Kenapa Debt Collector Disebut Mata Elang?
JAKARTA - Kenapa debt collector disebut mata elang? Debt Collector atau penagih utang seringkali disebut sebagai mata elang, karena kemampuannya yang dapat mengamati kendaraan debitur yang menunggak cicilan hanya dengan melihat plat nomornya.
"Mata elang" umumnya adalah pekerja pihak ketiga yang diupah oleh perusahaan pembiayaan atau bank untuk melacak dan menemukan kendaraan nasabar atau debitur yang menunggak pembayaran cicilan dan sulit dihubungi, yang kemudian kendaraan tersebut akan diambil secara paksa.
Pemerintah melalui peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 35/POJK.05/2018 tentang penyelenggaraan usaha perusahaan pembiayaan mengizinkan perusahaan pembiayaan menggunakan pihak ketiga untuk melakukan penagihan. Namun, perusahaan pembiayaan wajib melakukan evaluasi dan pengawasan terhadap kebijakan dan prosedur penagihan oleh pihak ketiga.
Debt collector atau mata elang memiliki citra negatif di masyarakat, karena selain melakukan penarikan kendaraan secara paksa, mereka juga sering melakukan tindakan kekerasan dan ancaman yang melanggar standar operasional.
Akibatnya, Mahkamah Konstitusi mengeluarkan putusan Nomor 18/PUU-XVII/2019 yang menyatakan bahwa perusahaan leasing tidak boleh sembarangan menarik atau menyita kendaraan nasabah, meskipun nasabah tersebut gagal melakukan pembayaran.
1. Dasar Hukum Debt Collector
Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan bahwa Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 mengizinkan perusahaan pembiayaan atau leasing untuk menarik kendaraan dari debitor yang mengalami keterlambatan pembayaran kredit. Ketentuan ini tercantum dalam pasal 15 ayat 2 dan 3 mengenai jaminan fidusia.
Ayat 2 menegaskan bahwa sertifikat jaminan fidusia memiliki kekuatan hukum yang sama dengan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Selanjutnya, ayat 3 menjelaskan bahwa jika debitur gagal memenuhi kewajiban, penerima fidusia berhak menjual objek jaminan fidusia atas inisiatif sendiri.
Namun, ketentuan ini dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Oleh karena itu, semua mekanisme dan prosedur penarikan harus mengikuti putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.
2. Perjanjian Fidusia
Perjanjian fidusia adalah kesepakatan antara kreditur dan debitur yang melibatkan jaminan, di mana jaminan tersebut tetap berada di bawah pengawasan pemilik jaminan. Perjanjian ini dibuat secara resmi melalui akta notaris dan didaftarkan di kantor pendaftaran fidusia.
Akan tetapi, pemberi kredit sering menghadapi kendala, yaitu biaya pendaftaran fidusia yang cukup tinggi, bisa mencapai Rp1 juta per kendaraan. Akibatnya, perjanjian fidusia sering tidak dilakukan dan hanya berupa perjanjian informal.
Dengan alasan ini, perusahaan leasing sering memilih menggunakan jasa mata elang untuk menangani nasabah yang menunggak pembayaran, agar kendaraan mereka dapat ditarik kembali.
Mata elang ini biasanya terlihat di pinggir jalan, dengan menggunakan buku dan ponsel untuk melacak kendaraan bermasalah. Mereka biasanya terdiri dari empat hingga enam orang yang mengawasi pergerakan kendaraan.