Guru SMP Negeri di Kota Malang Mengubah Sampah Jadi Briket Bernilai Ekonomis

Guru SMP Negeri di Kota Malang Mengubah Sampah Jadi Briket Bernilai Ekonomis

Ekonomi | malang.inews.id | Senin, 18 November 2024 - 19:00
share

MALANG, iNewsmalang.id - Guru Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMPN) di Kota Malang mengolah sampah organik menjadi sebuah briket. Dari sampah organik berupa dedaunan dicampur dengan beberapa bahan lain sehingga menjadi briket yang digunakan untuk memasak.

Pembuatan briket ini dilakukan pencampuran mulai darı bahan tepung tapioka, arang tempurung kelapa, arang sekam, dan kompos daun kering. Setelah dilakukan pencampuran itu briket yang menyerupai tanah lihat itu lantas ditekan menggunakan alat pengepresan yang dibuat dengan alat-alat berbahan bekas.

Briket itu lantas perlu dikeringkan dengan dijemur di panas matahari selama tiga hari berturut-turut. Sementara ketika musim penghujan atau dalam keadaan mendung, penjempuran dilakukan selama waktu 5 - 6 hari.

Kepala SMPN 30 Kota Malang Syamsiah Wahyuningsih menuturkan, inovasi pembuatan briket ini merupakan ide darı guru di SMPN 30 Kota Malang, saat ada lomba pengelolaan sampah. Akhirnya Supriyadi, salah satu guru yang juga penanggungjawab adiwiyata dan ketua laboratorium IPA.

"Pemicunya adalah lomba inotech. Kemudian saya minta kepada guru, untuk mengambil peluang ini untuk mengikuti lomba ternyata beliau concern melihatnya pada masalah sampah, karena kebetulan beliau adalah koordinator adiwiyata," kata Syamsiah Wahyuningsih, saat ditemui di SMPN 30 Kota Malang.


Proses pembuatan briket dari sampah organik

Selama ini kata dia, permasalahan sampah menjadi problematika tersendiri. Inovasi pengolahan sampah organik darı daun-daun kering, dijadikan kompos hingga menjadi briket.

"Selama ini kan sampahnya hanya diambil dan dibakar, sehari-hari di sini sampahnya 3 - 4 kantong plastik besar. Makanya darı sana kita coba kelola," ungkap Syamsiah Wahyuningsih.

Di sisi lain, guru pencipta briket Supriyadi menjelaskan, bila ide pengolahan sampah menjadi briket itu muncul karena selama ini sampah-sampah di sekolah SMPN 30 Malang hanya dibuang dan dibakar saja. Akhirnya dia mencoba inovasi mengolah satu jenis sampah organik, darı daun-daunan menjadi briket.

"Untuk sampah dipilah-pilah, ada sampah anorganik, organik, dan berbahaya kayak sampah medis, itu organik khusus daun kering bagaimana supaya daun kering bisa jadi kompos saja," jelasnya.

Namun karena kompos dianggap manfaatnya masih belum maksimal, ia mencoba mengelola di tengah kesibukannya sebagai guru Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) menjadi sebuah briket yang digunakan bahan memasak. Tapi membuat briket juga bukanlah hal yang mudah, ada beberapa bahan lain yang dicampurkan tidak sekedar kompos saja.

"Tidak harus 100 persen darı kompos, tapi beberapa gabungan ada arang tempurung kelapa, arang sekam, tepung tapioka, dan kompos daun kering. Akhirnya kami melakukan ujicoba, satu kali, dua kali, hingga tiga kali ujicoba gagal, baru yang keempat itu akhirnya berhasil," kata Supriyadi, guru berusia 50 tahun ini.

Dari hasil ujicoba itu Supriyadi dibantu guru lain, akhirnya menemukan persentase bahan-bahan briket dari arang tempurung kelapa sebanyak 30 persen, arang sekam 50 persen, tepung tapioka 5 persen, dan kompos daun kering itu persentasenya 45 persen. Bahan-bahan itu lantas dicampurkan jadi satu lantas diaduk-aduk seperti membuat kue adonan biasa, hingga dicetak dengan alat pencetak bentuk yang memanfaatkan barang bekas darı sepeda tak terpakai.

"Perekatnya itu darı tapioka itu persentasenya 5 persen, diaduk terus kita pakai alat press, untuk memadatkan briketnya ini. Dipadatkan bentuknya macam-macam ada kubus dan bulat juga," jelasnya.

Setelah padat briket itu harus dijemur di cahaya matahari secara langsung. Penjemuran itu dilakukan selama tiga hari saat cuaca terik panas, atau memerlukan waktu 5 - 6 hari jika cuaca sedang mendung atau hujan. Setelah benar-benar kering, briket masih harus diuji lempar, jika tidak ada pecahan maka briket dalam kondisi siap digunakan memasak.

"Hasilnya sudah kami ujicobakan, itu memasak mie Instan. Yang briket kecil itu digunakan menyalakan api satu jam, yang kedua 1,5 jam itu yang kubus, ada yang lingkaran juga, kalau untuk yang besar ukuran 6 - 7 sentimeter itu sampai dua jam," paparnya.

Kini kebutuhan briket inovasi Supriyadi digunakan sendiri di sekolah. Briket - briket itu jadi bahan memasak di dapur, atau kepentingan pembelajaran. Pak Pri, sapaan akrabnya juga mengajarkan ke siswanya untuk memanfaatkan sampah-sampah supaya lebih bernilai ekonomis.

"Kami manfaatkan untuk kalangan sendiri di sekolah, dan untuk pembelajaran ke siswa, supaya siswa juga tahu proses pengolahan sampah. Kalau produksi massal, memang ada tawaran bekerjasama, tapi kami masih terbatas, sehingga kami diskusikan dengan kepala sekolah," bebernya.

Selain itu bila diproduksi massal, pihaknya belum memiliki infrastruktur memadai seperti mesin pembakar atau oven supaya briket lebih keras, hingga terbagi fokus dalam pembelajaran sehari-hari di sekolah.

"Kalau di perusahaan besar itu mengeringkannya pakai oven besar, itu kami juga belum punya, selama ini hanya kami jemur di bawah sinar matahari," tukasnya.

Topik Menarik