Masyarakat Amanuban Korban Perampasan Hutan oleh Pemerintah Temui DPRD TTS

Masyarakat Amanuban Korban Perampasan Hutan oleh Pemerintah Temui DPRD TTS

Terkini | ttu.inews.id | Selasa, 17 Desember 2024 - 10:50
share

SOE,iNewsTTU.id- Menindaklanjuti aksi demo pada 10 Desember 2024 lalu, oleh pihak Persekutuan Masyarakat Hukum Adat Amanuban dan Aliansi Timor Raya, akhirnya pihak DPRD memberikan undangan untuk masyarakat Amanuban dan Aliansi dapat menyampaikan aspirasi di hadapan Komisi I dan Komisi III DPRD. Senin ( 16/12/ 2024 ). Masyarakat Hukum Adat Amanuban yang dipimpin oleh Usif Wemrids Nope atau Usif Wellem Nope memenuhi undangan dimaksud.

Pertemuan ini dipimpin oleh wakil ketua I DPRD TTS Yoksan Benu, dihadiri oleh ketua Komisi I dan III beserta beberapa anggota komisi masing-masing dan dihadiri oleh pihak UPTD KPH Kehutanan TTS.

Dalam pertemuan tersebut, Usif Wellem Nope menjelaskan secara gamblang bahwa tindakan pihak Kementerian Kehutanan dengan memasukkan permukiman rakyat Amanuban menjadi Kawasan Hutan itu sangat tidak manusiawi.

"Sewaktu masa Kerajaan Amanuban, raja mencintai masyarakat dengan memberikan ruang hidup berupa tanah. Tapi setelah bergabung dengan Indonesia ternyata di tahun 1980an pemerintah mengambil alih permukiman masyarakat Amanuban menjadi kawasan hutan sehingga masyarakat Amanuban dianggap makhluk liar penghuni Kawasan hutanLaob Tumbesi"  jelas Usif Wellem Nope penuh emosi.


Usif Wellem Nope. Foto : Ist.

Nope menambahkan bahwa pihak Sonaf Amanuban sangat menyesali dokumen korespondensi Kementrian Kehutanan Republik Indonesia yang jelas-jelas menyebutkan bahwa kerajaan Amanuban itu tidak ada dan masyarakatnya itu dianggap tinggal secara ilegal di tanah mereka.

 

Sekretaris Persekutuan Masyarakat Hukum Adat Amanuban Pina Ope Nope kemudian menjelaskan terkait peristiwa ini dengan rinci dari awal persoalan ini yaitu pengakuan pihak Kehutanan dalam dokumen Ombudsman RI tentang dimasukannya permukiman warga menjadi kawasan Hutan di tahun 1980an dengan menggabungkan 15 titik Hutan Adat dari Mollo hingga Amanuban dan Amanatun.

Pina Ope Nope juga mengaitkan keputusan MK nomor 45 tahun 2011 yang seharusnya bersifat umum dan mengikat sehingga SK Menteri Kehutanan ini harusnya sudah batal demi hukum.

Ketua persidangan Yoksan Benu, menyatakan akan menampung aspirasi ini untuk dicarikan jalan keluarnya.

Tanah kembali mau di bikin apa?

Menanggapi pernyataan dari Persekutuan Masyarakat Hukum Adat Amanuban, pihak UPTD KPH Kehutanan TTS  beserta beberapa staf seperti Semuel Boru, Kepala Seksi perlindungan , KSDAE, dan pemberdayaan masyarakat menyatakan bahwa pihak Kementerian Kehutanan Republik Indonesia Sudah bersurat kepada Pina Ope Nope di sonaf Sonkolo.

"Pihak kementerian sudah membuka ruang yang sangat longgar untuk ditindaklanjuti pihak masyarakat Amanuban. Seharusnya yang perlu dilakukan saudara Pina Ope Nope adalah menginventarisir tanah-tanah milik siapa yang mau dibebaskan dan milik siapa yang tidak dengan memberikan titik koordinat dan sesuai instruksi surat akan dimasukkan dalam Rencana Tata Ruang dan Tata Wilayah (RTRW) yang akan diperdakan tahun depan. RTRW kita sudah berusia 12 tahun dan memang harus direvisi" jelas Boru.

 

Senada dengan Boru, Christian Koenunu, Kepala Seksi perencanaan dan pengelolaan Hutan menimpali hutan Laob Tumbesi tidak ada tanah kosong kecuali 15 titik hutan milik Belanda.

" Memang harus diakui bahwa apabila dilihat dari foto satelit seluruh kawasan Hutan Laob Tumbesi tidak ada tanah kosong kecuali yang 15 titik Hutan milik Belanda itu," ujar Christian.

Menanggapi itu Pina Ope Nope menimpali bahwa itu bukan hutan Belanda tapi hutan adat yang ditetapkan dalam program Indische Strachterling.


Warga Adat Amanuban minta Hutan Laob Tumbesi dikembalikan pada mereka. Foto : Ist 

Anggota DPRD TTS, Yusuf Soru justeu menanggapi dengan penekanan kalau tanah itu kembali masyarakat mau berbuat apa di atas tanah tersebut.

"Kalaupun nanti om Pina dan bapa mama dorang ( mereka_red) berjuang tanah rakyat kembali mau diapakan?" tanya Yusuf Soru.

Pertanyaan Soru ini walaupun sudah dijawab secara baik bahwa masyarakat membutuhkan sebagai lahan pertanian dan perkebunan namun memantik reaksi keras dari pihak Mahasiswa Aliansi.

Erka dari aliansi mahasiswa menyebutkan itu tanah rakyat dan mereka membutuhkan sebagai sumber penghidupan, tak ayal adu argumen ini hampir memancing keributan.

Beruntung suasana bisa di netralkan dan Soru melakukan aksi Walk Out sebagai bentuk keberatan atas jawaban mahasiswa ini.

 

Berbeda dengan Soru, Anggota DPRD TTS dari fraksi PDIP, Yerim Yos Fallo dengan tegas menyatakan bahwa tindakan pemerintah dengan mencaplok tanah rakyat di kabupaten TTS itu tindakan sewenang-wenang dan tidak manusiawi.

"Sudah seharusnya kita taat asas, Keputusan MK tahun 2011 adalah keputusan tertinggi dan pihak kementerian kehutanan dengan mengeluarkan SK tahun 2016 itu sudah seharusnya batal demi hukum" jawab Fallo berapi-api di tengah tepuk tangan masyarakat.

Semuel Boru lalu menanggapi bahwa kewenangan UPT TTS terbatas.

" Kewenangan UPT TTS terbatas," jawabnya singkat.

Pertemuan dilanjutkan sampai jam 4 sore dalam diskusi yang serius dan dilanjutkan dengan penurunan fungsi cagar alam Mutis menjadi Taman Nasional.

"Kami mengapresiasi perjuangan Usif Wellem dan Naimnuke Pina beserta seluruh masyarakat Amanuban, Kami akan menampungkan semua pendapat dan akan meneruskan kepada Pimpinan DPRD TTS untuk ditindaklanjuti," tandas Yoksan Benu kepada peserta rapat.

Topik Menarik