Indahnya Akulturasi Budaya di Pecinan Glodok, Mozaik hingga Kuliner Jadi Saksi
JAKARTA, iNews.id - Kawasanan Pecinan Glodok di Jakarta Barat menjadi bukti nyata keberhasilan akulturasi budaya di Indonesia. Arsitektur bangunan hingga kuliner menjadi saksi bisu bagaimana peradaban akulturasi tumbuh di sana dan bertahan hingga sekarang.
Salah satu bukti akulturasi budaya di kawasan Glodok dapat dilihat pada Gedung Candra Naya. Bangunan yang didirikan oleh keluarga Mayor Khouw Kim An pada 1945 ini tidak hanya menampilkan arsitektur Tionghoa klasik, tetapi juga menjadi simbol solidaritas antar-etnis ketika menjadi tempat penampungan korban kerusuhan di Tangerang.
"Gedung ini memiliki nilai historis yang luar biasa. Ornamen-ornamennya menunjukkan perpaduan unsur Tionghoa dengan sentuhan lokal," jelas Andre, pemandu tur yang menjelaskan detail sejarah bangunan saat mahasiswa Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Mercu Buana (UMB) berkunjung dalam rangka mata kuliah Komunikasi Antar Budaya.
Lalu, ada Vihara Dharma Jaya Toa Se Bio, klenteng tertua kedua di Jakarta, yang menyimpan kisah unik tentang harmonisasi antarbudaya. Terdapat hal menarik di area klenteng ini, yaitu adanya petilasan Raden Surya Kencana, tokoh pendiri Kota Cianjur.
"Ini adalah bukti nyata toleransi yang sudah mengakar sejak dulu. Bagaimana sebuah klenteng Tionghoa bisa menghormati tokoh Islam dengan memberikan ruang untuk petilasannya," ujar Andre.
Kuliner sebagai Jembatan Budaya
Pantjoran Tea House menjadi representasi bagaimana kuliner dapat menjadi medium penyatuan budaya. Delapan teko yang tersusun rapi di depan bangunan bukan sekadar hiasan, melainkan simbol penghormatan kepada kapiten Tionghoa yang pernah berperan penting di kawasan tersebut.
"Dari Apotek Chung Hwa yang berdiri sejak 1928 hingga menjadi Pantjoran Tea House, tempat ini telah bertransformasi menjadi ruang interaksi berbagai budaya melalui hidangan yang disajikan," tambah Andre.
Sandiaga Uno, mantan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, pernah menyampaikan bahwa nilai storynomics tourism yang dimiliki kawasan ini begitu besar. Artinya, Glodok adalah contoh sempurna bagaimana berbagai budaya seperti Tionghoa, Sunda, Betawi, dan Jawa, dapat berbaur menciptakan harmoni yang unik dan bernilai tinggi.
Dengan begitu, menurut Rosmawaty Hilderiah P, dosen pembimbing mata kuliah Komunikasi Antar Budaya UMB, dengan dilakukannya studi lapangan ini, memberikan perspektif baru bagi mahasiswa atau generasi muda lainnya.
"Mahasiswa tidak hanya belajar teori komunikasi antarbudaya, tetapi juga melihat langsung bagaimana akulturasi budaya terjadi dan bertahan selama ratusan tahun," jelasnya.
Restu Bintang Aditya, salah seorang mahasiswa peserta tur, mengaku terkesan dengan kompleksitas akulturasi budaya di Glodok.
"Kami melihat bagaimana berbagai elemen budaya saling melengkapi dan menciptakan identitas baru yang unik. Ini pembelajaran berharga tentang bagaimana keberagaman bisa menjadi kekuatan," kata dia.
Sebagai informasi, kegiatan ini merupakan bagian dari program Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) yang bertujuan meningkatkan pemahaman mahasiswa tentang komunikasi antarbudaya melalui pengalaman langsung di lapangan.
Pembelajaran ini diharapkan dapat membekali generasi muda dengan kemampuan berkomunikasi lintas budaya yang semakin penting di era global.
***Tulisan asli dalam artikel ini ditulis oleh Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Mercu Buana (UMB) Rizky Maulana dan disunting oleh Attala Yushistira Ahmada.