Komunikasi Krisis Dapat Menjatuhkan Bisnis? Strategi Public Relations Digital untuk Pemulihan Reputasi dalam Krisis

Komunikasi Krisis Dapat Menjatuhkan Bisnis? Strategi Public Relations Digital untuk Pemulihan Reputasi dalam Krisis

Gaya Hidup | okezone | Senin, 7 April 2025 - 01:17
share

JAKARTA - Media adalah sebuah alat yang digunakan oleh manusia dalam berkomunikasi untuk bertukar pesan atau mendapatkan informasi. Mulai dari media cetak, media sosial, media tradisional, dan media baru. Dalam era digital, media sosial telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari, dengan banyak orang menghabiskan waktu untuk mengaksesnya melalui smartphone. 

Wadah media sosial yang populer seperti Facebook, X, YouTube, Instagram, LINE, WhatsApp, dan TikTok masing-masing memiliki daya tarik tersendiri bagi pengguna (Cahyono, 2016). Kemudahan yang ditawarkan media sosial bisa membuat orang berlama-lama di dunia maya. Namun, konsumsi konten media sosial secara intensif dapat mempengaruhi pandangan pengguna terhadap realitas sosial. 

Penggunaan media sosial sudah mulai sering digunakan dalam pemasaran, komunikasi publik, kantor atau departemen yang berhubungan langsung dengan konsumen atau stakeholder. Dalam bisnis, media sosial merupakan salah satu saluran yang mendukung komunikasi dalam memasarkan barang dagangan secara cepat dan menguntungkan dibandingkan dengan menjual langsung ke pasar (Untari & Fajariana, 2018). 

Namun, komunikasi tidak selamanya berjalan dengan lancar akibat terjadinya sebuah krisis. Menurut Coombs (2018), komunikasi krisis adalah pengumpulan, pengolahan, dan penyebaran informasi yang dibutuhkan untuk mengatasi situasi krisis. 

Menurut Griffin (2014), krisis adalah suatu kejadian tidak terduga yang mempengaruhi operasi, keuangan, status hukum, dan citra suatu perusahaan, yang sekaligus membahayakan kelangsungan hidup organisasi, merusak reputasinya, serta mengikis kepercayaan publik akibat manajemen risiko atau masalah yang buruk. 

Sebagai contoh, akibat adanya perubahan jadwal perjalanan yang dianggap memperpanjang waktu tunggu kereta, pengguna KRL mengeluhkan Gapeka (Peta Perjalanan Kereta Api) 2025 yang diadopsi oleh PT Kereta Commuter Indonesia. Hal ini mengakibatkan kemacetan, keterlambatan, dan ketidaknyamanan bagi penumpang yang pada akhirnya menimbulkan tanggapan yang kurang baik di media sosial dan sorotan media. Berikut ini adalah beberapa tanggapan yang dipaparkan oleh para pengguna KRL melalui media sosial @commuterline.

Dengan adanya krisis ini, PT Kereta Commuter Indonesia menggunakan strategi model komunikasi krisis untuk mengevaluasi dan mengurangi dampak negatif yang terjadi. Menurut Coombs (2018), model komunikasi dalam komunikasi krisis merupakan pendekatan penyampaian pesan strategis berbasis situasi yang mempertimbangkan tanggung jawab organisasi, opini publik, dan perasaan.

Menurut Situational Crisis Communication Theory (SCCT), strategi komunikasi krisis dimodifikasi berdasarkan situasi dan penilaian publik terhadap tingkat ketidakakuratan. Krisis dapat terjadi dari berbagai sumber, di antaranya akibat bencana alam, penyebaran berita negatif di media sosial atau media massa, reaksi negatif terhadap kebijakan atau kampanye pemasaran, cacat produk yang menyebabkan penarikan (recall) atau cedera pada pelanggan, pelanggaran hak cipta, dan lain sebagainya (Aboudzadeh et al., 2014).

Permasalahan PT Kereta Commuter Indonesia, disebabkan reaksi negatif dari para penumpang KRL terhadap kebijakan yang dibuat. Krisis ini dikategorikan sebagai Accidental Cluster yaitu krisis akibat kesalahan tidak sengaja, karena modifikasi jadwal merupakan hasil kebijakan yang seharusnya meningkatkan efisiensi jangka panjang, bukan upaya yang disengaja untuk merugikan pelanggan (Coombs & Holladay, 2012).
Situational Crisis Communication Theory (SCCT) adalah pendekatan berbasis atribusi yang membantu organisasi dalam menentukan strategi komunikasi yang sesuai, berdasarkan cara pemangku kepentingan memandang dan mengaitkan penyebab krisis dengan organisasi tersebut (Coombs, 2018). Berdasarkan model SCCT, terdapat empat strategi komunikasi krisis yang dapat diterapkan, yaitu: Denial (Menolak Tanggung Jawab), Diminish (Mengurangi Tingkat Kesalahan), Rebuild (Memperbaiki Reputasi), dan Bolstering (Mendukung Reputasi) (Coombs, 2018).

Dalam kasus tersebut, PT Kereta Commuter Indonesia dapat menggunakan strategi komunikasi berdasarkan SCCT dalam menghadapi krisis yang terjadi, untuk mengurangi kemarahan publik, menumbuhkan pemahaman, dan menjaga kepercayaan konsumen. Pertama, Diminish (Mengurangi Tingkat Kesalahan), dimana PT Kereta Commuter Indonesia dapat menginformasikan kepada publik secara lengkap mengenai Gapeka 2025 melalui media sosial dan menjelaskan alasan di balik perubahan jadwal tersebut.

 

Kedua, Rebuild (Memperbaiki Reputasi), dengan menyampaikan penyesalan dan empati kepada pengguna atas ketidaknyamanan yang dialami, menawarkan solusi praktis melalui fitur tanya jawab media sosial atau memberikan angket sebagai bentuk survei untuk evaluasi, dan menangani keluhan pengguna secara konstruktif untuk meningkatkan sistem informasi kedatangan kereta serta membantu pengguna merencanakan perjalanan mereka. 

Ketiga, Bolstering (Mendukung Reputasi), dengan melibatkan media untuk memberikan berita yang lebih berimbang tentang manfaat kebijakan dan menampilkan testimoni pengguna untuk mengurangi kesan yang tidak menyenangkan, PT Kereta Commuter Indonesia dapat menunjukkan keberhasilan di bidang lain. Sebab, pembentukan Gapeka 2025 merupakan upaya untuk meningkatkan layanan lain, seperti membangun jalur baru, efisiensi waktu, dan lain sebagainya.

Dengan adanya kasus tersebut, Denial (Menolak Tanggung Jawab) tidak disarankan untuk digunakan, karena hanya akan menambah sentimen negatif dari publik. PT Kereta Commuter Indonesia harus menggunakan teknik Diminish, Rebuild, dan Bolstering sebagai bagian dari rencana komunikasi krisis berbasis SCCT dalam rangka mengatasi keluhan pengguna KRL terkait Gapeka 2025. Mengurangi ketidakpuasan masyarakat dan menjaga kepercayaan terhadap layanan KRL dapat dicapai melalui komunikasi yang terbuka, simpatik, dan berfokus pada solusi.
 
Kasus ini menunjukkan betapa pentingnya manajemen risiko yang efektif bagi perusahaan, terutama dalam menjaga kepatuhan terhadap regulasi yang ada, bersikap terbuka dan jujur kepada pelanggan, serta menggunakan teknik komunikasi yang tepat saat menghadapi krisis. Dengan langkah-langkah tersebut, dampak negatif terhadap perusahaan dapat diminimalkan, dan reputasi perusahaan dapat dipulihkan di masa depan.

Nada Shofiyah
Mahasiswi Magister Ilmu Komunikasi UPN VJ

 

Topik Menarik