Rumah Batik dan Perjuangan Menaklukan Keterbatasan

Rumah Batik dan Perjuangan Menaklukan Keterbatasan

Infografis | sindonews | Selasa, 12 November 2024 - 11:09
share

Lagu Kebangsaan Indonesia Raya bergema penuh khidmat dari depan sebuah rumah sederhana di Desa Gumawang, Kecamatan Wiradesa, Pekalongan, Jawa Tengah. Bangunan bertuliskan “Rumah Batik TBIG” lebih ramai dari biasanya.

Pagi itu sebuah “hajatan besar” memang tengah digelar di halaman rumah seluas kurang lebih 1000 meter persegi tersebut. Ya, sebuah momen wisuda untuk merayakan kelulusan 32 orang siswa yang sudah belajar membatik selama lebih kurang satu tahun di Rumah Batik TBIG.

PT Tower Bersama Infrastructure Tbk (TBIG), telah mendirikan Rumah Batik TBIG sejak tahun 2014 dan serta menggelar lima kali wisuda serta meluluskan total 104 anak didik mulai dari tahun 2021. Rumah Batik TBIG menargetkan anak muda usia produktif dan penyandang disabilitas di wilayah Pekalongan dan sekitarnya, sebagai peserta program pembelajaran. Mereka digembleng filosofi dan teknik membatik agar menghasilkan produk yang mampu bersaing di pasar.

Tak cuma anak muda dengan kesempurnaan fisik, selama lebih dari satu dekade Rumah Batik TBIG juga turut membina anak-anak muda yang memiliki keterbatasan (disabilitas). Sekar Masayu Brilianti (17 tahun), Ghifari Ata Ayman (15 tahun), dan Tabita Berlianti (14 tahun) adalah beberapa nama dari 12 siswa difabel yang pagi itu turut diwisuda.

“Sangat menyenangkan dapat mengikuti proses pembelajaran dengan baik sehingga dapat terus berkarya dan membangun kreativitas melalui membatik,” ungkap Sekar dengan menggunakan bahasa isyarat yang diterjemahkan. Penyandang tuna wicara ini adalah lulusan terbaik Kelas Reguler B Rumah Batik TBIG Batch V.

Rumah Batik TBIG membagi kelas belajarnya menjadi tiga kategori: Kelas Reguler A untuk peserta pelatihan usia produktif, Kelas Reguler B untuk peserta berkebutuhan khusus, dan Kelas Kursus Jangka Pendek untuk siswa sekolah dasar hingga mahasiswa. Menurut Joko Padmanto, salah satu trainer Rumah Batik TBIG, pada Batch V ini Kelas Reguler A diikuti 27 peserta dengan 20 orang di antaranya lulus. Adapun Kelas Reguler B diikuti 12 peserta dan semuanya lulus. Pembelajaran dilakukan selama 6 bulan per sesi, terdiri dari dua semester, meliputi desain batik, pelekatan lilin, pewarnaan, dan penyempurnaan produk.

Ada beberapa syarat kelulusan seorang siswa agar bisa diwisuda. Yaitu, tingkat keaktifan mengikuti program dan penyelesaian project. Pertama, peserta tidak hadir melebihi 30 persen dari total 40 kali pertemuan dalam satu semester. Kedua, peserta yang tidak mampu menyelesaikan project bakal otomatis gagal.

Rumah Batik TBIG adalah sebuah inisiatif Corporate Social Responsibility (CSR) PT Tower Bersama Infrastructure Tbk (TBIG) pada pilar budaya. Perusahaan punya empat pilar CSR yaitu Bangun Sehat Bersama, (kesehatan), Bangun Cerdas Bersama (pendidikan), Bangun Hijau Bersama (lingkungan), dan Bangun Budaya Bersama (budaya). “Di sini peserta tidak hanya belajar seputar proses membuat batik, tetapi juga seluk-beluk bisnis yang berputar di dalamnya. Program Rumah Batik TBIG ingin mendorong siswa mengembangkan kewirausahaan,” cetus Head of CSR Department PT Tower Bersama Infrastructure Tbk Fahmi Sutan Alatas.

Rumah Batik TBIG menerapkan sistem pembelajaran berjenjang mulai pelatihan skill membatik, kewirausahaan, dan jenjang inkubasi. Pada jenjang inkubasi, siswa Rumah Batik TBIG akan diberikan pesanan produksi batik dalam jumlah tertentu untuk memenuhi kebutuhan jaringan toko batik di Jakarta, Semarang, Solo, Cirebon dan Surabaya. Pada jenjang inkubasi ini, siswa belajar mengelola sebuah usaha skala mikro dengan bantuan permodalan tiga kali siklus produksi berbunga nol persen melalui Koperasi Bangun Bersama (KBB).

Setiap siklus yang berhasil dipenuhi, jumlah produksi akan ditingkatkan hingga akhirnya perajin menjadi pemasok batik secara reguler untuk koperasi. Batik yang diterima pun telah lulus quality control yang ketat. Selain itu, koperasi pendamping bertindak sebagai caretaker dengan memberikan kepastian pembayaran tunai kepada perajin. Ini konsep yang sangat berbeda dibandingkan jika batik perajin disimpan di toko dengan pembayaran yang biasanya lebih lama dan tidak ada kepastian.

Menurut Fahmi, pembinaan berkelanjutan ini sangat relevan karena menunjukan wujud tanggung jawab sosial yang sebenarnya. Pembinaan menyeluruh kepada peserta memberikan solusi yang bisa dijalankan. Rumah Batik TBIG diibaratkan burung-burung yang bisa bertelur, bukan hanya burung yang cantik dilihat. "Kami nggak mau cuma kasih solusi yang mengawang, harus solusi konkret dan jangka panjang," ujarnya.

Ramah Lingkungan

Dalam perjalanannya, Rumah Batik TBIG terus mendorong produk buatan alumninya agar mampu bersaing di industri batik dan membawa solusi relevan. Pengelola Rumah Batik TBIG Nanang Tri Purwanto, mengatakan program yang dijalankan terus dikembangkan, salah satunya adalah pemanfaatkan pewarna batik ramah lingkungan dan berbagai program keberlanjutan lainnya.

Rumah Batik TBIG memiliki 16 jenis tumbuhan yang bisa menghasilkan warna alami saat memproduksi batik. Ini adalah yang terbanyak di Indonesia. Rumah Batik TBIG juga mendorong program upcycle dari sampah botol plastik menjadi produk baru yang memiliki kualitas lebih tinggi dan manfaat baru. Kegiatan ini melibatkan kaum disabilitas yang tertarik mengolah batik menjadi produk lain, seperti cover laptop hingga tas.

Menurut Joko Padmanto, program ini awalnya hanya mengolah sampah botol plastik di bawah pilar CSR lingkungan Bangun Hijau Bersama. Sampah botol plastik ini diolah mesin menjadi serat yang dibentuk menjadi produk seperti tas. Namun, melihat potensi besar dan mendorong nilai jual lebih tinggi, program kolaborasi pilar lingkungan dan kebudayaan pun tercipta. "Produk tas ini tidak serumit batik tulis dan mereka (siswa disabilitas) sudah cukup mampu mengembangkan itu," ujar sosok yang bergabung dengan program ini sejak 2021.

Berbagai perkembangan ini membuat salah seorang alumni Rumah Batik TBIG, M. Abdu Rizal Bahri kagum. Alumni hasil pelatihan tahun 2015 ini bercerita berbagai pembaruan yang terus diterapkan untuk kemajuan program sangat relevan dengan kebutuhan zaman.

Pengusaha batik ini berkisah, saat bergabung ia mendapatkan pembelajaran sangat bermanfaat seputar industri batik hingga akhirnya bisa mengembangkan bisnis dan menjual produk batiknya ke luar negeri. Terlebih usai melihat program yang kini dijalankan, muncul rasa optimistis yang sangat besar. "Saya setelah lulus hanya bisa membuat dua batik saja, harus menjualnya dari toko ke toko secara mandiri," kenang Rizal.

Sekar dan Rizal dan para siswa Rumah Batik TBIG adalah sekelumit cerita tentang bukti perjuangan tanpa henti. Tak hanya sebatas melestarikan warisan budaya, eksistensi Rumah Batik TBIG adalah bukti tentang sebuah kerja keras, konsistensi, kreativitas, dan ketekunan dari para perajin batik di Pekalongan, sebuah kota yang menopang lebih dari 70 pemasaran batik di negara kita. Sebuah rumah dengan segudang cerita perjuangan seseorang menaklukan keterbatasan.

Topik Menarik