Ayunan Jantra, Permainan Tradisional Bali Bernilai Sakral tentang Kehidupan Manusia
JAKARTA, iNews.id - Masyarakat Bali mengenal Ayunan Jantra. Ini adalah permainan tradisional yang memiliki nilai sakral.
Sering pula masyarakat Bali menyebut permainan ini sebagai Ayunan Betara. Di beberapa desa adat di Bali, Ayunan Jantra masih bisa ditemui. Salah satunya di Desa Terunyan, Kintamani, Kabupaten Bangli.
Dikutip dari laman Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), Ayunan Jantra biasa digelar bertepatan dengan pelaksanaan upacara Ngusaba Gede Lanang Kapat, yang merupakan rangkaian upacara Piodalan di Pura Desa Pancering Jagat di Desa Terunyan.
Ayunan Jantra oleh di Desa Terunyan berbentuk Tapak Dara (swastika). Terbuat dari dua jenis kayu, yaitu kayu kesuna dan kayu owa. Benda ini menjadi artefak dalam upacara Ngusaba Gede Lanang Kapat yang pelaksanaannya biasa dilakukan dua tahun sekali.
Filosofi Ayunan Jantra
Dalam filosofi masyarakat Desa Terunyan, kehidupan manusia diibaratkan sebagai sebuah perputaran roda kehidupan yang disimbolkan dengan ayunan jantra. Ayunan ini mirip dengan simbol swastika, bisa diputar ke arah kanan dan ke arah kiri, sebagai simbol keseimbangan dalam hidup.
Hal inilah yang dijadikan pedoman untuk melihat keadaan kehidupan masyarakat Terunyan. Dengan demikian, dalam kehidupan masyarakatnya dapat dilihat tidak ada warga desa yang kaya sekali atau miskin sekali.
Dalam kehidupan masyarakat Desa Terunyan dikenal istilah Sibak Luh dan Sibak Muani. Istilah ini merupakan pembagian kelompok masyarakat di Desa Terunyan yang terdiri dari Sibak Kaje (Sibak Luh) dan Sibak Kelod (Sibak Muani).
Untuk membuat Ayunan Jantra, Krama Sibak Luh dan Sibak Muani harus bekerja secara bersama-sama, mulai dari mencari kayu kesuna dan kayu owa.
Kayu kesuna akan dicari di hutan sekitar Terunyan oleh warga Sibak Luh dan kayu owa akan dicari oleh Sibak Muani. Setelah kayu ini ditemukan kemudian dibuat persiapan untuk membuat canggah (tiang penopang).
Geliatkan Wisata di Karanganyar, Diskominfo Ajak Wartawan Belajar Pariwisata di Pulau Bali
Apabila canggah dari kayu kesuna sudah selesai dibuat dan canggah satu lagi dari kayu owa juga sudah selesai disiapkan, maka tahap berikutnya adalah mendirikan tiang ayunan.
Tiang ayunan dari kayu kesuna akan ditancapkan oleh warga Sibak Luh di sebelah timur (kaja/utara di Terunyan) dan tiang kayu dari owa akan ditancapkan di sebelah barat (kelod/selatan Terunyan).
Kemudian dilanjutkan dengan mempersiapkan tempat duduk ayunan yang jumlahnya empat buah. Setelah selesai ayunan ini, maka warga yang naik juga harus dari krama Sibak Luh dan Sibak Muani secara bergantian.
Sebelum melakukan acara inti dari permainan ayunan jantra, diawali dengan upacara Mantening Ayunan. Upacara ini merupakan upacara untuk memberi sajian kepada ayunan jantra.
Upacara ini biasanya dilakukan pada malam hari, karena pada pagi dan siang harinya dipergunakan untuk mempersiapkan bahan-bahan yang diperlukan untuk keperluan sajian. Seperti menyembelih seekor babi besar, mengukir janur, daun kelapa muda, daun lontar dan daun aren.
Permainan ini diamanatkan untuk dapat dimanfaatkan sebagai sarana hiburan bagi masyarakat Terunyan khususnya. Secara filosofis, Ayunan Jantra memiliki makna sebagai perputaran kehidupan di dunia ini.
Dikaitkan dengan roda perputaran nasib, karma, perjalanan hidup mengabdi atau menjalankan kewajiban (swadharma) ketika masuk menjadi karma (warga).
Roda perputaran kehidupan di dunia ini dikaitkan dengan filosofi kelahiran utpeti, kehidupan stiti, kematian praline dan reinkarnasi (numitis/numadi), yaitu lahir kembali ke dunia ini. Apakah sebagai manusia, binatang/hewan, serangga dan lain-lain sesuai dengan baik atau buruknya perbuatan seseorang (cubha acubha karma) ketika mereka hidup di dunia sebelumnya.