2 Sopir Divonis 1 Tahun 4 Bulan Penjara karena Bawa Satwa Dilindungi, LBH Ansor Ajukan Banding
JAKARTA, iNewsBekasi.id- Lembaga Bantuan Hukum (LBH) PP Gerakan Pemuda Ansor mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta terkait vonis dua terdakwa dalam kasus penyelundupan satwa dilindungi. Kedua terdakwa yakni, RN dan MH divonis 1 tahun 4 bulan penjara oleh Majelis Hakim PN Jakarta Barat.
Memori banding terdakwa RN dan MH telah diterima Panitera Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, Iyus Yusuf pada 2 Desember 2024. Penasihat hukum RN dan MH, Fendy Ariyanto mengatakan, pihaknya keberatan dengan putusan yang dijatuhkan Majelis Hakim terhadap dua kliennya tersebut pada 19 November 2024.
Dalam putusannya, Majelis Hakim menyatakan RN dan MH yang meruakan sopir travel tersebut terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana turut serta mengangkut satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup.
"Berdasarkan keterangan saksi, ahli, dan pengakuan para terdakwa, tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa mereka dengan sengaja melakukan penyelundupan," kata Fendy dalam keterangannya pada Jumat (6/12/2024).
Fendy berpendapat kedua kliennya seharusnya tidak dapat dikenakan pertanggungjawaban pidana atas tindak pidana yang diatur dalam Pasal 21 ayat (2) huruf a Jo Pasal 40 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
Dia melanjutkan, para terdakwa bukanlah pelaku utama dalam kasus ini, dan tidak terbukti memiliki hubungan langsung dengan penjual atau pembeli. Selain itu, para terdakwa tidak memiliki niat jahat atau permufakatan jahat dalam tindakannya, baik secara subjektif maupun objektif.
Fendy menilai Majelis Hakim tidak mempertimbangkan fakta-fakta dan analisis yuridis yang disampaikan, serta bantahan dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum.
Sekretaris LBH Ansor Taufik Hidayat menuturkan, pernyataan saksi ahli pidana Albert Aries sebagai dasar pihaknya mengajukan banding. Albert Aries berpendapat jika tidak dapat membuktikan adanya kesengajaan niat, tujuan serta permufakatan jahat dari terdakwa, terdakwa tidak dapat dikenai pertanggungjawaban pidana.
"Saksi ahli secara rinci menyampaikan bahwa jika dalam perkara a quo terdapat kesesatan fakta. Terdakwa benar-benar tidak mengetahui jika seekor hewan yang dibawa merupakan hewan yang dilindungi,” tegasnya.
Bahkan, saksi ahli telah memberikan pandangan bahwa tidak ditemukan niat jahat dan permufakatan jahat antara terdakwa dengan pelaku utama. Sehinga, dalam perkara a quo, berlaku asas ignorantia facti excusat yaitu ketidaktahuan terhadap fakta menjadi alasan atau dasar penghapus pidana.
“Setiap tindakan yang dilakukan dan disetujui atas dasar kesesatan fakta (error factie) dapat dimaafkan dan tidak boleh dipidana,” ucapnya.