2,3 Juta Pekerja di Industri Tembakau Terancam Kehilangan Pekerjaan Imbas Penerapan PP Kesehatan

2,3 Juta Pekerja di Industri Tembakau Terancam Kehilangan Pekerjaan Imbas Penerapan PP Kesehatan

Ekonomi | inews | Rabu, 16 Oktober 2024 - 14:37
share

JAKARTA, iNews.id - Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menilai Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang (UU) Nomor 17 tahun 2023 tentang Kesehatan dan Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) berpotensi memberikan dampak negatif terhadap industri hasil tembakau (IHT) domestik. 

Diperkirakan sebanyak 2,3 juta tenaga kerja pada industri tembakau terancam kehilangan mata pencahariannya imbas aturan yang membuat tentang Kesehatan serta Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) tentang Pengamanan Produk Tembakau dan Rokok Elektronik.

Peneliti Indef, Tauhid Ahmad menilai kebijakan terkait industri tembakau sehubungan dengan aturan-aturan yang termuat dalam PP 28/2024 dan RPMK, yaitu kemasan rokok polos tanpa merek, larangan berjualan di sekitar satuan pendidikan dan tempat bermain anak, dan pembatasan iklan luar ruang, berpotensi memberikan dampak ekonomi yang signifikan. 

"Kebijakan ini juga berpotensi mempengaruhi sekitar 2,3 juta tenaga kerja di sektor Industri Hasil Tembakau dan produk turunannya atau 1,6 dari total penduduk bekerja," ujar Tauhid dalam keterangannya dikutip, Rabu (16/10/2024).

Tauhid menambahkan, jika aturan ini diterapkan maka dampak ekonomi yang hilang diperkirakan mencapai Rp308 triliun atau setara 1,5 persen dari PDB. 

Selain itu, dampak terhadap penerimaan perpajakan diperkirakan mencapai Rp160,6 triliun yang setara dengan 7 persen dari total penerimaan perpajakan nasional. 

Menurutnya, PP 28/2024 serta RPMK perlu melibatkan setiap pemangku kepentingan dalam ekosistem IHT, bukan hanya pelaku usaha, namun juga kementerian dan lembaga yang terlibat.

Adapun Indef merekomendasikan agar pemerintah melakukan revisi PP 28/2024 dan membatalkan RPMK terutama pada pasal-pasal yang berpotensi berdampak negatif terhadap penerimaan dan perekonomian negara. 

Selain itu, Indef juga mendorong terjadinya dialog antar Kementerian dan Lembaga (K/L) yang berkepentingan dengan IHT, seperti Kementerian Koordinator Bidang Ekonomi, Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, Kementerian Keuangan, Kementerian Ketenagakerjaan, Kementerian Kesehatan, dan Kementerian Pertanian. 

"Jika kebijakan dan regulasi tersebut tetap diberlakukan, pemerintah diharapkan dapat mencari sumber alternatif penerimaan negara yang hilang serta menyiapkan lapangan pekerjaan baru bagi tenaga kerja yang terdampak," ucapnya.

Sementara itu,  Ketua Umum PP FSP RTMM-SPSI, Sudarto AS menuturkan, aturan terhadap IHT secara nyata dapat mematikan keberlangsungan Industri Hasil Tembakau (IHT) nasional. Saat ini, terdapat 143.000 anggota FSP RTMM-SPSI yang menggantungkan nasibnya pada sektor IHT sebagai tenaga kerja pabrikan.

"Kebijakan ini secara terang-terangan akan mematikan industri hasil tembakau nasional. Ada kurang lebih 226.000 tenaga kerja anggota organisasi dari industri terkait yang akan terkena dampak dari regulasi tersebut," ucap Sudarto.

Dia menyesalkan karena Kementerian Kesehatan (Kemenkes) tidak pernah melibatkan RTMM-SPSI dalam pembahasan pasal tembakau RPP Kesehatan.

"Padahal, produk tembakau adalah produk legal yang diakui negara. Dan sektor IHT juga telah menjadi sumber pendapatan besar bagi negara dan menyerap jutaan tenaga kerja," tuturnya

Oleh karena itu, dia meminta Kemenkes mengeluarkan aturan produk tembakau dari RPP Kesehatan. Menurutnya, banyaknya larangan terhadap produk tembakau dalam RPP Kesehatan dinilai telah mengkhianati amanah UU Kesehatan yang sama sekali tidak melarang produk tembakau.

Topik Menarik