Kenapa Amerika Selalu Ikut Campur Urusan Negara Lain? Ini Penjelasan Para Pakar

Kenapa Amerika Selalu Ikut Campur Urusan Negara Lain? Ini Penjelasan Para Pakar

Berita Utama | inews | Jum'at, 6 September 2024 - 17:16
share

JAKARTA, iNews.id - Mengapa Amerika selalu ikut campur urusan negara lain? Pertanyaan itu sering dilontarkan jika ada konflik-konflik besar di dunia, sebut saja perang Israel-Hamas, perang Rusia-Ukraina, konflik China-Taiwan, dan lainnya.

Ada peran Amerika Serikat (AS) di setiap konflik-konflik tersebut. Dalam konflik Israel-Hamas, di satu sisi, AS menjadi sponsor utama Israel dalam persenjataan. Di sisi lain, Negeri Paman Sam memainkan peran sebagai juru damai yang sampai saat ini juga belum menunjukkan hasil. 

Seorang pengamat politik AS Mendiang Robert Jervis bahkan mengungkap istilah 'Intervention is as American as apple pie' di pembukaan bukunya berjudul 'The New American Interventionism'. Arti istilah tersebut kira-kira, intervensi sudah menjadi tipikal orang Amerika.

Jervis menulis kalimat itu 25 tahun lalu, namun masih berlaku hingga saat ini. Pernyataan itu menyentuh inti kebijakan luar negeri AS, mencirikan campur tangan dalam urusan dalam negeri negara lain, bahkan sampai menumbangkan pemerintahan dengan tujuan akhir mengamankan hegemoni.

Menurut Jervis, seperti dilaporkan kembali Xinhua, kebijakan luar negeri intervensionis seperti itu menimbulkan kesengsaraan dan kengerian di seluruh dunia. Bahkan membahayakan perdamaian dan stabilitas global.

Dia menjelaskan dalam buku tersebut, intervensi pertama yang dilakukan AS terjadi pada 1805. Seorang perwira militer AS yang juga konsul diplomatik William Eaton, bersekutu dengan Hamet Karamanli, saudara dari penguasa (Pasha) Tripolitania (sekarang Libya), Yusuf Karamanli. 

Dia bersama pasukannya menyerang Derna dangan mudah merebut Kota Tripolitania dengan bantuan tiga kapal perang AS memaksa Yusuf menyerahkan jabatannya.

Insiden tersebut dipandang oleh banyak pakar sebagai upaya pertama AS untuk melakukan kudeta di pemerintahan asing melalui intervensi militer.

Sejak saat itu, AS melancarkan lebih banyak intrusi militer berdarah ke luar negeri, sering kali menyerbu suatu negara dan melancarkan serangan mematikan hingga target dilanda kekacauan dan pemerintahannya digulingkan.

Dari akhir Perang Dunia II hingga 2001, AS telah memulai 201 konflik bersenjata di 153 lokasi, mencakup lebih dari 80 persen dari total perang yang terjadi di seluruh dunia pada saat itu. Sejak 2001, AS dan sekutunya telah menjatuhkan sekitar rata-rata 46 bom di negara lain setiap hari.

Perang-perang tersebut, yang sebagian besar mengatasnamakan demokrasi, kebebasan, dan hak asasi manusia (HAM), justru merupakan campur tangan dalam urusan dalam negeri negara lain, yang mengakibatkan kematian dan kehancuran di Timur Tengah, Amerika Latin, dan Eropa Timur.

Pasukan NATO yang dipimpin AS melancarkan serangan udara terus-menerus selama 78 hari terhadap Yugoslavia. Hasilnya lebih dari 8.000 warga sipil tewas atau terluka dan hampir 1 juta orang mengungsi.

Perang yang dilancarkan AS di Afghanistan menewaskan sekitar 50.000 warga sipil Afghanistan dari tahun 2001 hingga pertengahan April 2020 dan menyebabkan sekitar 11 juta orang menjadi pengungsi. Selain itu pertumpahan darah selama bertahun-tahun telah menewaskan lebih dari 200.000 warga sipil Irak dan menyeret Libya ke dalam kekacauan lebih besar.

Mantan Presiden AS Jimmy Carter pada 2019 mengatakan, AS adalah negara yang paling suka berperang dalam sejarah dunia. Dia juga mengatakan negaranya hanya menikmati 16 tahun perdamaian dalam 242 tahun sejarahnya.

Lantas kenapa Amerika selalu ikut campur urusan negara lain?

Dalam Journal of Conflict Resolution berjudul 'Introducing the Military Intervention Project: A New Dataset on US Military Interventions, 1776–2019' dijelaskan, tujuan umum AS ikut campur atau mengintervensi negara lain bisa dimaknai negatif hingga positif, yaitu:

  1. Peluang ekonomi
  2. Perlindungan sosial
  3. Melindungi warga negara dan diplomat AS
  4. Perluasan wilayah
  5. Mendorong perubahan rezim
  6. Membangun negara
  7. Penegakan hukum internasional.

Ada dua ideologi dominan di AS tentang kebijakan luar negeri, yakni intervensionisme yang mendorong intervensi militer dan politik ke negara lain dan isolasionisme, untuk menghambat kemajuan negara tersebut.

Pada Abad ke-19 AS melakukan intervensi terhadap negara lain, sebagian besar tujuannya didorong oleh peluang ekonomi di Pasifik dan Amerika Latin yang saat itu dikuasai Spanyol. Kemudian pada abad ke-20 intervensi AS terlihat dalam Perang Dunia I dan II. Pasukan AS bertempur bersama negara sekutu dalam kampanye internasional melawan Kekaisaran Jepang dan Nazi Jerman, berserta sekutu masing-masing. 

Perang Dunia II berdampak pada kebijakan luar negeri yang mengekang, bertujuan untuk mencegah penyebaran komunisme dunia. 

Perang Dingin yang terjadi setelah itu menghasilkan Doktrin Truman, Eisenhower, Kennedy, Carter, dan Reagan. Semuanya menyaksikan keterlibatan AS dalam spionase, pergantian rezim, perang proksi, serta aktivitas rahasia lain guna melawan rezim boneka Soviet.

Daniel Kovalik, seorang pakar HAM internasional dari Universitas Pittsburgh, menjelaskan AS menggunakan HAM sebagai alat gebuk. Padahal bukan itu yang dikejar AS, melainkan kepentingan ekonomi dan strategis AS.

Senada dengan Kovalic, pengamat asal Turki, Tunc Akkoc, menyebut demokrasi juga menjadi alat gebuk lainnya.

"Wacana tentang demokrasi adalah alat tekan AS terhadap negara-negara. Setiap wilayah yang mereka invasi hancur total baik secara fisik maupun spiritual karena mereka membuat tetangga saling bermusuhan," kata Akkoc.

Namun agresi militer langsung bukan satu-satunya cara AS. Negara itu juga menggunakan rayuan ekonomi, sanksi keuangan, infiltrasi budaya, hasutan untuk melakukan kerusuhan, manipulasi pemilu, dan tipu muslihat lain. Tujuan tersembunyinya menumbangkan negara-negara yang bermusuhan secara ideologis. Tindakan itu bahkan diakui mantan Penasihat Keamanan Nasional AS John Bolton dalam wawancara dengan CNN. 

Mantan anggota DPR AS dari Iowa, Greg Cusack, menggambarkan kebijakan luar negeri negaranya. Sejak awal berdirinya, lanjut Cusack, AS telah membentuk budaya pembajakan yang menganjurkan penjarahan dan penaklukan. 

Kemudian, setelah berakhirnya Perang Dingin yang ditandai dengan kemenangan Barat, AS menjadi satu-satunya negara adikuasa di dunia. Pada posisi itu AS melihat kesempatan langka untuk membentuk kembali dunia sesuai keinginannya dan berkuasa penuh atau unipolar.

Namun momen unipolar AS hanya berumur pendek dan bergeser ke multipolar setelah kebangkitan dunia timur sosialis yang dimotori Rusia. AS pun khawatir supremasi globalnya bisa melemah. Oleh karena itu, AS akan terus berusaha memperkuat cengkeramannya.

Topik Menarik