Larung Sesaji, Tradisi dan Budaya Kota Malang di Sungai Brantas
GenPI.co Jatim - Larung sesaji di Sungai Brantas masih dipegang erat oleh sejumlah seniman dan budayawan di Kota Malang.
Para seniman dan budayawan melakukan larung sesaji di kampung keramik Dinoyo, berdoa dengan harapan masyarakat selalu diberi keselamatan.
Ketua Forkom Pokdarwis Kota Malang , Isa Wahyudi mengatakan, Festival Kali Brantas berlangsung di 7 kampung tematik yang ada di sana.
Alasan memilih 7 kampung tematik karena dilewati aliran Sungai Brantas.
Ke-7 kampung tematik itu antara lain, Kampung Keramik Dinoyo, Kampung Gerabah Penanggungan, Kampung Putih Klojen, Kampung Biru Arema, Kampung Tridi Kesatrian, Kampung Warna Warni Jodipan dan terakhir Kampung Lampion Jodipan. Festival ini sendiri telah dimulai sejak 24 Juli hingga 27 Juli mendatang.
Kegiatan ini ada 7 kampung tematik yang di pilih karena di lewati aliran sungai Brantas, ujar Ki Demang sapaan akrabnya kepada GenPI.co Jatim, Minggu (24/7).
Dia menjelaskan, tradisi larung sesaji pertama dimulai dari Kampung Keramik Dinoyo, bertujuan dalam rangka memperingati Hari Sungai Nasional yang jatuh pada 27 Juli 2022.
Ini kegiatan pertama kali dan di harapkan terus rutin setiap tahunnya, ujarnya.
Larung saji dalam prosesinya, budayawan mulai melakukan ritual dengan membawa ikan yang diwahadi dengan keramik. Ikan-ikan tersebut kemudian dilarungkan ke sungai bersama dengan sesaji lainnya.
Total ada 300 ekor ikan endemik yang di larung ke sungai seperti jenis ikan wader, ikan koi dan ikan kotes. Selain itu, dalam ritual tersebut juga di lengkapi berbagai jenis sesajen seperti polo pendem, umbarampe, tumpeng, jenang sengkolo dan lainnya.
Setelah itu di bawa ke atas, terus makanan di makan bersama-sama, katanya.
Ki Demang berharap dengan adanya kegiatan Festival Kali Brantas dapat kembali membangun kesadaran masyarakat sebagai gerakan peduli lingkungan dengan memerhatikan kondisi sungai.
Sehingga dengan begitu, kampung tematik tersebut bisa berdampak positif untuk lebih di kenal oleh masyarakat dan bisa di kunjungi oleh wisatawan.
Harus di tekankan bahwa pelestarian lingkungan tidak bisa terlepas dari tradisi atau budaya, maka ritual yang ada tetap harus di lakukan supaya tidak punah, pungkasnya. (*)
Simak video pilihan redaksi berikut ini: