Kisah Pangeran Diponegoro dan Gerakan Anti Tionghoa untuk Melawan Belanda

Kisah Pangeran Diponegoro dan Gerakan Anti Tionghoa untuk Melawan Belanda

Infografis | sindonews | Minggu, 8 September 2024 - 07:34
share

KEDEKATAN etnis Tionghoa dengan penjajah Belanda sebelum Perang Jawa membuat pasukan Pangeran Diponegoro memusuhinya. Bahkan muncul gerakan anti Tionghoa, yang berujung serangan pada 17 September 1825 di Ngawi, Jawa Timur.

Sikap Pangeran Diponegoro kepada orang Tionghoa kala itu konon begitu keras. Bahkan perlakuan mereka dianggap kurang begitu bersahabat dan berbeda memperlakukan tawanan Tionghoa.

Terlebih adanya sikap curiga yang dimiliki orang Jawa terhadap orang Tionghoa.

Konon Pangeran Diponegoro melarang para panglima dan komandan tempurnya menjalin relasi politik dengan kaum Tionghoa, sebagaimana dikutip dari buku "Takdir : Riwayat Pangeran Diponegoro 1785 - 1825" dari Peter Carey.

Hal ini mengulangi peringatan dari kakek buyutnya Sultan Mangkubumi, yakni agar jangan mengizinkan etnis Tionghoa berhubungan terlalu dekat dengan Keraton Yogyakarta.

Bahkan Pakualam mengingatkan lagi seruan ini menyusul pengangkatan Tan Jin Sing sebagai bupati keraton oleh Keraton Yogyakarta.

Konon awal mula sang pangeran dan pengikutnya memusuhi etnis Tionghoa karena peran serba salah yang diberikan oleh penguasa Belanda.

Kedekatan etnis Tionghoa dengan penguasa Belanda di masa sebelum Perang Jawa memunculkan sebab Tionghoa dimusuhi.

Diperkirakan setidaknya ada 25.000 penduduk Tionghoa berdarah campuran atau peranakan dalam bahaya.

Bahkan saat menyerbu dan mengepung Yogya, pembantaian orang-orang Tionghoa terjadi di mana-mana, tidak peduli wanita dan anak-anak.

Hal ini diungkapkan seniman berkebangsaan Belgia Payen yang sedang di Yogyakarta melalui buku hariannya.

Nasib komunitas-komunitas Tionghoa di Bagelen mendapat perhatian. Pasalnya pusat-pusat kerajinan tenun kaum peranakan Tionghoa di Jono dan Wedi di Kali Lereng diserang.

Mereka untuk sementara waktu bertahan dengan membuat benteng dan kubu-kubu pertahanan dibantu pasukan polisi setempat.

Bahkan pada tahun 1827 seluruh masyarakat Tionghoa dan peranakannya terdiri dari 147 pria, 138 perempuan, 185 anak-anak harus diungsikan ke Wonosobo.

Penduduk Jawa setempat lantas meminta mereka kembali lagi dengan alasan keterampilan bisnis etnis Tionghoa diperlukan agar penduduk dapat memasarkan produk kapas mereka.

Lebih jauh Pangeran Diponegoro juga memerintahkan komandan lapangannya agar menghentikan segala bentuk hubungan intim dengan perempuan peranakan, dengan alasan hubungan itu bisa membawa sial.

Larangan semacam itu tidak pernah diberlakukan secara ketat di keraton sebelum masa perang, di mana hubungan intim antara penguasa Jawa dan perempuan peranakan Tionghoa dianggap normal-normal saja.

Bahkan satu contohnya kakek Pangeran Diponegoro sendiri Sultan Hamengkubuwono II memiliki selir merupakan perempuan kesayangan bernama Mas Ayu Sumarsonowati, yang memiliki peranakan Tionghoa.

Dari hubungannya inilah menghasilkan putra bernama Pangeran Joyokusumo, yang kemudian menjadi salah satu panglima tertinggi bala tentara Pangeran Diponegoro dan dikenal sebab langseb putih warisan ibu kandungnya.

Topik Menarik