Penyesuaian Tarif PPN 12 Persen Utamakan Keadilan dan Keberpihakan kepada Masyarakat
JAKARTA, iNews.id - Pemerintah Indonesia memastikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) naik menjadi 12 persen per 1 Januari 2025. Kenaikan pajak dari 11 persen menjadi 12 persen sesuai dengan amanat Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) pada 2022 lalu. Kenaikan PPN dirancang dengan mempertimbangkan aspek keadilan dan keberpihakan kepada masyarakat.
Pajak menjadi instrumen penting bagi pembangunan, meningkatkan penerimaan negara, hingga mendukung stabilitas ekonomi nasional. Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Kepatuhan Pajak Yon Arsal menyatakan, pemungutan pajak ini dilakukan dengan mengutamakan prinsip keadilan, keberpihakan, dan gotong royong. Penerapan kebijakan PPN 12 persen bersifat selektif untuk kesejahteraan masyarakat dan perekonomian.
“Kelompok masyarakat yang mampu akan membayarkan pajaknya sesuai dengan kewajiban berdasarkan undang-undang. Sedangkan kelompok masyarakat yang tidak mampu akan dilindungi bahkan diberikan bantuan. Disinilah prinsip negara hadir,” tutur Yon Arsal seperti disiarkan program iNews Sore, Kamis (19/12/2024).
Sebagai informasi, sebelum kenaikan ini, Indonesia telah mengalami perubahan tarif PPN dari 10 persen menjadi 11 persen pada April 2022. Peningkatan bertahap ini merupakan strategi pemerintah untuk mengurangi defisit anggaran dan memperkuat fundamental ekonomi nasional. Melalui UU HPP, pemerintah memiliki landasan hukum yang kuat untuk melaksanakan kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen.
Adapun barang yang akan dikenakan PPN 12 persen, seperti ikan dan daging premium, pelayanan kesehatan medis premium, jasa pendidikan premium dan listrik pelanggan rumah tangga sebesar 3.500 VA - 6.600 VA. Sedangkan barang dan jasa yang dibebaskan dari pengenaan PPN di antaranya barang kebutuhan pokok, barang-barang kebutuhan industri, jasa pendidikan, jasa kesehatan, dan lain sebagaianya.
Gandeng Comunale, PP Properti Gelar Groundbreaking East Market di Grand Dharmahusada Lagoon
Yon menjelaskan, stimulus ini mengedepankan keberpihakan terhadap masyarakat. Keberpihakan itu dapat dilihat dari penetapan barang dan jasa yang dibutuhkan masyarakat banyak, seperti kebutuhan pokok, jasa pendidikan, jasa kesehatan, jasa angkutan umum tetap dibebaskan dari PPN (PPN 0 persen). Namun barang yang seharusnya membayar PPN 12 persen antara lain tepung terigu, gula untuk industri, dan Minyak Kita (dulu minyak curah) beban kenaikan PPN sebesar satu persen akan Ditanggung Pemerintah (DTP).
Dengan adanya penyesuaian tarif PPN 12 persen, Pemerintah berusaha menjaga daya beli masyarakat. Pemerintah memberikan paket insentif untuk meringankan beban masyarakat terhadap harga barang atau jasa yang akan naik karena PPN 12 persen. Pemerintah memproyeksikan jumlah PPN yang dibebaskan untuk insentif sebesar Rp265,6 triliun.
Jumlah ini di luar pembebasan PPN yang diberikan untuk barang dan jasa yang dibutuhkan oleh masyarakat umum, seperti beras, ikan, telur, sayur, gula konsumsi, susu segar, dan daging. Sedangkan untuk bidang jasa diantaranya jasa angkutan umum, jasa keuangan, jasa tenaga kerja, jasa kesehatan, jasa pendidikan, jasa asuransi, vaksin polio, buku, rusunami, rumah sederhana dan sangat sederhana, dan pemakaian listrik serta air minum.
“Pemerintah memberikan begitu banyak pengecualian PPN kepada masyarakat. Sedangkan di beberapa negara banyak jenis barang dan jasa yang dikenakan PPN, namun di negara kita ada banyak pengecualian yang tidak dikenakan pajak. Kita memberikan insentif PPN sebesar Rp265,6 triliun pada 2025 lebih banyak dari negara lain. Kita sangat transparan kita punya Laporan Belanja Perpajakan,” ucap Yon.
Golongan Penerima Insentif
Yon menjelaskan, golongan rumah tangga penerima insentif yang memiliki pendapatan rendah. Pemerintah memberikan stimulus dalam bentuk PPN DTP sebesar satu persen dari total PPN 12 persen untuk barang kebutuhan pokok dan barang penting (Bapokting) berupa tepung terigu, minyak goreng, dan gula industri.
“Pemerintah juga memberikan bantuan 10 kilogram beras per bulan untuk masyarakat kelompok desil satu dan dua dengan total 16 juta penerima selama Januari dan Februari 2025. Kemudian diskon tarif listrik sebesar 50 persen untuk daya 2.200 VA pada Januari dan Februari 2025,” tuturnya.
Bagi kelas menengah, pemerintah memberikan insentif dengan melanjutkan PPN DTP properti dengan harga rumah hingga Rp5 miliar dengan pengenaan pajak dasar hingga Rp2 miliar. PPN DTP juga diberlakukan untuk kendaraan bermotor listrik berbasis baterai (KBLBB) atau electric vehicle (EV). Pajak Penjualan atas Barang Mewah Ditanggung Pemerintah (PPnBM DTP) diberikan pula untuk kendaraan bermotor yang menggunakan mesin hybrid.
Kemudian insentif Pajak Penghasilan PPh untuk pekerja sektor padat karya dengan gaji hingga Rp10 juta per bulan, mengoptimalkan jaminan kehilangan pekerjaan melalui Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan, dan diskon pembayaran untuk Jaminan Kesehatan Kerja (JKK) sebesar 50 persen untuk pekerja padat karya.
Sedangkan bagi dunia usaha, Pemerintah menyiapkan insentif berupa perpanjangan masa berlaku PPh final 0,5 persen hingga 2025 untuk wajib pajak orang pribadi (WP OP) usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), yang sudah memanfaatkan tujuh tahun dan selesai pada 2024. Bagi UMKM yang memiliki pendapatan di bawah Rp500 juta per tahun dibebaskan dari pajak tersebut.
“Pemerintah juga memberikan subsidi lima persen untuk membiayai industri padat berupa revitalisasi alat atau mesin. Insentif perpajakan 2025 mayoritas dinikmati rumah tangga, serta mendorong dunia usaha dan UMKM dalam bentuk insentif perpajakan,” katanya.