Kapal China Picu Ketegangan Sehari Setelah Utusan Xi Jinping Kunjungi Jakarta
JAKARTA - Sehari setelah Presiden China Xi Jinping mengirim perwakilan khusus dan Wakil Presiden Han Zheng ke Jakarta untuk menghadiri pelantikan Presiden Prabowo Subianto, ketegangan meningkat antara kedua negara. Kapal Penjaga Pantai China telah mencoba mengganggu survei data seismik yang sedang dilakukan oleh perusahaan energi Indonesia di zona ekonomi eksklusif negara itu di Laut Natuna Utara.
Seperti Malaysia, Filipina, Vietnam, Brunei, dan Taiwan, Indonesia tidak memiliki sengketa teritorial dengan China atas Laut Cina Selatan. Meski demikian, kapal-kapal China secara teratur memasuki zona ekonomi eksklusifnya di Laut Natuna Utara karena Beijing mengeklaim bahwa wilayah itu termasuk dalam apa yang disebut garis sembilan putus-putus berbentuk U yang mencakup 90 persen Laut China Selatan.
Terus mengganggu negara-negara tetangganya di kawasan Asia Tenggara, kapal Penjaga Pantai China CCG 5402 memasuki Laut Natuna Utara pada 21 Oktober ketika MV Geo Coral, kapal penelitian Norwegia, tengah melakukan survei data seismik untuk perusahaan energi Indonesia, PT Pertamina.
Melansir dari The Singapore Post, Sabtu, 2 November 2024, kantor berita South China Morning Post (SCMP) mengutip Badan Keamanan Maritim Indonesia mengatakan kapal Penjaga Pantai China itu diusir oleh kapal patroli setelah "mengganggu kegiatan survei seismik dan pemrosesan data yang tengah dilakukan oleh PT.Pertamina di Laut Natuna menggunakan kapal MV Geo Coral."
Namun, pada 23 Oktober, kapal China itu kembali memasuki Laut Natuna Utara dan mendekati lokasi tempat survei seismik tengah dilakukan PT.Pertamina. Hal ini memicu ketegangan antara pejabat Badan Keamanan Laut (BAKAMLA) Indonesia dan personel kapal Penjaga Pantai China CCG 5402.
Pejabat keamanan laut Indonesia yang marah, mengerahkan kapal patroli dan pesawat untuk mengusir kapal China keluar dari zona ekonomi eksklusif Indonesia di Laut Natuna Utara, demikian ABC News mengutip pernyataan Bakamla. Pihak berwenang Indonesia kecewa, peristiwa ini terjadi tepat ketika Jakarta dan Beijing bersiap merayakan 75 tahun hubungan bilateral mereka tahun depan.
Kemitraan Indonesia-China
Selain itu, peristiwa ini terjadi hanya sehari setelah Presiden China Xi Jinping mengirim perwakilan khususnya ke Jakarta untuk menghadiri upacara pelantikan presiden Prabowo Subianto.
"Atas undangan pemerintah Indonesia, Wakil Presiden China Han Zheng, sebagai perwakilan khusus Presiden Xi Jinping, menghadiri pelantikan Presiden baru Indonesia, Prabowo Subianto, pada hari Minggu," lapor Xinhua.
Pada 21 Oktober, Kementerian Luar Negeri China terlihat memuji hubungan Beijing dengan Jakarta. Juru bicaranya Lin Jian mengatakan bahwa “China sangat mementingkan hubungan persahabatan yang terus berkembang dengan Indonesia.”
Bahkan Wakil Presiden China Han Zheng, selama kunjungannya ke Jakarta, mengeluarkan pernyataan yang selalu ditandai dengan hal positif. Han, menurut Xinhua, menegaskan kesediaan Beijing untuk bekerja sama dengan Indonesia dalam “menjaga perdamaian dan stabilitas regional sambil mempromosikan pembangunan dan kemakmuran dunia.”
Indonesia dan China juga menikmati kemitraan ekonomi dan strategis yang kuat. Pada 2023, perdagangan bilateral kedua negara mencapai USD127,12 miliar, dengan lebih dari 1.000 perusahaan China beroperasi di Indonesia, di bidang manufaktur, pertanian, tenaga air, mineral, dan sektor lainnya. Sebagai mitra Prakarsa Sabuk dan Jalan (BRI) China, Indonesia menganut kebijakan Satu Tiongkok dan memastikan bahwa kepentingan inti Beijing tidak dirugikan.
Meski Indonesia memiliki komitmen yang kuat, China tidak butuh waktu lama untuk menghancurkan niat baik dan kepercayaan Jakarta. Hal itu terlihat jelas ketika China berulang kali mengirimkan kapalnya ke Laut Natuna Utara untuk mencegah negara terbesar di Asia Tenggara itu melakukan survei potensi energi di zona ekonomi eksklusifnya di Laut tersebut.
Beberapa ahli berpendapat bahwa dengan melakukan penyerbuan ke Laut Natuna Utara, China mungkin telah mencoba menguji tekad Prabowo. Namun yang lain merasa bahwa melalui tindakan terbarunya, Beijing telah mengirimkan pesan tersembunyi ke Jakarta bahwa perairan tersebut berada di bawah sembilan garis putus-putusnya dan bahwa siapa pun pemimpin yang berkuasa di Indonesia, China akan terus menjalankan klaim tersebut.
Ketegangan di Laut China Selatan
Pada 2016, Pengadilan Arbitrase Tetap di Den Haag tidak menemukan dasar hukum untuk klaim China atas Laut Cina Selatan di bawah batas sembilan garis putus-putus berbentuk U. Namun catatan masa lalu menunjukkan bahwa China terus mengikuti pendekatan 'yang kuat adalah yang benar' dalam berurusan dengan tetangganya di Laut Cina Selatan.
Pada Januari 2020, ketegangan juga meningkat antara kedua negara setelah kapal penjaga pantai China memasuki Laut Natuna Utara untuk menekan Indonesia agar menghentikan pengeboran minyak dan gas karena wilayah tersebut milik China. Indonesia, menurut Reuters, tidak menghentikan pengeboran tetapi Beijing setelah berbulan-bulan berselisih dengan Jakarta menarik kapalnya dari wilayah tersebut.
Filipina, Vietnam, dan Malaysia, yang memiliki klaim tumpang tindih atas Laut Cina Selatan, semuanya berada di bawah tekanan China untuk mengakhiri proyek energi di Laut tersebut. Namun, mereka belum menyerahkan wilayah apa pun kepada China.
Pada Agustus tahun ini, Vietnam dan Filipina sepakat untuk memperkuat hubungan pertahanan mereka dan memperdalam kolaborasi dalam keamanan maritim. Hal ini dipandang sebagai langkah besar kedua negara untuk melawan tindakan agresif China di Laut Cina Selatan.
Di sisi lain, Malaysia telah berencana membangun pangkalan angkatan laut baru di Bintulu di Sarawak untuk menantang sikap tegas China di Laut Cina Selatan.
Menurut CNA, pangkalan ini akan menjadi pangkalan angkatan laut utama keenam Malaysia, yang sudah memiliki tiga pangkalan di Malaysia Barat dan dua lagi di Sabah. Laporan media menunjukkan bahwa pembangunan pangkalan di Bintulu akan dilakukan dalam dua tahap dan akan diresmikan pada 2030.