Mengenal Adat Gagrak Ngayogyakarta, Busana Khas Kota Yogyakarta
JAKARTA, iNews.id - Mengenal adat Gagrak Ngayogyakarta yang merupakan salah satu warisan leluhur di Bumi Mataram. Gagrak Ngayogyakarta merupakan pakaian adat Kota Yogyakarta yang banyak memiliki filosofi dan makna.
Kota Yogyakarta dikenal kaya dengan adat budaya yang adiluhung. Dahulu Kota Yogyakarta merupakan pusat pemerintahan pada zaman Kerajaan Mataram Islam sehingga banyak meninggalkan warisan budaya. Salah satunya adat Gagrak Ngayogyakarta yang sampai saat ini masih dilestarikan.
Pemerintah Daerah (Pemda) DIY telah membuat kebijakan setiap hari Kamis Pahing seluruh siswa sekolah dari level SD hingga SMA/SMK aaupun pegawai diwajibkan mengenakan pakaian adat tradisional Gagrak Ngayogyakarta. Ini merupakan salah satu bagian pembentukan karakter.
Mengenal Adat Gagrak Ngayogyakarta
Gagrak Ngayogyakarta merupakan busana adat yang ada di Kota Yogyakarta. Hari Kamis Pahing dipilih untuk memperingati masa perpindahan Pesanggrahan Sultan Hamengkubuwono I beserta keluarga dari Ambarketawang menuju Keraton Yogyakarta.
Dalam pemakaian adat Gagrak Ngayogyakarta, perlu memperhatikan tata cara pemakaiannya. Pakaian adat Gagrak memiliki komponen dan filosofi yang penuh dengan makna.
Komponen dan Filosofi Adat Gagrak Ngayogyakarta
Busana Gagrak Ngayogyakarta memiliki beberapa elemen yang banyak memiliki arti dan makna. Busana yang dikenakan kaum pria juga berbeda dengan wanita.
Busana pria
Busana pria terdiri atas berbagai bagian, dari penutup kepala baju, hingga bawahan. Semuanya juga memiliki makna dan lambang-lambang. Berikut ini bagian dari pakaian pria
1.Blangkon dengan Mondol
Blangkon merupakan sejenis tutup kepala tradisional di Yogyakarta. Pada bagian belakang blangkon terdapat mondol yang menggambarkan kondisi pada zaman dahulu di mana rakyat Yogyakarta memiliki rambut panjang yang sering digelung atau diikat. Filosofi dari blangkon yakni ikat yang digunakan di kepala untuk mengingatkan ego manusia sehingga tidak ada rasa sombong di dalam dirinya.
2.Surjan
Surjan adalah pakaian atasan yang biasanya digunakan oleh pria dalam berbagai acara adat, upacara, dan acara resmi. Surjan yang biasa digunakan adalah surjan dengan motif lurik yang menggambarkan kesederhanaan. Sedangkan surjan bermotif kembangan atau bunga, merupakan motif yang diperuntukkan untuk Raja.
Namun pada era saat ini, motif bunga dapat dikenakan oleh masyarakat biasa asal tidak dipakai di dalam Keraton Yogyakarta. Filosofi dari surjan yakni manusia dapat menerangi sekitar dengan jalannya masing-masing.
3.Jarik
Jarik adalah sejenis kain panjang yang umumnya dikenakan sebagai bagian dari pakaian tradisional di Yogyakarta dan budaya Jawa pada umumnya. Pria seringkali membungkus jarik di sekitar pinggang sebagai bagian dari pakaian tradisional, seperti dalam kombinasi dengan surjan (atasan) atau sebagai bagian dari pakaian pengantin adat Jawa.
Jarik merupakan singkatan dari Aja Serik yang berarti jangan iri. Kata lain dari jarik adalah Bebet (Krama lugu) dan Sinjang (Krama alus). Bebet diambil dari kata Ubet yang berarti sebagai manusia harus tanggap dan peka dengan keadaan sekitar.
4.Stagen dan Sabuk
Stagen adalah sejenis kain yang digunakan untuk mengikat dan membungkus pinggang, sedangkan sabuk adalah aksesoris yang digunakan untuk mengikat pakaian dan juga untuk memberikan sentuhan estetika pada pakaian.
Stagen dan sabuk digunakan untuk komponen jarik. Kedua komponen tersebut digunakan pada perut, filosofinya untuk meminimalisir atau mengendalikan nafsu manusia karena perut merupakan pusat nafsu dunia.
5.Selop
Selop merupakan sepatu yang digunakan dalam busana Gagrak Ngayogyakarta. Selop dapat disebut dengan Canela dalam Bahasa Jawa, yang merupakan singkatan dari canthelna jroning nala. Ketika menggunakan selop, pemakainya akan terhindar dari duri. Oleh karena itu, dengan menggunakan selop dapat diartikan sebagai penanda manusia harus memiliki landasan kehidupan yang baik. Landasan hidup yang dimaksud adalah agama masing-masing.
6. Timang
Timang adalah hiasan yang digunakan pada stagen. Timang berasal dari kata nimang yang berarti menimbang. Filosofi dari timang adalah bahwa manusia diperingatkan untuk menimbang hal yang baik dan buruk, hal yang harus dilakukan dan tidak dilakukan.
Busana Perempuan
Busana perempuan juga tidak kalah dengan busana pria. Semuanya juga memiliki makna.
1.Kebaya
Kebaya adalah pakaian tradisional perempuan khas Yogyakarta. Kebaya yang digunakan oleh perempuan dalam Gagrak Ngayogyakarta adalah kebaya Kartini atau yang biasa disebut tangkepan. Model tangkepan yakni model dengan dengan bagian dada menyatu, tanpa adanya kutu baru.
Kebaya diartikan sebagai rasukan yang merupakan Krama lugu dari klambi atau pakaian. Rasukan berasal dari kata rasuk yang berarti masuk. Filosofi dari kebaya ini yakni manusia diajarkan untuk memiliki agama yang digunakan sebagai landasan hidup.
2.Jarik
Jarik juga dapat dikenakan oleh wanita, biasanya dengan gaya dan teknik yang berbeda. Wanita sering mengenakannya sebagai bagian dari kebaya (atasan) dalam acara adat seperti pernikahan atau upacara lainnya.
Motif jarik yang harus dihindari adalah pola parang, terutama parang barong dan parang soblok. Motif batik parang barong merupakan pola jarik untuk raja, sedangkan parang soblok digunakan untuk orang meninggal. Pola yang dapat digunakan masyarakat umum adalah kawung. Kawung memiliki filosofi yaitu mengajarkan manusia empat kiblat lima pancer, yaitu asal-usul manusia dan melambangkan kesederhanaan.
3.Rambut atau Gelung
Bagi perempuan yang tidak menggunakan jilbab, rambut dapat digelung. Untuk perempuan yang sudah menikah dapat ditambahkan dengan hiasan bunga. Sedangkan untuk perempuan yang belum menikah, gelung rambut tidak diberikan bunga.
Itulah tadi penjelasan dan filosofi tentang adat Gagrak Ngayogyakarta. Semoga ulasan tadi bermanfaat dan bisa mengetahui makna dari setiap busana khas Kota Yogyakarta.