Inggris dan Prancis Siap Pimpin Koalisi untuk Kerahkan Tentara ke Ukraina

Inggris dan Prancis Siap Pimpin Koalisi untuk Kerahkan Tentara ke Ukraina

Global | sindonews | Minggu, 2 Maret 2025 - 23:57
share

Perdana Menteri (PM) Inggris Keir Starmer telah mengumumkan bahwa London dan Paris siap memimpin "koalisi yang bersedia" untuk memberikan dukungan militer kepada Ukraina.

Dukungan tersebut termasuk pengerahan tentara dan pesawat militer, yang bertujuan untuk mengamankan posisi Kyiv setelah kesepakatan damai dengan Moskow tercapai.

Selama pertemuan puncak darurat di London pada hari Minggu, setelah kunjungan Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky ke Washington yang berakhir dengan kekacuan, Starmer menekankan perlunya Uni Eropa dan sponsor lainnya untuk maju dan mengambil peran utama dalam mendukung Kyiv.

Meskipun mengakui bahwa beberapa negara tidak banyak berkontribusi, dia menegaskan bahwa mereka yang bersedia harus bertindak dengan segera.

“Tidak semua negara akan merasa mampu berkontribusi, tetapi itu tidak berarti kita tinggal diam," katanya.

"Sebaliknya, mereka yang bersedia akan mengintensifkan perencanaan sekarang dengan urgensi yang nyata. Inggris siap mendukung ini dengan mengerahkan pasukan di darat dan pesawat di udara, bersama dengan negara lain,” imbuh Starmer, yang dilansir Russia Today, Senin (3/3/2025).

Presiden Prancis Emmanuel Macron menyatakan bahwa pasukan Eropa hanya akan dikerahkan setelah situasi di darat aman bagi mereka. Dia mengusulkan gencatan senjata sementara di udara, di laut, dan di infrastruktur energi selama sebulan—sebuah gagasan yang sebelumnya dikecam Moskow sebagai taktik Barat untuk mempersenjatai kembali dan memperkuat Kyiv.

“Tidak akan ada pasukan Eropa di tanah Ukraina dalam beberapa minggu mendatang,” kata Macron dalam sebuah wawancara dengan Le Figaro.

“Pertanyaannya adalah bagaimana kita dapat menggunakan waktu ini untuk mencoba mendapatkan gencatan senjata, dengan negosiasi yang akan memakan waktu beberapa minggu, dan kemudian, ketika perdamaian ditandatangani, pengerahan pasukan," paparnya.

Moskow telah berulang kali mengesampingkan gencatan senjata sementara yang mirip dengan perjanjian Minsk yang gagal, bersikeras pada kesepakatan permanen yang mengikat secara hukum yang mengatasi akar penyebab konflik.

Mantan Kanselir Jerman Angela Merkel mengakui pada 2022 bahwa gencatan senjata berdasarkan Perjanjian Minsk, yang seolah-olah dimaksudkan untuk membekukan konflik antara Kyiv dan Republik Rakyat Donetsk dan Luhansk, sebenarnya hanyalah upaya untuk memberi Ukraina waktu guna membangun kekuatannya.

Pertemuan puncak darurat di London dihadiri oleh beberapa pemimpin Eropa, termasuk Starmer, Macron, Kanselir Jerman Olaf Scholz, Perdana Menteri Polandia Donald Tusk, dan lainnya, bersama dengan Perdana Menteri Kanada Justin Trudeau, Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen, dan Sekretaris Jenderal NATO Mark Rutte.

Trudeau tidak mengesampingkan kemungkinan pengerahan pasukan ke Ukraina, dengan mengatakan: "Ottawa telah mempertimbangkan cara-cara terbaik untuk membantu, dan seperti yang telah saya katakan beberapa hari yang lalu, semuanya ada di atas meja."

Namun, Perdana Menteri Italia Giorgia Meloni menyatakan bahwa masih belum ada satu pun rencana khusus untuk pengerahan pasukan dan menekankan bahwa kehadiran pasukan Italia di Ukraina tidak pernah ada dalam agenda.

Tusk mencatat bahwa para pemimpin telah gagal mengusulkan posisi bersama yang sistematis untuk membentuk jaminan keamanan masa depan bagi Ukraina atau rencana konkret untuk negosiasi dengan Rusia.

“Kita semua merasakan saat ini bahwa tidak seorang pun memiliki rencana untuk itu, dan rasa kekacauan itu, pendekatan yang asal-asalan...terkadang memicu emosi seperti yang telah kita lihat dalam tontonan yang tidak pantas di Washington beberapa hari yang lalu, yang kita semua ingin hindari,” kata Tusk.

Rusia telah dengan tegas menentang pengerahan pasukan asing yang tidak sah ke Ukraina, dengan peringatan bahwa tanpa mandat PBB, mereka akan dianggap sebagai target yang sah.

Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov telah mengatakan bahwa gagasan pengerahan pasukan asing ke Ukraina—yang terutama didorong oleh Prancis dan Inggris—dimaksudkan untuk semakin mengobarkan konflik dan menghentikan segala upaya untuk mendinginkannya.

Kementerian Luar Negeri Rusia juga menuduh Uni Eropa dan Inggris memulai “jalur militerisme".

Topik Menarik