Inginkah Meninggal di Tanah Suci?

Inginkah Meninggal di Tanah Suci?

Nasional | sindonews | Selasa, 2 Juli 2024 - 17:01
share

Akh MuzakkiGuru Besar dan Rektor UIN Sunan Ampel Surabaya,Anggota Tim Monitoring dan Evaluasi Haji 2024 PERTANYAAN yang ada dalam judul tulisan ini menggelitik sekali. Mungkin sebagian menganggap meninggal di Tanah Suci diharapkan oleh sejumlah jemaah haji. Mungkin juga sebagian lainnya justru berpandangan sebaliknya: tak diharapkahlah! Lalu pertanyaannya, kapan jemaah haji Indonesia itu berharap dan ingin meninggal di Makkah dan kapan ingin meninggal di tanah air sendiri?

Pertanyaan-pertanyaan ini tampak sederhana sekali. Namun dalam praktiknya justru bisa menimbulkan kompleksitasnya tersendiri.Ternyata, penjelasan dari kepala Klinik Kesehatan Haji Indonesia (KKHI) Daerah Kerja (Daker) Makkah, dr Enny, sangat ilustratif. Yakni, bahwa jemaah haji yang jatuh sakit dan dirawat dalam beberapa waktu lamanya di KKHI justru tak ada yang ingin meninggal di Tanah Suci. Mereka ingin sembuh dan kembali menyempurnakan ibadahnya, lalu pulang ketemu keluarga di tanah air sendiri.

Penjelasan di atas disampaikan dr Enny kepada Mahmud Syaltut bersama Affan Razi dan saya selaku Anggota Tim Monitoring dan Evaluasi Haji 2024 di KKHI Daker Mekkah, Rabu (5 Juni 2024). Jadi, jemaah haji Indonesia baru punya keinginan meninggal di Tanah Suci jika meninggalnya tanpa didahului sakit. Tapi, saat harus sakit terlebih dulu, mereka hampir bisa dipastikan tak ingin meninggal di situ. Mereka tetap ingin sembuh, lalu bertemu kembali dengan keluarga di rumah. Itu adalah temuan KKHI Daker Mekkah selama memberikan layanan kesehatan kepada jemaah haji Indonesia.

Meninggal memang bagian dari kehidupan. Lebih tepatnya ujung dari kehidupan di dunia. Dan meninggal di mana saja, tidak bisa satu pun orang dapat memastikannya. Saat di masjid, bisa tiba-tiba meninggal. Saat di sekolah, bisa pula meninggal. Saat berada di kampung halaman sendiri, maut bisa saja menjemput. Pula saat berada jauh dari kampung halamannya, nyawa pun bisa saja tercabut. Semua serba mungkin. Dan tak ada yang merasa kebal dari maut. Tak ada diri yang merasa hebat karena maut pun dianggap tak bisa menjemput.

Termasuk pula di Tanah Suci. Meninggal pun bisa saja menimpa jemaah haji. Berangkat haji sehat, tapi saat waktunya pulang sudah dipanggil Ilahi. Puncak haji di Arafat, Muzdalifah dan Mina dilewati, tapi pasca itu lengah pun membuntuti. Banyak kegiatan lalu dilakukan tanpa mengindahkan kondisi fisik yang mulai tampak lelah sekali. Hak istirahat tubuh pun tak lagi menjadi atensi. Alasannya bisa beragam sekali. Mulai atas nama ibadah hingga kepentingan memanjakan diri. Untuk lebih pasnya, tentu semua harus diteliti. Tapi, faktanya, kelelahan bisa mengancam diri. Bahkan, kematian pun bisa saja sulit untuk dihindari.

Tiba-tiba kematian pun kusaksikan sendiri terjadi pada jemaah haji Indonesia di suatu pagi. Alkisah, kala itu Hari Rabu (26 Juni 2024), jam masih menunjuk ke angka 06:30 WAS (Waktu Arab Saudi). Aku bersama Prof Masnun Tahir dan Prof Martin Kustanti sedang mendampingi pimpinan petugas haji. Namanya Pak Wibowo Prasetyo. Pergi ke Sektor 8 Daker Mekkah. Kepentingannya untuk memastikan kelancaran proses pemberangkatan jemaah haji Indonesia dari Makkah ke Madinah untuk menunaikan ibadah di Masjid Nabawi. Lalu setelah itu dari Bandara Madinah itu mereka terbang pulang ke negeri sendiri.

Saat mata mengarahkan pandangan ke semua titik persiapan keberangkatan jemaah haji di Sektor itu, tiba-tiba ada gemuruh suara dari sebuah bus yang siap memberangkatkan jemaah haji ke Madinah itu. Bergegaslah para petugas haji Sektor 8 itu menuju bus dimaksud. Lalu turunlah dari bus itu dua orang yang membopong seorang nenek. Sangat tua sekali usianya. Diboponglah sang nenek itu ke lobby hotel. Lalu, seorang lelaki Arab yang juga pimpinan maktab itu berteriak: "Kursi! Kursi! Kursi!"

Dia teriakkan kata itu kencang sekali. Sambil menyuruh anak buahnya segera menyiapkan kursi itu di lobby hotel. "Minggir! Minggir!" adalah kata lanjutan yang juga dia teriakkan berkali-bekali untuk meminta jemaah haji Indonesia yang bergerombol di depan pintu utama masuk hotel itu untuk memberi ruas jalan. Agar sang nenek yang sedang dibopong dengan buru-buru oleh dua petugas haji Indonesia itu segera bisa sampai di lobby hotel untuk duduk di kursi dan dirawat. Alhamdulillah, pada titik ini, sang nenek bisa segera mendapatkan tempat istirahat sementara di lobby itu.

Hanya beberapa menit berikutnya, datanglah mobil ambulance dengan kencangnya. Itu mobil pertolongan kesehatan yang dikemudikan oleh petugas haji Indonesia. Di dalamnya seperangkat fasilitas dan tenaga medis yang juga semuanya orang Indonesia. Itu karena, mobil ambulance itu memang fasilitas layanan dari KKHI Daker Mekkah. Bergegaslah para petugas kesehatan itu dengan perangkat alat medis bersama mereka ke dalam lobby hotel. Dilakukanlah tindakan medis darurat di lobby hotel itu.

Tiga menit berikutnya, keluarlah seluruh petugas kesehatan itu dari lobby hotel. Mereka mendorong kereta pasien dengan terburu-buru. Di atasnya ada nenek yang tadi dibopong masuk dari bus ke lobby hotel. Dia terlentang. Tanpa daya. Dan yang mengejutkanku dan tentu semua jemaah haji yang berada di ruang luar depan hotel itu, di atas kereta dorong pasien itu berdiri seorang dokter. Dia menekan-nekan dada sang nenek. Terus ditekan-tekan. Sambil kereta dorong itu didorong kencang ke arah ambulance. Walaupun sang nenek tampak diam tanpa daya. Lalu, sang nenek dengan kereta dorong dibawa masuk ke ambulance.

Ditutuplah pintu ambulance itu dengan segeranya. Cepat sekali prosesnya, Lalu, dilarikanlah sang nenek dengan ambulance itu ke rumah sakit. Suara wuing wuing wuing wuing keras sekali terdengar. Begitu bunyi sirine yang dikendalikan oleh sang sopir ambulance meraung-raung. Suaranya memang memekakkan telinga. Sirine pun dinyalakan dengan kerasnya. Namun, justeru suara itu membuat hati merinding karenanya. Pertanda ada pasien yang sedang mengalami darurat layanan kesehatan. Dan tindakan medis atasnya pun juga harus segera diberikan.

Tak jauh dari posisi ambulance yang mulai meninggalkan hotel itu, ada seorang perempuan menangis tersedu-sedu. Ternyata, dia adalah anak kandung sang nenek tadi. Saat dia menangis semakin kencang, para jemaah haji Indonesia lainnya mencoba menenangkannya. Lalu, dibawalah perempuan itu dengan kendaraan lainnya untuk mengikuti kepergian sang ibu ke rumah sakit. Lalu, mulailah para jemaah lainnya untuk melaksanakan kegiatan masing-masing. Termasuk jemaah yang harus berangkat ke Madinah dengan bus yang sudah siap di pinggir jalan.

Namun, sekitar 15 menit berikutnya, Kepala Sektor 8, Ahmad Bahir Ghozali, mengabarkan: “Nenak tadi akhirnya tak tertolong. Innalillahi wa inna ilihi rojiun.” Sedihlah semua yang berada di sekitar Kepala Sektor itu. Di ruang pimpinan sektor itu. Tak disangka dan tak dinyana. Sang nenek yang telah sukses menjalani seluruh rangkaian ibadah haji akhirnya menghadap Sang Ilahi. Sang nenek yang hanya menunggu beberapa hari saja sudah bisa kembali bertemu keluarga akhirnya harus menghembuskan nafas terakhirnya di Tanah Suci. Sungguh kejadian yang mendadak dan mengagetkan sekali.

Nah, kalau ditanya, apakah sang nenek ingin meinggal di Makkah? Apakah anaknya juga menginginkan sang ibu wafat di Tanah Suci? Tentu tidak. Tentu jawabannya pasti tidak. Tentu orang seperti sang nenek tak pernah ingin meninggal di Tanah Suci. Sang putri pun demikian. Buktinya, sekembalinya ke hotel dari rumah sakit usai mendapati sang ibu akhirnya menghadap Ilahi rabbi, sang puteri begitu turun dari kendaraan di depan hotel berujar sambil sesenggukan: “Saya ikhlas beliau akhirnya dipanggil oleh Allah. Tapi tadi cepat sekali kejadiannya. Saat di dalam bus, beliau merasa ada yang sakit di leher bagian belakang. Lalu minta dikerokin. Saya pun ngerokin bagian yang sakit itu. Lalu beliau merasa ada yang menekan bagian dada sebelah kiri atas. Ya, Allah cepat sekali kejadiannya. Beliau akhirnya wafat."

Ungkapan sang puteri di atas menandakan bahwa dia tampak terkejut dengan wafatnya sang ibu. Walaupun dia juga tampak ikhlas atas musibah wafatntya sang bunda itu. Maka, pertanyaan yang ada dalam judul tulisan ini tentu di permukaan akan langsung dijawab oleh sang perempuan itu dengan jawaban singkat: “Tidak!” Tampak dia tak berharap itu terjadi. Namun saat Allah berkehendak lain, dia pun dengan ikhlas menerima takdir kuasa-Nya. Keikhlasan perempuan ini menunjuk ke tingkat kepasrahan yang tinggi. Ujungnya pun menerima kenyataan tentang wafatnya sang bunda di Tanah Suci.

Tak sakitnya sang bunda sebelum menemui ajalnya membuat penerimaan yang tinggi sang anak atas kematiannya. Maka, jika ungkapan dr. Enny, kepala KKHI Daker Makkah, di awal tulisan ini dijadikan sebagai dasar argumentasi, maka tidak ada yang ingin wafat di Tanah Suci jika harus didahului dengan sakit yang membuatnya dirawat berhari-hari. Baik di rumah sakit ataupun pusat layanan kesehatan lainnya. Kecuali jika kematian itu datang begitu tiba-tiba, seperti yang dialami oleh sang nenek di atas. Tentu keikhlasan sang anak membuat kematian sang ibu diterima setulusnya. Diinginkan? Tentu tidak. Yang betul, diikhlaskan.

Bisa saja harapan untuk bisa wafat di Tanah Suci sempat muncul dari hati. Pada sejumlah kalangan jemaah haji Indonesia yang jumlahnya sangat banyak sekali. Dan, usaha para petugas kesehatan haji pun juga mungkin sudah maksimal tak terperi. Namun kepergian menghadap sang Khaliq di Tanah Suci seperti yang tiba-tiba menimpa sang nenek di atas tentu juga tak bisa dihindari. Itulah takdir suci sang Ilahi rabbi. Tak seorang pun bisa berharap kedatangannya sesuai yang diingini. Atau juga menolaknya agar pergi.

Topik Menarik