Kenapa Zimbabwe Menjadi Negara Miskin?

Kenapa Zimbabwe Menjadi Negara Miskin?

Global | okezone | Rabu, 23 Oktober 2024 - 16:54
share

JAKARTA - Zimbabwe adalah salah satu negara berkembang di Afrika bagian selatan dengan potensi besar di sektor pertanian. Ini menjadikan Zimbabwe kandidat kuat sebagai lumbung pangan di wilayah tersebut.

Menurut PBB, Zimbabwe juga memiliki peluang besar dalam pengolahan komoditas mineral dan pertanian untuk meningkatkan nilai tambah.

Secara wilayah, Zimbabwe berbatasan dengan Mozambik di timur, Zambia di utara, Botswana dan Namibia di barat, serta Afrika Selatan di selatan. Meskipun tidak memiliki akses langsung ke laut, Zimbabwe memiliki jaringan transportasi jalan dan kereta api yang baik, memudahkan akses ke pelabuhan di Maputo, Beira, Walvis Bay, dan Durban. Namun, apa yang menyebabkan perekonomian Zimbabwe masih tertinggal?

Melansir HSF, Rabu (23/10/2024), Zimbabwe mengalami kemerosotan ekonomi dan kemiskinan yang semakin parah sejak 1980. Setelah meraih kemerdekaan dari Inggris pada tahun tersebut, Zimbabwe awalnya memiliki ekonomi yang relatif berkembang, dengan sektor pertanian, pertambangan, dan industri yang kuat. Pemerintahan di bawah Robert Mugabe dan partai ZANU-PF awalnya memusatkan kebijakan pada redistribusi sumber daya, terutama tanah, untuk mengatasi ketidakadilan yang diwariskan dari era kolonial.

Selama sepuluh tahun pertama setelah kemerdekaan, Zimbabwe menerapkan kebijakan proteksionis yang sebelumnya dijalankan di bawah pemerintahan Ian Smith di Rhodesia. Kebijakan ini termasuk kontrol ketat terhadap kredit murah dan pembatasan impor. Ini bertujuan melindungi industri lokal dari persaingan asing.

Pada saat yang sama, pemerintah mengalokasikan anggaran besar untuk layanan sosial seperti kesehatan dan pendidikan. Iniberhasil meningkatkan kualitas hidup masyarakat, terutama bagi penduduk kulit hitam yang sebelumnya terpinggirkan.

Namun, kebijakan proteksi ini memiliki banyak kelemahan. Perlindungan berlebihan membuat perusahaan lokal tidak efisien dan kurang inovatif. Sementara itu, sektor pertanian dan industri besar masih didominasi oleh orang kulit putih, investasi asing terhambat, dan pasar tenaga kerja menjadi kaku karena regulasi yang ketat.

Pada awal 1990-an, Zimbabwe mulai meninggalkan kebijakan proteksionis dan beralih ke pendekatan ekonomi yang lebih liberal melalui Economic Structural Adjustment Programme (ESAP) atas saran dari lembaga internasional seperti International Monetary Fund (IMF) dan Bank Dunia. ESAP bertujuan mengurangi campur tangan negara dalam ekonomi, menekan defisit anggaran, dan membuka akses Zimbabwe ke pasar global.

Sayangnya, ESAP dinilai gagal karena berbagai alasan. Salah satunya adalah inflasi dan krisis fiskal yang terjadi akibat liberalisasi ekonomi yang diterapkan terlalu cepat tanpa kesiapan infrastruktur yang memadai. Pemotongan subsidi serta pengurangan belanja pemerintah, terutama di sektor sosial seperti kesehatan dan pendidikan, semakin memperburuk kondisi masyarakat. Banyak perusahaan yang sebelumnya terlindungi oleh kebijakan proteksionis tidak mampu bersaing di pasar bebas, menyebabkan kebangkrutan dan peningkatan pengangguran.

Selain itu, Zimbabwe menghadapi tantangan eksternal seperti kekeringan besar pada 1992 dan 1995. Hal ini berdampak pada menurunnya produksi pertanian sehingga menciptakan krisis pangan. Ditambah lagi, resesi global pada awal 1990-an memperburuk situasi dengan menekan harga ekspor bahan mentah.

Meski ada pemulihan ekonomi pada tahun 1996-1997, kondisi Zimbabwe kembali memburuk karena kebijakan populis yang diterapkan pemerintahan Mugabe. Salah satu kebijakannya adalah pembayaran besar-besaran sebesar 4 miliar dollar Zimbabwe (ZWD) kepada veteran perang kemerdekaan pada 1997. Langkah ini memicu inflasi yang tidak terkendali dan menyebabkan Zimbabwe kehilangan dukungan IMF.

Pada tahun 1998, keterlibatan Zimbabwe dalam Perang Kongo juga memperburuk situasi, karena menguras anggaran dan meningkatkan utang negara.

Kebijakan yang paling merugikan adalah reformasi agraria pada 2000. Tanah milik petani kulit putih disita secara paksa dan dibagikan kepada penduduk kulit hitam yang disebut tidak memiliki kemampuan bertani. Akibatnya, sektor pertanian, yang merupakan pilar utama ekonomi Zimbabwe, runtuh total, menyebabkan krisis pangan dan hilangnya pendapatan ekspor.

Akibat dari kebijakan-kebijakan tersebut, Zimbabwe menghadapi berbagai masalah serius yang menghancurkan perekonomian dan kondisi sosialnya. Salah satu dampak terbesarnya adalah hiperinflasi. Inflasi Zimbabwe melonjak hingga puncaknya pada 2008, mencapai lebih dari 79 miliar persen. Hal ini membuat mata uang Zimbabwe hampir tidak bernilai, dan menghancurkan daya beli masyarakat.

Selain itu, tingkat pengangguran meningkat drastis akibat kehancuran sektor-sektor penting seperti pertanian dan manufaktur. Banyak perusahaan gulung tikar, sehingga lapangan pekerjaan semakin langka. Eksodus besar-besaran tenaga terampil, profesional, dan akademisi Zimbabwe ke luar negeri, terutama Afrika Selatan, memperparah krisis akibat ketidakstabilan ekonomi.

Pada akhirnya, layanan publik, seperti pendidikan dan kesehatan, mengalami kemunduran besar. Infrastruktur publik runtuh, dan harapan hidup masyarakat menurun drastis akibat krisis yang berkepanjangan.

Topik Menarik