Simak Contoh Kultum Ramadhan Singkat 5 Menit
CONTOH kultum Ramadhan singkat dapat menambah referensi bermanfaat Anda dalam menyusun teks ceramah. Kultum Ramadhan menjadi salah satu bentuk dakwah yang disampaikan secara singkat pada bulan puasa.
Durasi waktu yang digunakan untuk berdakwah umumnya tujuh menit atau bisa juga 5 menit. Struktur kultum terdiri dari salam pembuka, ucapan puji syukur, perkenalan diri, serta pembahasan topik. Sementara, struktur pada ceramah jauh lebih banyak karena durasi yang tidak terbatas.
Dilansir dari berbagai sumber pada Kamis (27/2/2025), Okezone telah merangkum contoh kultum Ramadhan singkat, sebagai berikut.
1. Contoh Pertama
Imam Syafi’i Selama Bulan Ramadhan
Assalamualaikum Wr. Wb
Alhamdulillah, wasyukurillah. Washolatu wassalaamu alaa Rosuulillaah. Laa nabiyya ba’dah. Amma ba’du.
Pertama-tama marilah kita panjatkan puji dan syukur kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan kasih sayangnya kepada kita semua. Sholawat serta salam tidak lupa kita curahkan kepada junjungan nabi besar kita baginda Nabi Muhammad SAW, juga kepada keluarga dan pengikutnya sampai akhir zaman. Amiin.
Imam Syafi’i selama hidupnya membagi waktu malamnya menjadi tiga, yaitu sepertiga untuk menulis kitab, sepertiga untuk shalat malam, dan sepertiga untuk istirahat. Rabi’ bin Sulaiman, salah satu murid Imam Syafi’i yang sering menginap di rumah gurunya itu mengatakan, “Aku tak pernah melihat Imam Syafi’i di rumahnya kecuali ia sangat sedikit tidur di malam hari.” Murid Imam Syafi’i yang lain, Husain al-Karabisi, mengatakan “Aku tinggal bersama Imam Syafi’i selama 80 malam. Aku melihat Imam Syafi’i shalat selama sepertiga malam.
Di dalam shalatnya Imam Syafi’i tak pernah membaca ayat Al-Qur’an kurang dari 50 ayat, terkadang beliau membaca seratus ayat. Ia selalu berdoa untuk kebaikan seluruh umat Islam ketika membaca ayat yang berkenaan dengan rahmat Allah dan ia juga berdoa untuk keselamatan seluruh umat Islam ketika membaca ayat yang berkenaan dengan adzab.” Khusus pada bulan Ramadhan, Imam Syafi’i memiliki sebuah pekerjaan ibadah yang sangat luar biasa. Rabi’ bin Sulaiman menceritakan, “Setiap datang bulan Ramadhan, Imam Syafi’i menyibukkan diri dengan membaca Al-Qur’an.
Biasanya Imam Syafi’i mengkhatamkan Al-Qur’an satu kali dalam satu malam, khusus bulan Ramadhan Imam Syafi’i mengkhatamkan Al-Qur’an setiap hari satu kali di siang hari dan satu kali di malam hari. Dalam satu bulan Ramadhan Imam Syafi’i mengkhatamkan Al-Qur’an sebanyak 60 kali khataman.” Suatu ketika di waktu sahur, beberapa ulama kota Kairo bertamu kepada Imam Syafi’i untuk mendiskusikan sebuah permasalahan pelik dalam ilmu fiqih. Ketika mereka masuk ke dalam rumah Imam Syafi’i, maka mereka melihat Imam Syafi’i sedang membaca Al-Qur’an.
Lantas setelah mereka selesai berdiskusi mengenai permasalahan di dalam ilmu fiqih, Imam Syafi’i pun menegur mereka dengan halus, “(Pada waktu sahur) apakah kalian lebih mementingkan mempelajari ilmu fiqih daripada membaca Al-Qur’an? Sungguh aku shalat malam dan tak henti-hentinya aku meletakkan Al-Qur’an di hadapanku hingga datang waktu subuh. Barang siapa yang mempelajari Al-Qur’an maka agung derajatnya dan barang siapa mempelajari ilmu fiqih maka mulia derajatnya” (Al-Baihaqi, Manaqib asy-Syafi’i, Darul Kutub al-Islamiyyah, 2011).
Pada suatu momentum Ramadhan, di tengah-tengah pengajian yang diampu oleh Imam Syafi’i datanglah seorang pemuda dengan membawa secarik kertas. Rabi’ bin Sulaiman selaku murid terdekat Imam Syafi’i pun menyodorkan secarik kertas sang pemuda tersebut kepada Imam Syafi’i. Di dalam kertas tersebut tertulis sebuah syair:
سل العالم المكي هل من تزاور وضمة مشتاق الفؤاد جناح
“Bertanyalah kepada seorang alim dari kota Makkah, ‘Apakah berdosa dua orang yang saling bertemu dan keduanya mengumpulkan segenap kerinduan di hatinya’.” Maka, Imam Syafi’i pun menulis sebuah jawaban atas syair pemuda tersebut:
معاذ الله أن يذهب التقى تلاصق أكباد بهن جراح
“Aku berlindung kepada Allah dari hilangnya ketakwaan, berdempetannya hati (badan) di antara mereka adalah sebuah dosa.” Melihat jawaban Imam Syafi’i tersebut, Rabi’ bin Sulaiman pun merasa kebingungan apa yang terjadi di antara Imam Syafi’i dan pemuda tersebut. Rabi’ bin Sulaiman pun menanyakan kepada Imam Syafi’i akan maksud dari pertanyaan pemuda tersebut serta jawaban Imam Syafi’i.
Jadwal Imsakiyah Wilayah Kota Surabaya
Imam Syafi’i pun menjawab, “Wahai Rabi’, pemuda itu adalah seseorang yang bernasab mulia, ia baru saja melangsungkan pernikahan di bulan Ramadhan ini dan ia menanyakan kepadaku, ‘Bolehkah mencium atau menyentuh istrinya tanpa melakukan hubungan intim selama ia berpuasa?’ Maka aku pun memberikan jawaban seperti itu”. Rabi’ bin Sulaiman pun menanyakan ketepatan jawaban Imam Syafi’i kepada pemuda tersebut dan pemuda tersebut membenarkan seluruh jawaban Imam Syafi’i (Abu Nuaim al-Ashfahani, Hilyatul Auliya’wa Thabaqat al-Ashfiya’, Darul Kutub al-Ilmiyyah, 2010).
Para hadirin yang saya hormati, mungkin itu saja yang bisa saya sampaikan. Meskipun singkat, mudah-mudahan kita mendapatkan keberkahannya.
Wasalamualaikum Wr.Wb.
2. Contoh Kedua
Solidaritas Sosial melalui Puasa
Assalamualaikum Wr. Wb
Alhamdulillah, wasyukurillah. Washolatu wassalaamu alaa Rosuulillaah. Laa nabiyya ba’dah. Amma ba’du.
Pertama-tama marilah kita panjatkan puji dan syukur kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan kasih sayangnya kepada kita semua. Sholawat serta salam tidak lupa kita curahkan kepada junjungan nabi besar kita baginda Nabi Muhammad SAW, juga kepada keluarga dan pengikutnya sampai akhir zaman. Amiin.
Menunaikan ibadah puasa Ramadhan merupakan bentuk ketaatan seorang Muslim kepada Allah swt. Akan tetapi, puasa tidak saja berbicara soal hubungan antara hamba dengan Tuhannya, melainkan juga bagaimana dengan puasa yang dijalani selama satu bulan penuh ini bisa menumbuhkan sekaligus memperkokoh solidaritas sesama Muslim, bahkan sesama manusia tanpa memandang latar belakang agama. Puasa yang kita jalani seharian mulai dari terbit fajar sampai matahari terbenam tidak saja untuk menahan lapar dan dahaga.
Memang, jika syarat dan rukunnya terpenuhi, puasa sudah sah. Tetapi ibadah yang baik adalah ibadah yang selain memiliki dampak positif bagi diri pribadi juga mempunyai pengaruh bagi lingkungan sekitar, terlebih lagi puasa Ramadhan yang sebenarnya memiliki dampak sosial tinggi jika betul-betul dipahami. Dalam haditsnya Rasulullah saw bersabda,
مَنْ اَفْطَرَ صَائِمًا فَلَهُ اَجْرُ صَائِمٍ وَلَا يَنْقُصُ مِنْ اَجْرِ الصَّائِمِ شَيْءٌ
Artinya, “Siapa yang memberi makanan kepada orang yang berpuasa untuk berbuka, maka baginya pahala seperti orang puasa tanpa mengurangi sedikit pun dari pahala orang puasa tersebut.” (HR at-Tirmidzi). Secara gamblang hadits di atas mendorong seseorang agar mau bersedekah dengan memberi makanan atau minuman kepada sesama Muslim untuk berbuka puasa. Pahala yang diperoleh pun tidak tanggung-tanggung, yaitu mendapat nilai sepadan dengan orang yang melaksanakan puasa. Ini merupakan bukti bahwa dalam ibadah puasa terdapat solidaritas sosial yang sangat tinggi. Selama ini kita mungkin merasa sangat gembira jika mendapat undangan buka bersama (bukber) di rumah teman, kerabat, atau sanak saudara.
Tetapi, mulai sekarang mari kita ubah mindset atau cara berpikir, bagaimana agar bulan puasa tahun ini dan seterusnya tidak hanya menerima undangan bukber ‘gratis’, tetapi juga menjadi tuan rumah yang mengundang orang lain untuk menikmati hidangan bukan puasa. Jika belum bisa memberi banyak, paling tidak mentraktir sahabat sendiri untuk sekadar takjil puasa seadanya. Toh, nilai sedekah tidak saja diukur dari kuantitasnya, besar atau kecilnya, melainkan juga keikhlasan dari pemberi. Malah jika kita berusaha memberi yang banyak tapi tidak ikhlas, sedekahnya akan percuma.
Tentu, akan lebih sempurna jika kita bisa memberi banyak dan dibarengi niat yang ikhlas pula. Dalam satu hadits yang mendorong umat Muslim untuk memperbanyak sedekah di bulan Ramadhan disebutkan,
عَنْ اَنَسٍ قِيْلَ يَارَسُولَ اللهِ اَيُّ الصَّدَقَةِ اَفْضَلُ؟ قَالَ: صَدَقَةٌ فِى رَمَضَانَ
Artinya,
“Dari Anas ra dikatakan: ‘Wahai Rasulullah, sedekah apa yang nilainya paling utama?" Nabi menjawab: ‘Sedekah di dalam bulan Ramadhan’” (HR at-Tirmidzi). Berangkat dari hadits di atas, Syekh Muhammad Abdurrauf al-Munawi dalam kitabnya, Faidhul Qadiî, menjelaskan, anjuran memperbanyak sedekah selama bulan Ramadhan merupakan bentuk tercurah ruahnya kasih sayang Allah kepada hamba-Nya. Sebab itu pula, Rasulullah akan menjadi orang yang paling dermawan saat bulan suci ini tiba. (Muhammad Abdurrauf al-Munawi, Faidhul Qadîr, 1972: juz II, h. 38).
Para hadirin yang saya hormati, mungkin itu saja yang bisa saya sampaikan. Meskipun singkat, mudah-mudahan kita mendapatkan keberkahannya.
Wasalamualaikum Wr.Wb.
Itulah informasi terkait contoh kultum Ramadhan singkat yang bisa Anda simak, semoga bermanfaat. Jangan lupa untuk selalu terus update berita dan info terkini Anda hanya di Okezone.