Politisi PDIP Kenneth: Putusan MK Bersifat Final, Masyarakat Kawal Proses Revisi UU Pilkada!

Politisi PDIP Kenneth: Putusan MK Bersifat Final, Masyarakat Kawal Proses Revisi UU Pilkada!

Nasional | okezone | Kamis, 22 Agustus 2024 - 15:51
share

JAKARTA - Rapat Panitia Kerja (Panja) RUU Pilkada mengabaikan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait syarat pencalonan dalam Pilkada 2024. Hal ini muncul dalam pembahasan daftar inventarisasi masalah (DIM) baru usul inisiatif DPR RI menyikapi adanya putusan MK. 

Menanggapi hal tersebut, Politisi PDI Perjuangan, Hardiyanto Kenneth mengatakan, putusan MK Nomor 60/ PUU- XXII/ 2024, dan putusan MK Nomor 70/ PUU XXII/2024, merupakan tafsir tunggal konstitusi, terhadap makna Pasal 40 Ayat (1)  maupun Pasal 7 Ayat (2) huruf e UU No 10/ 2016 tentang Pilkada. 

"Mahkamah Konstitusi (MK) telah diberi kewenangan sebagai the sole interpreter of constitution yang artinya secara yuridis pemaknaan kedua pasal di atas tidak boleh disimpangi dalam pembentukan norma hukum sesuai asas stufenbau theory (teori hirarki norma hukum)," kata Kenneth dalam keterangannya, Kamis (22/8/2024).

Pria yang akrab disapa Bang Kent itu menegaskan, pembentuk hukum dalam hal ini Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) harus mematuhi apapun keputusan MK, demi menjaga tertib peraturan perundang undangan dan juga memegang teguh konstitusionalisme dalam bernegara.

"Pembentuk hukum harus tunduk patuh pada putusan MK, demi menjaga tertib peraturan perundang undangan dan juga memegang teguh konstitusionalisme dalam bernegara, sebab dalam ketentuan Pasal 1 Ayat 3 UUD 1945 kita telah menegaskan sebagai negara hukum, artinya segala sesuatu mengikuti prinsip, asas, teori serta praktek kebiasaan dalam koridor hukum," tegas Anggota Komisi D DPRD DKI Jakarta itu.

Kent menilai, dengan adanya RUU Pilkada yang disahkan dan memiliki muatan substansi bertolak belakang dengan putusan MK, hal itu menjadi suatu tindakan pembangkangan terhadap konstitusi secara berjamaah yang mencederai prinsip-prinsip negara hukum NKRI.

"Ini merupakan praktek kenegaraan yang buruk bagi keberlangsungan sistem ketatanegaraan," ketusnya.

Dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 60 Tahun 2024, Kent menilai, telah memberikan hak konstitusional bagi partai yang mengikuti kontestasi pemilu secara sah, dan menganggap bahwa perolehan kursi di DPRD akan mereduksi suara sah yang dimiliki tiap-tiap warga negara dalam memilih wakilnya di tingkat pemilihan kepala daerah. Secara substansial mekanisme yang diberikan MK merupakan pengejawantahan Hak Asasi Manusia (HAM) setiap warga negara yang telah memiliki hak pilih secara sah untuk disalurkan diberbagai partai politik peserta pemilu. 

 

"Dan dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 70 Tahun 2024 merupakan kewajaran suatu syarat administratif dalam menseleksi seseorang dalam jabatan publik, seperti misalnya presiden atau wakil presiden, hakim MK, bahkan seorang kepala desa, dengan memberikan syarat minimal usia pada saat pendaftaran dan penetapan calon. Meskipun syarat tersebut merupakan open legal policy, namun secara praktek umum administrasi (common practice administration) merupakan hal yang patut sesuai dengan asas asas pemerintahan yang baik," beber Kent.

Kent pun mengaku heran dengan langkah Baleg DPR yang menyatakan bahwa argumentasi dalam mekanisme mengusulkan calon kepala daerah berlandaskan pada putusan MA yang memberikan syarat usia diberlakukan saat pelantikan, sedangkan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 70 Tahun 2024 menyatakan, syarat usia diberlakukan saat pendaftaran dan penetapan calon sah oleh KPU. 

"Sudah seharusnya Baleg DPR mengacu pada putusan MK bukan MA, mengingat secara hirarki norma perundang undangan, MA menguji norma peraturan perundang undangan di bawah Undang Undang berdasarkan Pasal 24 A UUD 1945, sementara MK berdasarkan Pasal 24 C UUD 1945 menguji norma UU terhadap UUD, jelas secara hirarkis putusan MK lah yang harusnya menjadi rujukan," tutur Kent. 

Jika DPR dan penyelenggara pemilu seperti KPU tidak mengindahkan putusan MK, kata Kent, secara hukum ketatanegaraan dapat dianggap putusannya inkonstitusional dan menyimpangi prinsip negara hukum. Dikarenakan landasan kewenangan MK sebagai the guardian of constitution dan the sole interpreter of constitution.

"Ketidakpatuhan terhadap MK juga sama saja meruntuhkan pilar demokrasi konstitusional yang kita anut berdasarkan pembagian kekuasaan, dan mekanisme check and balance terhadap pemberlakuan suatu norma hukum. Baleg DPR memaksakan untuk mereduksi hak pilih warga negara melalui mekanisme pemilihan kepala daerah yang terbatas," tegas Kent.

Kata Kent, Baleg DPR RI sebagaimana diamanahkan oleh Pasal 22 A UUD 1945 harus secara tertib dan konsekwen mengikuti ketentuan pembuatan norma hukum sesuai dengan UU 12 tahun 2011, sebagaimana telah diubah oleh UU 13 tahun 2022 tentang pembentukan peraturan perundang undangan, termasuk dalam memaknai putusan MK.

"Diposisi ini, apabila DPR menyetujui materi muatan RUU pilkada bertentangan dengan putusan MK, maka segenap elemen masyarakat harus menyadari bahwa telah terjadi penghianatan konstitusi yang secara sadar dilakukan oleh penjaga demokrasi konstitusional NKRI, baik DPR maupun presiden sebagai pembentuk UU. Jadi harus mendorong KPU, Bawaslu untuk mematuhi putusan MK dengan merevisi peraturan KPU Nomor 8 tahun 2024," tegas Kent.

Menurut Ketua IKAL PPRA LXII Lemhannas RI itu, di dalam Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945 menyatakan, bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final dan mengikat, oleh karena itu semua pihak termasuk DPR, KPU, Bawaslu dan semua institusi penegak hukum harus tunduk dan patuh kepada putusan Mahkamah Konstitusi.

 

"Putusan MK Nomor 70 Tahun 2024 tentang syarat usia sudah diputuskan MK, jadi MA tidak bisa menggeser putusan MK, akibatnya bisa rusak kalau kewenangan masing-masing diintervensi. Kekuasaan kehakiman itu mempunyai prinsip independensi, impartial dan merdeka. Dalam Pasal 57 Undang Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi berbunyi bahwa setiap pasal yang materi muatan ayat, pasal dan/atau bagian undang undang bertentangan dengan UUD RI 1945 maka bunyi, atau substansi norma tersebut tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat dan daya laku lagi karena bertentangan dengan konstitusi Undang Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, kalau DPR menyetujui, sama saja menghina kekuasaan kehakiman dan ini sama juga dengan menginjak injak konstitusi," beber Kent.

Kata Kent, supremasi hukum harus dijaga dan dipertahankan demi kelangsungan demokrasi yang sehat dan berkeadilan, demi mencapai cita-cita luhur bangsa Indonesia. 

"Jadi perlu dipahami, protes keras ini bukan sekedar ketidakpuasan atas persiapan penyelenggaraan pemilihan kepala daerah. Tetapi ini adalah bentuk kepedulian sekaligus kekhawatiran atas maraknya rangkaian peristiwa yang mengoyak-ngoyak sistem hukum demi kepentingan politik kelompok tertentu," tegasnya.

Kent pun menuntut DPR dan Pemerintah selaku penyusun revisi UU Pilkada, untuk mengedepankan materi dan norma yang terdapat dalam Putusan MK No. 60/PUU-XXII/2024, dan mendesak DPR dan Pemerintah agar tidak lagi melanjutkan pembahasan revisi UU Pilkada yang dilaksanakan secara sembrono demi kepentingan politik golongan tertentu jelang Pilkada 2024.

"Saya juga menghimbau agar seluruh lapisan masyarakat untuk terus mengawal proses revisi UU Pilkada agar selaras dengan norma-norma dalam Putusan MK No. 60/PUU-XXII/2024 dengan tetap mengedepankan prinsip ketertiban umum," pungkasnya.

Sebelumnya, Constitutional and Administrative Law Society (CALS) yang berisikan ahli hukum tata negara dan pemerhati pemilu di Indonesia, mendesak pemerintah dan DPR mematuhi putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Mereka meminta pemerintah dan DPR menghentikan pembahasan RUU Pilkada.

"Pembangkangan konstitusi oleh Presiden Joko Widodo dan partai politik pendukungnya harus dilawan demi supremasi konstitusi dan kedaulatan rakyat," bunyi keterangan CALS yang diterima.

Sebelumnya diberitakan, MK menyatakan partai atau gabungan partai politik peserta Pemilu bisa mengajukan calon kepala daerah meski tidak punya kursi DPRD.

Dalam pertimbangannya, MK menyatakan Pasal 40 ayat (3) UU Pilkada inkonstitusional. MK mengatakan esensi pasal tersebut sama dengan penjelasan Pasal 59 ayat (1) UU 32/2004 yang telah dinyatakan inkonstitusional oleh MK sebelumnya.

MK mengatakan pembentuk UU malah memasukkan lagi norma yang telah dinyatakan inkonstitusional dalam pasal UU Pilkada. MK kemudian menyebut inkonstitusionalitas Pasal 40 ayat (3) UU Pilkada itu berdampak pada pasal lain, yakni Pasal 40 ayat (1). 

MK pun mengubah pasal tersebut. Selain itu, MK juga menolak gugatan perkara 70/PUU-XXII/2024 yang diajukan oleh A Fahrur Rozi dan Antony Lee. Gugatan itu mengenai syarat usia calon kepala daerah.
 

Topik Menarik