon maupun dominasi koalisi partai politik pengusul capres-cawapres.
Sebelum dianulir MK, ketentuan presidential threshold mengharuskan partai politik atau gabungan partai politik memenuhi ambang batas tertentu, yaitu 20 persen kursi di DPR atau 25 persen suara sah nasional, sebagai syarat mengusulkan pasangan calon presiden. Dengan dihapusnya presidential threshold, setiap partai politik memiliki kesempatan yang sama untuk mengajukan pasangan calon presiden.
Hasil Pemilu 2024 mencatat delapan partai politik memperoleh kursi di DPR dan 10 partai politik tanpa kursi di DPR. Dengan dihapusnya presidential threshold, jumlah pasangan calon presiden diperkirakan bisa meningkat dari tiga pasangan di Pilpres 2024, menjadi lebih dari empat atau bahkan enam pasangan pada Pilpres 2029.
Bertambahnya jumlah kandidat Capres tidak selalu menjadi indikasi positif bagi demokrasi. Pengalaman di berbagai negara membuktikan banyaknya kandidat Capres dengan latar belakang politik kurang matang; visi misinya terbatas, dan keterwakilan politik yang tidak proporsional. Contohnya, dalam pemilu presiden di Brasil tahun 2018, terdapat 13 kandidat yang bertarung. Hasilnya, muncul beberapa calon presiden dengan pengalaman politik yang minim. Komunitas pemilih justru bingung mencari figur pemimpin yang kredibel dan kompeten.
Maka, tantangan utama pasca penghapusan presidential threshold adalah menjaga kualitas kandidat. Masyarakat perlu cerdas dalam memilih. Semua partai politik hendaknya mengusulkan calon presiden dengan visi dan misi yang jelas, serta agenda yang luas dan inklusif.
Faktor lain yang tidak bisa diremehkan begitu saja adalah risiko polarisasi di masyarakat akibat banyaknya jumlah calon presiden. Polarisasi dapat terjadi antara pendukung berbagai calon presiden yang pada gilirannya dapat memperburuk kohesi sosial. Data dari lembaga survei menunjukkan bahwa tingkat polarisasi di Indonesia telah meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Menurut lembaga riset LSI, data pada tahun 2023 menunjukkan sekitar 42 persen responden merasakan bahwa politik di Indonesia semakin terbagi dalam dua kubu yang saling berlawanan.
Banyaknya jumlah calon presiden dalam Pemilu mendatang juga menyebabkan Pilpres menjadi lebih mahal dan kompleks. Biaya kampanye meningkat, inflasi biaya logistik, serta kemungkinan meningkatnya praktik politik uang. Dengan banyaknya calon presiden, dapat dipastikan bahwa pemilihan presiden akan berlangsung lebih dari satu putaran, dengan konsekuensi menambah beban biaya Pemilu bagi pemerintah.
Pemerintah bersama DPR perlu memperkuat regulasi Pemilu, menciptakan standar kualitas bagi calon presiden, dan memastikan transparansi dana kampanye. Dan, tidak kalah pentingnya adalah peningkatan kapasitas partai politik dalam mengedukasi kader mereka mengenai pentingnya integritas dan kualitas kepemimpinan. Pelatihan dan pembinaan kader bisa memudahkan proses seleksi calon presiden yang lebih berkualitas dan kompeten.
Bambang Soesatyo,
Anggota DPR RI/Ketua MPR RI ke-15/Ketua DPR RI ke-20/Ketua Komisi III ke-7/Dosen Tetap Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Borobudur, Jayabaya, Trisakti dan Universitas Pertahanan (UNHAN)