Hukum Sholat Kafarat Jumat Terakhir Ramadhan? Begini Cara Mengqodho Sholat yang Benar

Hukum Sholat Kafarat Jumat Terakhir Ramadhan? Begini Cara Mengqodho Sholat yang Benar

Gaya Hidup | inews | Jum'at, 28 Maret 2025 - 10:30
share

JAKARTA, iNews.id - Hukum sholat kafarat Jumat terakhir ramadhan penting diketahui umat Islam agar tidak salah dalam beribadah.

Shalat hukumnya wajib bagi tiap muslim yang sudah balig dan berakal. Mereka yang sengaja meninggalkan shalat jika masih diberi umur panjang sebaiknya segera mengerjakannya selagi masih memiliki kesempatan.

Sebab, salah satu amalan yang paling pertama dihisab kelak di akhirat nanti adalah shalat. Dalam Alquran, Allah SWT mengancam kepada orang-orang yang lali mengerjakan shalat sebagaimana firman-Nya dalam Surat Al Maun ayat 4-5:

فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ (4) الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ

Artinya: Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang salat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari salatnya. (QS. Al Ma'un ayat 4-5).

Dalam ayat ini, Allah mengancam bagi orang-orang yang tidak mengerjakan perintah-Nya dengan mengerjakan shalat. Maka binasa dan celakalah orang yang salat yang memiliki sifat-sifat tercela berikut. 

Yaitu orang-orang yang lalai terhadap salatnya, di antaranya dengan tidak memenuhi ketentuannya, mengerjakannya di luar waktunya, bermalas-malasan, dan lalai akan tujuan pelaksanaanya.

Orang yang sengaja meninggalkan shalat maka wajib hukumnya untuk mengganti atau mengqadha. Nah, ada sebagian pendapat yang membolehkan mengerjakan sholat kafarat di Jumat terakhir Ramadhan sebagai penubus sholat yang telah ditinggalkan. Namun, pendapat tersebut banyak ditentang karena tidak ada sandaran dalil yang jelas bahkan disebut sebagai bid'ah madzmumah atau perbuatan baru yang sangat dicela. Lantas, bagaimana hukum sholat kafarat? berikut ulasannya dilansir iNews.id dari laman Ponpes Tebuireng, Jombang.

Hukum Sholat Kafarat Jumat Terakhir Ramadhan

Sholat kafarat yang dikerjakan di Jumat terakhir Ramadhan jika diniatkan sebagai penebus sholat yang telah lama ditinggalkan selama satu tahun adalah haram menurut Jumhur ulama. 

Membicarakan shalat kafarat pastinya tak lepas dari sabda Nabi Muhammad yang berbunyi sebagai berikut

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم من فاتة صلاة فى عمرة ولم يحصها فليقم فى اخر جمعة من رمضان ويصلى اربع ركعات بتشهد واحد يقرا فى كل ركعة فاتحة الكتاب وسورة القدر خمسة عشر مرة وسورة الكوثر خمسة عشر مرة

Nabi Muhammad bersabda, “Barang siapa yang selama hidupnya pernah meninggalkan shalat tetapi tak dapat menghitung jumlahnya, maka shalatlah di hari Jum’at terakhir bulan Ramadhan sebanyak 4 rakaat dengan 1 kali tasyahud, dan setiap rakaat membaca 1 kali surat al Fatihah kemudian surat al Qadar 15 kali dan surat al Kautsar 15 kali.”

Selain itu terdapat redaksi lain dari perkataan Khalifah Abu Bakar as Sidiq yang berbunyi sebagai berikut:

قال ابو بكر سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول هذة الصلاة كفارة اربعمائة سنة حتى قال على كرم الله وجهه هي كفارة الف سنة قالوا يا رسول الله صلى الله عليه وسلم ابن ادم يعيش ستين سنة او مائة سنة فلمن تكون الصلاة الزائدة قال تكون لإبوية و زوجتة و لإولادة فأقاربة و اهل البلد.

Khalifah Abu Bakar as Sidiq berkata, “Saya telah mendengar Rasulullah SAW, beliau bersabda shalat tersebut sebagai kafarat (pengganti) shalat 400 tahun. Dan menurut Sayidina Ali ibn Abi Thalib shalat tersebut sebagai kafarat 1000 tahun. Maka bertanyalah para sahabat: “Umur manusia itu hanya 60 tahun atau 100 tahun, lalu untuk siapa kelebihannya?”. Rasulullah SAW menjawab, “Untuk kedua orang tuanya, untuk istrinya, untuk anaknya dan untuk sanak familinya serta orang-orang dilingkungannya.”

Hadis di atas ternyata adalah hadis maudhu’, yakni sebuah hadis yang disandarkan pada Nabi dengan kebohongan dan sebenarnya tidak ada keterkaitan sanad dengan Nabi. Selain itu pada hakikatnya itu bukanlah hadis. Hanya saja penyebutannya sebagai hadis memandang anggapan dari perawinya.

Ketika amalan ibadah bersumber dari hadis maudhu’, maka menurut para ulama hukumnya tidak boleh mengerjakan amalan tersebut. Berbeda ketika amalan yang bersumber dari hadis dha’if (lemah) maka masih diperbolehkan mengamalkan hanya sebatas fadhailul amal (keutamaan-keutamaan amal). Dalam kitab al Adzkar karya al Imam Nawawi hal 14 dikatakan, sebagai berikut:

“Sebaiknya seseorang yang mengetahui keutamaan-keutamaan amal (fadhoilul amal) melakukan hal tersebut walaupun hanya sekali saja agar termasuk dikatakan golongan amal tersebut. Dan tidak dianjurkan untuk meninggalkan amal tersebut, akan tetapi berusaha melakukan dengan semampunya, karena berdasarkan hadis Nabi SAW.”

Menurut golongan ulama hadis, ahli fikih dan ulama lainnya mengatakan: “Boleh dan disunnahkan melakukan amal yang bersumber dari hadis dhoif selama bukan hadis maudhu’ (hadis palsu).”

Direktur Aswaja Center PWNU Jatim, Ma’ruf Khozin menjelaskan, berdasarkan keterangan Habib Abu Bakar as Segaf bahwa shalat tersebut bukan shalat Kafarat, namun shalat Qadla’. Ini adalah amalan Sayid Syaikh Abu Bakar bin Salim yang dimakamkan di ‘Inat, daerah Hadlramaut Yaman. Beliau adalah pembesar wali dan sayyid di masanya. 

Namun shalat tersebut tidak boleh diniati sebagai pengganti shalat selama setahun, sebagaimana yang diharamkan oleh ulama Fikih. Para Sayyid (Habaib) hanya mengamalkannya dan menjadikannya sebagai kebiasaan di akhir Jumat bulan Ramadan karena untuk mengikuti beliau. Mereka menyesuaikan niat mereka dengan niat Sayyid Abu Bakar bin Salim yang bergelar Fakhr al-Wujud.

Pengarang kitab Sullamut Taufiq, Habib Husain bin Thahir ditanya oleh penduduk Hadlramaut tentang hal ini, beliau menjawab: “Kita taslim (menerima) terhadap amalan wali Allah. Dan kita niatkan seperti niat Sayyid Abu Bakar bin Salim. Tetapi para Habaib melarang mengajak orang-orang melakukan shalat ini di masjid, misalnya. Beliau-beliau mengamalkannya bersama keluarga di kediaman masing-masing. Khawatir ada kejanggalan dari sebagian orang.

Seumpama seperti itu adanya, yakni kemudahan mengqada shalat yang ditinggalkan dalam waktu yang lama cukup ditebus (kafarat) hanya dengan shalat sekali dalam setahun, maka dikhawatirkan yang akan terjadi kebanyakan orang islam dengan mudahnya meninggalkan kewajiban shalat 5 waktu setiap hari dengan alasan nanti cukup melakukan shalat kafarat saja. Syariat sudah mengajarkan bahwa apabila seseorang meninggalkan shalatnya baik itu disengaja ataupun tidak, maka dia berkewajiban mengganti (qada) dengan shalat di lain waktu sejumlah shalat yang ditinggalkannya.

Wajib Mengqodho Sholat

Direktur Rumah Fiqih Indonesia, Ahmad Sarwat MA menjelaskan, mengqadha shalat yang terlewat ini merupakan hal yang telah disepakati oleh seluruh ulama, tanpa kecuali. Dalam pelaksanaannya, shalat qadha ini mempunyai beberapa ketentuan dan aturan.

Dalil shalat qadha yakni hadits Nabi SAW:

مَنْ نَسِيَ صَلاَةً فَلْيُصَلِّ إِذَا ذَكَرَهَا، لاَ كَفَّارَةَ لَهَا إِلَّا ذَلِكَ {وَأَقِمِ الصَّلاَةَ لِذِكْرِي}

 “Siapa saja diantara lupa melaksanakan shalat, maka hendaklah ia mengerjakan shalat tersebut ketika ia ingat, tidak ada tebusan selain dengan melaksanakan shalat tersebut”. (HR Bukhori). 

Dalam riwayat lainnya, Imam Muslim meriwayatkan:

إذا رقد أحدكم عن الصلاة، أو غفل عنها، فليصلها إذا ذكرها

Artinya: Jika diantara kalain ada yang tertidur dari melaksanakan shalat, atau lalai (lupa) darinya, maka hendaklah dia mengerjakan shalatnya ketika dia ingat”

Cara Mengqodho Sholat yang Telah Lama Ditinggalkan

1. Sirr dan Jahr

Sholat qodho yang dikerjakan pada waktunya disunnahkan untuk dikeraskan (jahr) bacaannya seperti sholat qodho Maghrib, Isya' dan Subuh. Sedangkan bacaan pada shalat Dhuhur dan Ashar disunnah untuk dibaca secara lirih (sirr).

Jumhur ulama di antaranya Mazhab Al-Hanafiyah, All-Malikiyah dan Al-Hanabilah sepakat bahwa jahr dan sirr dalam urusan shalat qadha mengikuti waktu asalnya.

Jadi disunnahkan melirihkan bacaan pada qodho shalat Dzhuhur dan Ashar, meski keduanya diqadha' pada malam hari. Dan begitu juga sebaliknya, disunnahkan mengeraskan bacaan pada qadha shalat Maghrib, Isya' dan Shubuh, meski pun ketiganya dilakukan pada siang hari.

2. Tertib

Para ulama sepakat bahwa prinsipnya sholat qodho karena terlupa wajib dikerjakan begitu ingat, dan tidak boleh ditunda atau diselingi terlebih dahulu dengan melakukan shalat yang lain.

Para ulama juga sepakat bahwa bila seseorang terlewat dari beberapa waktu shalat dalam satu hari yang sama, maka cara menggantinya adalah dengan mengurutkan shalat-shalat itu berdasarkan waktu. 

Dasarnya adalah praktik yang dilakukan oleh Rasulullah SAW ketika terlewat empat waktu shalat dalam satu hari yang sama, beliau SAW mengqadha'nya sesuai urutannya, mulai dari qadha' shalat Dzhuhur, Ashar, Maghrib dan terakhir Isya'.

إِنَّ الْمُشْرِكِينَ شَغَلُوا رَسُولَ اللَّهِ  عَنْ أَرْبَعِ صَلَوَاتٍ يَوْمَ الْخَنْدَقِ حَتَّى ذَهَبَ مِنَ اللَّيْلِ مَا شَاءَ اللَّهُ فَأَمَرَ بِلاَلاً فَأَذَّنَ ثُمَّ أَقَامَ فَصَلَّى الظُّهْرَ ثُمَّ أَقَامَ فَصَلَّى الْعَصْرَ ثُمَّ أَقَامَ فَصَلَّى الْمَغْرِبَ ثُمَّ أَقَامَ فَصَلَّى الْعِشَاءَ

Dari Nafi’ dari Abi Ubaidah bin Abdillah, telah berkata Abdullah,”Sesungguhnya orang-orang musyrik telah menyibukkan Rasulullah SAW sehingga tidak bisa mengerjakan empat shalat ketika perang Khandaq hingga malam hari telah sangat gelap. Kemudian beliau SAW memerintahkan Bilal untuk melantunkan adzan diteruskan iqamah. Maka Rasulullah SAW mengerjakan shalat Dzuhur. Kemudian iqamah lagi dan beliau mengerjakan shalat Ashar. Kemudian iqamah lagi dan beliau mengerjakan shalat Maghrib. Dan kemudian iqamah lagi dan beliau mengerjakan shalat Isya.” (HR. At-Tirmizy dan AnNasa’i)

3. Adzan dan Iqamah

Jumhur ulama sepakat bahwa sholat qodha tetap disunnahkan untuk didahului dengan adzan dan iqamah. Namun bila shalat yang dikerjakan terdiri atas beberapa shalat sekaligus, cukup dengan satu kali adzan namun masing-masing shalat dipisahkan dengan iqamah yang berbeda.

Namun bila masing-masing sholat qodho itu dikerjakan dalam waktu yang terpisah, maka masing-masing disunnahkan untuk diawali dengan adzan dan iqamah.

4. Sholat Qodho Berjamaah

Para ulama sepakat bahwa sholat qodho boleh dilakukan dengan berjamaah, bahkan menjadi sunnah sebagaimana aslinya shalat lima waktu itu disunnahkan untuk dikerjakan dengan berjamaah.

Dasarnya adalah apa yang dilakukan oleh Rasulullah SAW ketika terlewat dari shalat.

وَنُودِيَ بِالصَّلاَةِ فَصَلَّى بِالنَّاسِ

Kemudian diserukan (adzan) untuk shalat dan beliau SAW mengimami orang-orang. (HR. Bukhari).

5. Waktu Pelaksanaan Sholat Qodho

Sebagian ulama mengatakan sholat qodho wajib dikerjakan sesegera mungkin, namun sebagian mengatakan boleh ditunda. 

Hal itu berdasarkan sabda Rasulullah SAW yang memerintahkan untuk segera melakukan shalat begitu ingat tanpa menunda-nundanya.

مَنْ نَسِيَ صَلاةً فَلْيُصَلِّ إِذَا ذَكَرَهَا

Dari Anas bin Malik dari Nabi SAW bersabda,”Siapa yang terlupa shalat, maka lakukan shalat ketika ia ingat (HR. Bukhari)

Sedangkan mazhab Asy-Syafi'iyah menyebutkan bahwa seseorang yang tertinggal dari mengerjakan shalat, wajib atasnya untuk mengganti shalatnya. Namun tidak diharuskan untuk dikerjakan sesegera mungkin, apabila udzur dari terlewatnya shalat itu diterima secara syar'i. Dalam hal ini kewajiban qadha' shalat itu bersifat tarakhi (تراخي).

Demikian penjelasan mengenai hukum sholat kafarat Jumat terakhir Ramadhan dan cara mengqodho sholat yang telam lama ditinggalkan lengkap dengan bacaan niat dan langkah-langkahnya.

Wallahu A'lam.

Topik Menarik