Masjid Tiban Gunungkidul: Masjid Mistis Peninggalan Murid Sunan Pandanaran
Masjid Tiban di Gunungkidul punya banyak kisah mistis. Masjid misterius yang konon sudah ada sejak ratusan tahun lalu itu seringkali dijadikan jujugan orang yang punya hajat.
***
Sudah lama saya mendengar cerita tentang Masjid Tiban yang ada di Dusun Gambarsari, Kelurahan Jurangjero, Kecamatan Ngawen, Gunungkidul. Akhirnya, Minggu (20/2/2022) pukul 12.30 WIB, saya berkesempatan mengunjungi masjid legendaris yang berada di wilayah paling utara Kabupaten Gunungkidul itu.
Kelurahan Jurangjero sendiri berada sekitar 27 km dari pusat Kota Wonosari. Wilayahnya berbatasan langsung dengan Kabupaten Klaten. Akses jalan menuju Masjid Tiban cenderung sulit dilalui kendaraan roda empat. Banyaknya tanjakan berlubang dan berliku tajam, disarankan jika menuju lokasi ini menggunakan roda dua.
Mengingat wilayah ini berada di kawasan perbukitan, dari atas saya bisa melihat langsung panorama alam yang di kelilingi perbukitan hijau. Berbeda dengan beberapa wilayah Gunungkidul yang gersang, tanah di Kalurahan Jurangjero ini cukup subur karena banyak aliran air.
Big Ekuinok
Setiba di Dusun Gambarsari, saya diantarkan oleh salah seorang warga ke rumah juru kunci Masjid Tiban, Manto Suwiknyo (80). Lokasi Masjid Tiban sendiri berada di belakang pekarangan rumah Mbah Manto Suwiknyo.
Tidak seperti bentuk bangunan masjid lainnya, Masjid Tiban ini seperti rumah panggung, yang sekilas mirip dengan Honai, rumah adat Papua. Dinding masjid tersebut menggunakan anyaman bambu ( gedhek ) dengan empat tiang penyangga dari kayu jati, serta memiliki atap berupa daun ilalang.
Masjid yang memiliki ukuran sekitar 4x4 meter itu, di dalamnya terdapat beberapa kaligrafi yang digantungkan pada dinding. Sedangkan alasnya berupa karpet berwarna hijau lengkap dengan beberapa perlengkapan salat, seperti sajadah, mukena, dan sarung.
Sementara itu, di depan masjid ada sebuah padasan (tempat wudhu terbuat dari tanah liat) yang pinggirnya sudah pecah. Di bawah padasan terdapat genteng yang biasa digunakan untuk membakar kemenyan.
Saat ini, penjaga atau juru kunci Masjid Tiban dipegang oleh Mbah Manto Suwiknyo (80). Pria yang akrab disapa Mbah Manto itu mengaku sudah ada beberapa generasi sebelumnya yang menjaga Masjid Tiban. Namun, Mbah Manto hanya mengingat dua nama pendahulunya, yaitu Mbah Kerto Rejo dan Mbah Patmo Sunaryo.
Asal usul masjid
Terdapat beberapa versi mengenai asal usul Masjid Tiban. Menurut Mbah Manto, masjid ini sudah ada sejak Kerajaan Majapahit runtuh atau sudah berusia ratusan tahun. Dinamakan Masjid Tiban atau Langgar Bale Kembang karena tidak diketahui siapa yang membangun dan meletakkan masjid ini di Dusun Gambarsari. Dalam bahasa Jawa, kata tiban memiliki arti jatuh secara tiba-tiba, sehingga masyarakat setempat menyebutnya sebagai Masjid Tiban.
Rikolo semono wonten wali sing krungu jago kluruk unine melung. Pendake bangun, digoleki para wali, lha ketemu teng pucuk menthuk niku (zaman dahulu ada wali yang mendengar ayam jantan berkokok, terus keesokan harinya dicari para wali, nah ketemu di pucuk Gunung Menthuk itu, jelas Mbah Manto.
Saat menjelasakan sejarah Masjid Tiban, Mbah Mento kerap menggunakan basa sanepan (bahasa kiasan). Setelah saya bertanya lebih jauh, ternyata jago kluruk atau ayam jantan berkokok yang dimaksud, diartikan sebagai seorang laki-laki, sedangkan suara jago melung adalah suara seorang lelaki yang mengumandangkan azan dengan suara indah dan merdu.
Menurut Mbah Manto, dulunya ada salah seorang wali yang mendengar suara azan dan orang salat di tanah Jawa dari Mekkah. Karena terdengar sangat merdu dan indah, lantas wali tersebut mencari sumber suara. Setelah upaya pencarian dilakukan, para wali itu menemukan masjid beratap tanaman alang-alang di atas Gunung Menthuk, yang lokasinya tidak jauh dari keberadaan Masjid Tiban sekarang.
Terus, wali kui nggetak nganggo tangan jago kluruk, nah masjid kui tibo ning kene, sing saiki diarani Masjid Tiban (Kemudian sang wali menghentakan kedua tangan ayam jantan berkokok itu (laki-laki yang sedang azan Subuh), kemudian masjid tersebut jatuh ke sini, yang sekarang dinamakan Masjid Tiban), tambah Mbah Manto.
Dongenge, riyin niku masjid niki wonten ing pucuk Gunung Menthuk mriko, sing mindah mriki niku mboten wonten sing ngerti. Simbah buyut nggih mboten ngerti, mbuh jin nopo manungso, sing jelas ujug-ujug sampun wonten mriki (Ceritanya, dulu masjid ini berada di pucuk Gunung Menthuk, tidak ada yang tau siapa yang memindahkan. Simbah buyut saya juga tidak tau, tiba-tiba aja di sini), lanjutnya.
Sementara itu, versi lain menceritakan bahwa dulunya masjid ini dibangun pada masa Sunan Pandanaran atau Sunan Bayat. Konon, ada seorang murid dari Sunan Bayat bernamaKyai Amat Metaram yang melakukan kesalahan saat menjadi imam Salat. Melihat muridnya melakukan kesalahan, kemudian Kyai Amat Metaram dihukum dengan cara jarinya dimasukkan ke dalam cairan berwarna hitam.
Menurut salah sesorang sesepuh Dusun Gambarsari, Adi Prayitno (69), konon Kyai Amat Metaram diperintah oleh Sunan Bayat agar menempati sebuah wilayah di sebalah timur Dusun Gambarsari yang bernama Wonosari. Sebelum pergi, Sunan Bayat memberinya bekal gentong padasan (tempat wudhu) dan diberi pesan agar nantinya jika mengumandangkan azan jangan sampai terdengar dari wilayah Bayat, Klaten.
Setelah sampai tujuan, terus Kyai Amat Metaram ketemu sama Kyai Gambarsari. Mereka lalu membangun Langgar Bale Kembang, yang sekarang dikenal Masjid Tiban ini di atas Gunung Menthuk, tutur Adi Prayitno, Minggu (20/2/2022).
Pria yang akrab disapa Mbah Adi menceritakan, suatu hari Kyai Amat Metaram mengumandangkan azan di atas bukit tersebut, lalu suaranya sampai ke Bayat. Karena melanggar arahan Sunan Bayat, akhirnya masjid yang semula berada di puncak Gunung Munthuk, berpindah atau jatuh sejauh sekitar 250 meter, di lokasi saat ini.
Kisah padasan
Sampai saat ini, bentuk bangunan Masjid Tiban masih sama seperti sediakala. Meski beberapa kali tiang penyangga harus diganti karena sudah lapuk, tetapi tiang asli masih tetap ditempelkan pada tiyang yang baru. Untuk atapnya, biasanya warga bergotong royong mengganti dengan ilalang baru minimal lima tahun sekali.
Sementara itu, di depan Masjid Tiban ada sebuah gentong padasan , yang dulunya dipakai untuk berwudhu. Gentong yang memiliki ukuran sekitar 30 cm itu, menjadi salah satu benda peninggalan sejak Masjid Tiban berdiri. Namun, padasan itu sudah tidak utuh, di bagian sampingnya sudah pecah.
Menurut Mbah Manto, padasan yang ada di depan masjid itu sudah lama tidak diisi air dan sudah tidak digunakan lagi untuk berwudhu. Meski begitu, di bawah padasan itu kerap digunakan untuk meletakkan sesaji dan membakar kemenyan jika ada orang yang memiliki permintaan atau permohonan tertentu.
Melihat kondisi padasan yang sudah tidak layak digunakan, lima tahun yang lalu Mbah Manto pernah membelikan padasan baru dengan ukuran dan bentuk yang sama. Namun, upaya tersebut selalu gagal. Pasalnya, setiap kali dibelikan padasan baru, benda itu selalu hilang. Konon, penunggu masjid tersebut tidak ingin ada padasan baru di sekeliling masjid.
Sing bahureksa mboten purun onten padasan enggal. Biasane lak kula taren, nek mboten purun disukani padasan, iki buangen sing adoh seka kene. Jebul isuke ilang, pun mboten enten (penunggu di sini tidak mau ada tempat wudhu baru. Saya kan kasih pilihan, misal tidak mau dikasih padasan baru, buang saja. Eh, keesokan harinya padasan baru itu sudah tidak ada, berarti tidak berkenan), ungkap Mbah Manto.
Mbah Manto menambahkan, banyak sekali kejadian mistis terkait dengan padasan peninggalan itu. Konon, dulu ada warga yang mencuri padasan kuno itu, lalu dibawa ke rumahnya. Saat hendak digunakan untuk berwudhu, tiba-tiba padasan itu menghilang dan kembali lagi ke Masjid Tiban. Saat itu, tidak ada satu orang pun yang tahu siapa yang memindahkan tempat wudhu itu.
Selain itu, ada juga cerita mengenai salah seorang warga yang berusaha ingin mengambil tempat wudhu itu, tetapi tidak kuat mengangkatnya karena bebannya sangat berat. Menurut Mbah Manto, bagian padasan yang pecah itu juga gegara dijatuhkan oleh orang yang berniat ingin mengambilnya.
Tidak hanya berniat ingin memperbarui padasan , simbah buyut Mbah Manto, Kerto Rejo, dulunya juga ingin mengganti atapnya dengan genteng. Sama seperti yang dilakukan Mbah Manto, Mbah Kerto Rejo juga mencoba meletakkan dua genteng terlebih dahulu di atap masjid itu pada waktu sore hari, tetapi keesokan harinya genteng tersebut sudah hilang. Hal ini menandakan bahwa Masjid Tiban tidak mau diberi atap berupa genteng.
Tradisi masjid
Di samping Masjid Tiban, sekitar 200 meter, ada mata air yang mengalir bernama Sendang Kurya. Mata air yang berada di tanah berbatu ini, masih ada kaitannya dengan Masjid Tiban. Konon, tempat ini dulunya digunakan oleh para wali berwudhu sebelum salat di Masjid Tiban.
Mbah Manto menceritakan, bahwa Sendang Kurya sendiri juga ditemukan oleh dua orang wali yang menemukan Masjid Tiban. Konon,saat hendak pergi, salah seorang wali tersebut merasa haus, kemudian sang guru menancapkan tongkatnya di tanah berbatu itu, lalu keluar mata air.
Sambil memeragakan kedatangan dua wali tersebut, Mbah Manto menjelaskan makna di balik nama Sendang Kurya. Menurutnya, Sendang diartikan sebagai mata air dari pegunungan. Sementara itu, Kuryo sendiri singkatan dari mungkur metu toya (hendak pergi muncul air).
Kini, tempat tersebut digunakan untuk mengaliri sawah-sawah di sekelilingnya. Saat saya menyusuri Sendang Kuryo, terlihat beberapa pipa kecil yang dialirkan ke sawah. Selain itu, biasanya ketika ada orang yang hendak meminta permohonan atau memiliki hajat tertentu, Mbah Manto mengambil air tersebut untuk kemudian ditembusi unen-unen (didoakan) di dalam masjid.
Umpamane enten tiyang sakit, kula pendetke toyo wonten Sendang Kuryo niku. Kula dekeke mriki, mengko gek dijawab, terus diobongke menyan (Seumpama ada orang yang sakit, saya ambilkan air dari Sendang Kuryo itu. Saya taruh di sini, saya doakan sambil bakar kemenyan), ucap Mbah Manto.
Tidak sedikit orang yang berkunjung ke masjid ini dengan niat tertentu, seperti memohon agar usahanya lancar, meminta kenaikan pangkat, hingga orang yang ingin mencalonkan diri sebagai abdi negara. Biasanya, mereka datang dengan membawa sesaji atau syarat tertentu sesuai rekomendasi sang juru kunci.
Salah satu sesaji khusus yang biasa dibawa orang yang hendak meminta sesuatu adalah ayam panggang. Nantinya, ayam panggang itu akan disandingkan dengan beberapa sesaji lain, seperti tumpeng, kembang setangkep, lalu dibakarkan kemenyan.
Lha kula niku namung ngelaksanani ngendikanipun simbah, nalika semono ngendika seumpama ono wong njaluk pitulung, yo gek tulungono sak isa-isane, wong kabeh ki mung titipane Pangeran Kang Maha Kuasa (saya hanya melaksanakan pesan dari simbah, dulu pernah bilang semisal ada orang minta tolong, berikan pertolongan sebisanya. Semua hanya titipan Tuhan Yang Maha Kuasa), tutur Mbah Manto.
Di samping itu, masjid ini juga sering dijadikan upacara adat oleh warga, salah satunya tradisi Kondangan Apem. Tradisi ini biasanya dilaksanakan pada hari terakhir puasa Ramadan atau malam Hari Raya Idul Fitri. Nantinya, warga Dusun Gambarsari yang saat ini berjumlah 72 Kepala Keluarga itu akan membawa apem goreng yang ditaruh dalam besek, kemudian didoakan secara bersama-sama di dalam Masjid Tiban.
Menurut Mbah Manto, tradisi Kondangan Apem sendiri sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Dalam tradisi masyarakat Jawa, apem kerap dijadikan simbol permohonan ampun atas segala kesalahan. Konon, kata apem sendiri diambil dari istilah afuan atau afuwwun (permohonan ampunan), kemudian orang Jawa menyebutnya apem.
Pokoe kula niku mung dipasrahi simbah, supaya adat lan tradisi ning Masjid Tiban niki tetep lestantun. Jenenge wong Jowo, yo aja ngasi ilang Jawane, lak nggih ngoten to, Mas? (Pokoknya saya ini hanya dititipi simbah, supaya adat dan tradisi di Masjid Tiban ini tetap lestari. Namanya juga orang Jawa, ya jangan sampai hilang Jawanya, bukankah begitu, Mas?), pungkas Mbah Manto mengakhiri percakapan.
Reporter: Jevi Adhi Nugraha
Editor: Purnawan Setyo Adi