Panggung Impostor Kecemasan HAM menuju Indonesia Emas, Negara Meneror Rakyatnya Sendiri

Panggung Impostor Kecemasan HAM menuju Indonesia Emas, Negara Meneror Rakyatnya Sendiri

Nasional | gowa.inews.id | Jum'at, 21 Maret 2025 - 18:50
share

MAKASSAR, iNews.id - Sebelum menyimak tulisan berdasarkan opini dibawah ini marilah kita simak terlebih dahulu kata penganut atau penggiat hukum Jean J Rousseau yang mengatakan "Begitu rakyat membiarkan dirinya diwakili secara instan, Ia sesungguhnya meniadakan kebebasannya".

Hak Asasi Manusia (HAM) atau human rights jika dibangun berdasarkan kerangka perintah moral demokrasi, barang kali hakikatnya teridentifikasi pada state of liberty (hakikat kebebasan) terikat pada hukum-hukum alam. Setiap individu merawat hak asasinya adalah individu yang berkemampuan menghormati hak asasi orang lain. 

Membangun kesetaraan hak menghubungkan secara timbal balik antara keperluan kekuasaan dan rakyat dalam jurisdiksi kekuasaan yang dijalankan berdasarkan mandat sosialnya. Amanat tersebut harus dijaga, baik berupa hak secara personal, hak ekonomi serta hak politiknya.

HAM adalah jalan keluar untuk mengatasi keadaan “homo homini lupus, bellum omnium contra omnes” yaitu manusia dapat menjadi serigala bagi manusia lain. Keadaan seperti ini mendorong terbentuknya perjanjian masyarakat, dimana rakyat menyerahkan hak-haknya kepada penguasa.

Negara itu bentuk masyarakat yang terpenting, dan pemerintah adalah susunan pimpinan masyarakat yang terkuat dan berpengaruh. Olehnya itu pemerintahlah yang pertama-tama berkewajiban menegakkan keadilan. Maksud fundamental dari di dirikannya negara dan pemerintahan guna melindungi manusia yang menjadi warga negara dari kemungkinan perusakan terhadap kemerdekaan dan harga diri sebagai manusia. 

Sebaliknya setiap orang harus mengambil bagian untuk bisa bertanggungjawab dalam masalah-masalah negara atas dasar persamaan yang diperoleh melalui demokrasi, (Nilai-nilai Dasar Perjuangan). Yang pada dasarnya setiap individu memerintah dan memimpin dirinya sendiri (Khalifah) yang cenderung kepada yang hanif di muka bumi ini.

Coba kita baca Indonesia dalam perspektif HAM teman-teman sejawat. 

Problematika umat kian gejolak di balik kebrutalan rezim Jokowi-Prabowo adalah kejahatan hak asasi manusia. Rezim secara brutal memaksa keadaan untuk menormalisasi kejahatan kemanusiaan yang terjadi di beberapa peristiwa. Kenapa? Coba kita uji berdasarkan ketentuan Pasal 28I ayat (4) UUD 1945 yang berbunyi, “Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah.” Dalam konsep HAM ada yang disebut pelanggaran HAM berdasarkan pengabaian atau 'by omission'. Nah! "Jika pemerintah abai terhadap pelanggaran HAM maka itu ialah pelanggaran HAM". Sepertinya bukan lagi abai, tapi dinormalisasi.

Di balik agenda-agenda petinggi negara, umat dan bangsa diperhadap-hadapkan dengan aparat kekuasaan (TNI/Polri). Di ruang-ruang aspirasi senantiasa terjadi penggunaan kekuatan yang berlebihan (abuse of power) dalam tindakan pengamanan yang justru menyebabkan korban jiwa, dan itu juga jelas pelanggaran HAM. 

Agenda apa saja?
Sejak tahun 1998 terjadi pembunuhan secara "merangkak" terhadap demokrasi. Tepat tanggal 20 Maret 2025, Puan Maharani (Ketua DPR RI) mengetok palu atas disahkannya Revisi UU TNI di Rapat Paripurna DPR, Pemerintah bersama Petinggi TNI. Gelombang penolakan publik pun pecah dan terjadi demonstrasi di belahan kota-kota besar. Beragam petisi bertuliskan "Tolak RUU TNI", "Supremasi Sipil Harga Mati Demokrasi",  "Kembalikan TNI ke Barak", dan beragam petisi-petisi lainnya, termasuk kecemasan HAM. 

Kejadiannya begitu cepat, Revisi UU TNI dianggap sangat tidak objektif. Dikebutnya Revisi UU TNI oleh DPR dan Pemerintah tidak memberikan nilai tambah terhadap upaya pemberantasan korupsi. Adanya potensi Dwi Fungsi ABRI dan Stagnasi Generasi. Di balik penolakan tersebut, kebrutalan aparat semakin tidak terkendali. Banyaknya korban mempertegas matinya reformasi dan terlihat sebagai mainan di "Panggung Impostor" untuk memporak-poranda hak asasi manusia di negara kita tercinta ini. Pelakunya disebut Wilson sebagai "Neo Orba" dan "Reformis gadungan". 

Upaya legitimasi kekerasan di balik ambisi kekuasaan. Buktinya, beragam kriminalisasi berupa teror, intimidasi, represifitas aktivis semakin dipertontonkan sebagai hal yang normal. Diperlakukan tidak manusiawi, ditindak seperti penjahat. Rocki Gerung bilang "Sinting - "Negara memperkarakan warga negara". Itu, otoritarianisme.

Dalam perspektif politik, membaca rezim Prabowo Subianto berentetan masalah seperti "Indonesia Gelap" baik terjadi di tingkat nasional, regional hingga sektor daerah. Sangat jauh dari substansi demokrasi. Masalah-masalah tersebut pun belum menuai kepastian hukum. 

Publik terombang-ambing oleh guncangan kepentingan kelompok oligarki. Kejahatan demokrasi di Rezim Jokowi terbongkar, ditambah dengan program prioritas verai rezim Prabowo yang ambisius, memaksakan kepentingan kekuasaan. Terlihat dari riak-riak Revisi UU TNI, jalan menuju otoriter. Semacam persekutuan "Cucu Soekarno dengan Menantu Soeharto", melawan Post-Power Syndrome Jokowi dengan isu seprangkat Polri-oligarki. Tentu ada tarik-menarik kepentingan investasi kekuasaan.

Indonesia kini maju menuju era atau masa Emas.
Tapi kenapa ribut-ribut? Iya, itu hanya prosesi pergantian pemain, yang berujung bagi-bagi kue Danantara! Entahlah. Publik sedang terjebak dalam pertunjukan 'Ndasmu' menuju Indonesia Emas dimainkan di "Panggung Impostor". 

Apa itu Impostor? Impostor artinya "Peran Palsu" atau "Menipu". Dalam permainan Among Us, "Impostor adalah sebuah peran dalam bertugas menipu, mengacaukan permainan tanpa ketahuan dan membunuh karakter pemain lainnya". Sebuah peran mendapatkan prestasi, namun merasa seperti 'impostor' tidak pantas mendapatkannya. Semacam validasi 'fun-teck' atau pengakuan palsu. Misal, Kementerian HAM bangga dengan program bagi-bagi piagam penghargaan peduli HAM. Namun abai terhadap pelanggaran-pelanggaran HAM. 

Harry Browne mengungkapkan - "Pemerintah pandai dalam satu hal ; Ia tahu cara mematahkan kaki Anda, lalu memberi Anda tongkat dan berkata, 'lihat, andai bukan karena pemerintah, kamu tak akan bisa berjalan". Pemerintah tak pernah gagal menipu rakyat. Begitulah 'impostor.

Kita coba tarik ke kitab suci. "Dan demikianlah pada setiap negeri Kami jadikan pembesar-pembesar yang jahat agar melakukan tipu daya di negeri itu. Tapi mereka hanya menipu diri sendiri tanpa menyadarinya". (Q.S. Al-An'am ayat 123). 

Demikianlah peran Impostor, memainkan dan membunuh karakter 'crewmates (spt. institusi/lembaga negara), sabotase atau membuat kekacauan. Hal demikian berakibat pada  'delinguence demokrasi', yang melanggengkan kenakalan-kenakalan dalam sistem demokrasi. Itu mengundang kecemasan.

Kecemasan HAM menuju Indonesia Emas.
'Criminal aetiologie' menggambarkan ilmu yang menyelediki tentang sebab-sebab terjadinya kejahatan atau asal-usul kejahatan. 'Etiologi hukum' melahirkan analisa ilmiah mengenai sebab-sebab kejahatan. Kecemasan kita itu? 

Pertautan oligarki dan otoritarianisme membangun investasi kekuasaan sebagai bekal menuju Indonesia Emas. Tentu melahirkan kekhawatiran publik, termasuk nasib HAM. Hakikat kebebasan dibelenggu melalui penjajahan secara 'Ekonomi-politik' sangat berpotensi menambah deretan Kejahatan-kejahatan HAM. 

Kejahatan bukan hanya bertentangan dengan hukum pidana saja, tapi juga bertentangan dengan norma-norma kelakuan (candut norm) seperti; "norma kesopanan, norma susila, norma adat dan norma hukum". Satjipto Rahardjo dari jauh-jauh hari menegaskan bahwa "Hukum Hadir untuk Manusia", oleh karenanya segala bentuk tindakan mengurangi, meremehkan, mengkerdilkan nilai-nilai kemanusiaan tentunya tidak dapat ditolerir. Dalam objek studi kriminologi, yaitu - "Penjahat", "Kejahatan" dan "Reaksi masyarakat terhadap keduanya".

Apa reaksinya terhadap kecemasan HAM?
Karena siapa saja bisa jadi korban. Kita mesti mengembangbiakkan pemahaman SDM mengenani Diseminasi HAM sebagai upaya untuk menyamakan persepsi, mempertajam pemahaman dan aksi konkret mengarah pada "penghormatan, perlindungan, pemenuhan, penegakan dan pemajuan HAM".

Pikiran-pikiran baik itu minimal menyumbang untuk negara. Semisal memperjelas Komitmen Diseminasi dan Penguatan HAM di Tingkat Daerah. Penyatuan persepsi ini harus dibangun melalui ruang-ruang ilmiah dengan melibatkan seluruh sektor sosial.  Baik pemerintah, legislatif, yudikatif, APH, NGO, Mahasiswa dan masyarakat umum dilakukan secara terbuka, toleran, partisipan dan demokratis. Dengan mendorong prioritas kebijakan demokrasi yang pro pada Diseminasi dan Penguatan HAM di segala sektor sosial. Agar hak seseorang tidak digunakan untuk merepresi hak orang lain. Sebagaimana amanat Konstitusi dan dan Ali Imran : 104.

Tulisan ini hanya sekedar orasi singkat warga negara dalam merespon pertunjukan di 'Panggung Impostor. Intinya, "Terus kawal kebijakan pemerintah. Tolak dan lawan kedzaliman penguasa. Nasionalisme adalah konsep untuk memastikan HAM itu terpenuhi".

Dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Bukan berarti, rakyat diwakili secara instan".
Yakin Usaha Sampai.

Sulawesi Selatan - Jum'at, 22 Maret 2025

Penulis : Fungsionaris Badko HMI Sulawesi Selatan Iwan Mazkrib (Seniman Hukum)

Topik Menarik