Desa Tanpa Jalan, Hidup Tanpa Identitas: Kisah Turiyah Terjebak di Tengah Krisis Iklim

Desa Tanpa Jalan, Hidup Tanpa Identitas: Kisah Turiyah Terjebak di Tengah Krisis Iklim

Nasional | demak.inews.id | Sabtu, 22 Maret 2025 - 08:20
share

DEMAK, iNEWSDEMAK.ID – Di tengah desa yang perlahan tenggelam akibat krisis iklim, seorang perempuan penyandang disabilitas bernama Turiyah (39) menjalani hidupnya dengan penuh keterbatasan. Sejak menderita kelumpuhan akibat kecelakaan pada 2009, ia tak lagi bisa berjalan.

Ketika Dukuh Timbulsloko, Desa Timbulsloko, Kecamatan Sayung, Kabupaten Demak, tempat tinggalnya, mulai tenggelam pada 2010 akibat banjir rob, keterbatasannya semakin terasa. Turiyah bahkan tak pernah keluar dari kamarnya selama bertahun-tahun. 

Tidak adanya akses jalan yang layak membuatnya benar-benar terisolasi. Menggunakan kursi roda pun mustahil karena seluruh jalanan terendam air. Dengan kondisi seperti ini, satu-satunya cara bagi Turiyah untuk bertahan hidup adalah berdagang dari dalam kamar. Dari atas tempat tidurnya, ia berjualan kebutuhan rumah tangga kepada warga sekitar yang masih bisa datang ke rumahnya. 

 

Turiyah bukan hanya terkurung oleh kondisi geografis desanya, tetapi juga oleh keterbatasan administrasi. Ia belum memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP) elektronik karena tidak bisa mengurusnya sendiri. Keterbatasan mobilitas serta minimnya perhatian pemerintah selama bertahun-tahun membuatnya tak terdata sebagai warga negara yang memiliki hak-hak dasar. 

Masnuah, Ketua Puspita Bahari, mengungkapkan bahwa kasus Turiyah menjadi salah satu temuan dalam kajian krisis iklim dan kekerasan berbasis gender di daerah pesisir, khususnya di desa-desa yang tenggelam. 

"Dari kajian ini, kami menemukan sosok Turiyah dan Agus Priyanto (45), kawan-kawan disabilitas yang terjebak dan butuh dukungan komprehensif dari pemerintah daerah. Bukan hanya bantuan sembako, tetapi juga akses jalan, kesehatan, dan pengakuan identitas mereka sebagai warga negara," jelas Masnuah. 

 

Setelah bertahun-tahun hidup tanpa identitas resmi, akhirnya ada langkah nyata untuk membantu Turiyah. Puspita Bahari bersama Komnas Perempuan mengadvokasi agar Dukcapil Kabupaten Demak turun langsung ke Dukuh Timbulsloko untuk melakukan perekaman KTP bagi penyandang disabilitas. 

"Komnas Perempuan mendukung upaya Puspita Bahari yang mengkomunikasikan kebutuhan perempuan penyandang disabilitas atas identitas dan akses terhadap bantuan ini. Kami mengapresiasi langkah Dukcapil Demak yang responsif dengan mendatangi dusun Timbulsloko untuk perekaman KTP," ujar Siti Aminah Tardi, Komisioner Komnas Perempuan. 

Pada 18 Maret 2025, petugas Dukcapil akhirnya datang ke rumah Turiyah dan melakukan perekaman E-KTP di tempat. Langkah ini menjadi harapan baru bagi Turiyah untuk memperoleh hak-haknya sebagai warga negara. 

Selain mendapatkan e-KTP, Turiyah juga menerima bantuan sosial berupa Usaha Ekonomi Produktif (UEP) dari Dinas Sosial P2PA Kabupaten Demak. Bantuan ini diberikan setiap tiga bulan sekali dengan nominal Rp1.100.000. Meski begitu, jumlah ini masih jauh dari cukup untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari, terutama karena keterbatasannya membuatnya sulit mencari penghasilan tambahan. 

Puspita Bahari menekankan bahwa masih banyak pekerjaan rumah bagi pemerintah daerah dalam mendata masyarakat rentan seperti lansia, disabilitas, perempuan, dan anak-anak. 

"Sayangnya, hingga kini tidak ada pendataan yang terpilah dengan jelas. Akibatnya, kelompok rentan sering kali tidak mendapatkan hak dasar seperti kesehatan dan pendidikan. Ini butuh komitmen tinggi dari berbagai pihak," ujar Masnuah. 

 

Turiyah bukan satu-satunya yang mengalami kesulitan akibat tenggelamnya Dukuh Timbulsloko. Perempuan nelayan di daerah ini juga harus menghadapi beban ganda. Selain kehilangan akses dan sumber mata pencaharian, mereka juga harus berjuang sendiri untuk menyesuaikan rumah mereka dengan kondisi lingkungan yang terus berubah. 

Banjir rob yang semakin tinggi memaksa warga untuk meninggikan rumah mereka setiap tahun agar tetap bisa dihuni. Beban ini menjadi semakin berat bagi perempuan yang harus bekerja lebih keras demi keberlangsungan hidup keluarga mereka. 

Puspita Bahari dan Komnas Perempuan berharap agar ada kebijakan yang lebih inklusif untuk kelompok rentan yang terdampak krisis iklim, terutama bagi perempuan, lansia, dan penyandang disabilitas. 

Meski akhirnya mendapatkan identitas resmi, perjalanan Turiyah masih panjang. Ia masih menghadapi keterbatasan dalam mobilitas dan akses ekonomi. Namun, setidaknya langkah awal sudah diambil dengan pengakuan dirinya sebagai warga negara yang sah. 

Kisah Turiyah adalah gambaran nyata bagaimana krisis iklim dan ketidakadilan sosial bisa membuat seseorang terjebak dalam keterbatasan yang berkepanjangan. Diperlukan kerja sama yang lebih luas dari pemerintah, organisasi sosial, dan masyarakat agar tidak ada lagi warga yang terpinggirkan seperti dirinya.

Topik Menarik