Universitas Paramadina Komitmen Dukung Palestina Merdeka, Suarakan Keadilan
JAKARTA, iNews.id – Universitas Paramadina bekerja sama dengan Paramadina Institute of Ethics and Civilization (PIEC) menggelar seminar bertajuk Palestina: Sebuah Tragedi Kemanusiaan di Zaman Modern, Kamis (16/1/2025). Acara digelar di Aula Lantai 8 Gedung Nurcholish Madjid, Universitas Paramadina Cipayung.
Rektor Universitas Paramadina, Didik J Rachbini mengungkapkan Palestina merupakan negara yang seharusnya merdeka.
"Pentingnya komitmen Indonesia dalam mendukung kemerdekaan Palestina serta peran kampus dalam menyuarakan keadilan," ujar Didik.
Wakil Ketua MPR, Hidayat Nur Wahid mengatakan tragedi kemanusiaan yang terus berlangsung di Gaza, meskipun terisolasi, masih terus menggugah perhatian dunia. Dia membahas peristiwa tragis pada 7 Oktober 2024 yang menimbulkan dua pandangan berbeda di Indonesia mengenai siapa yang seharusnya disalahkan.
“Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu memperkenalkan peta Timur Tengah yang tidak mencantumkan Palestina, sebuah langkah yang semakin memunculkan ketegangan internasional. Pada bulan November 2024, Amerika Serikat juga menyatakan bahwa tidak akan ada gencatan senjata jika Israel tidak mengakui Palestina dalam peta tersebut,” tutur dia.
Lebih lanjut, Hidayat menyoroti bagaimana tragedi ini menyebabkan meningkatnya jumlah korban jiwa, terutama dalam 24 jam terakhir lantaran serangan Israel. Dia menegaskan meski sudah ada upaya membawa kasus ini ke Mahkamah Internasional, Israel masih belum mendapatkan hukuman yang setimpal atas pelanggaran-pelanggaran kemanusiaan yang terjadi.
“Lembaga-lembaga internasional seperti International Court of Justice (ICJ) dan International Criminal Court (ICC) telah meminta Israel untuk segera meninggalkan tanah Palestina dan menghentikan serangan militer, namun Israel menolak,” tuturnya.
Pengamat politik internasional Universitas Paramadina, Pipip A Rifai Hasan menegaskan persoalan Palestina merupakan masalah kemanusiaan yang menjadi bagian dari hak-hak fundamental setiap bangsa.
"Meskipun dunia internasional telah sepakat mengenai prinsip kemerdekaan dan hak asasi manusia, perlakuan yang diterima Palestina justru mencerminkan keterbalikan dari prinsip-prinsip tersebut, terutama oleh negara-negara adikuasa seperti Amerika Serikat dan negara-negara Barat lainnya," kata dia.
Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia (UI) Hikmahanto Juwana mengatakan kebijakan Israel yang digerakkan oleh dendam pribadi terhadap kelompok Hamas tidak dapat dibenarkan dalam kerangka hukum internasional. Menurutnya, kebijakan Israel untuk memastikan Gaza bebas dari pejuang Hamas dan untuk mengembalikan sandera telah menimbulkan tragedi besar.
"Peran Mahkamah Kejahatan Internasional yang telah memanggil pihak-pihak terkait, termasuk Perdana Menteri Israel Netanyahu, untuk memberikan pertanggungjawaban atas tindakannya," ujar dia.
Mantan Duta Besar RI untuk Iran, Dian Wirengjurit menambahkan tragedi ini bukan hanya masalah agama, melainkan juga menyangkut politik yang memiliki akar dalam perebutan wilayah, ideologi dan sumber daya alam. Dia menyoroti dukungan yang diberikan oleh negara-negara Arab terhadap Hamas serta peran negara-negara besar, seperti China, yang ikut campur dalam isu Palestina meskipun bukan negara dengan mayoritas Muslim.
"Tragedi ini adalah hasil dari dinamika politik global yang rumit dan berkembang," tutur dia.
Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsudin menilai kompleksitas masalah Israel-Palestina sangat sulit untuk diprediksi. Dia mengingatkan konflik ini bermula sejak Deklarasi Balfour 1917, yang masih menyisakan dampak buruk hingga kini.
Din mengaitkan Zionisme dengan klaim tempat suci yang memperburuk konflik. "Hubungan internasional, termasuk kebijakan bebas visa Israel ke Uni Emirat Arab sementara negara mayoritas Islam seperti Indonesia tidak mendapatkan hak yang sama, semakin memperparah ketegangan ini," tegas dia.