Sejarah Perjalanan Nama Serang dari Kolonial hingga Saat Ini, Berikut Fakta Dibaliknya
Perjalanan nama Kota Serang bermula pada 1816, dibawah pimpinan Gubernur Vander Capellen, Belanda datang ke Banten untuk mengambil alih kekuasaan dari Sultan Muhammad Rafiudin. Belanda kemudian membagi Banten menjadi tiga wilayah, yaitu Serang, Lebak, dan Caringin, yang masing-masing dipimpin oleh bupati.
Bupati pertama untuk Serang adalah Pangeran Aria Adi Santika. Hingga masa pendudukan Jepang dan setelah kemerdekaan Indonesia, jabatan bupati untuk wilayah ini tetap dipegang oleh orang pribumi. Setelah Agresi Militer Belanda II, daerah Serang menjadi salah satu kabupaten di wilayah Provinsi Jawa Barat.
Berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Tingkat II Serang No.17 Tahun 1985, Hari Lahir Kabupaten Serang ditetapkan pada 8 Oktober 1526. Hari lahir Kabupaten Serang itu diambil dari dimulainya Sultan Maulana Hasanuddin memerintah Kesultanan Banten.
Residensi Seni Kentrung Jepara...
Sejak 4 Oktober 2000, Kabupaten Serang resmi menjadi bagian dari Provinsi Banten. Kota Serang sekarang ini merupakan daerah otonom hasil pemekaran dari Kabupaten Serang. Kota Serang resmi berdiri melalui Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2007 tentang Pembentukan Kota Serang di Provinsi Banten, yang disahkan pada 10 Agustus 2007.
Namun, cikal bakal terbentuknya Kota Serang tidak jauh dari sejarah Banten, karena kota ini dulunya bagian dari Kesultanan Banten yang berdiri sejak abad ke-16.
Sebelum abad ke-16, berita-berita tentang Banten tidak banyak tercatat dalam sejarah dan hanya diketahui bahwa wilayah ini merupakan bagian dari Kerajaan Sunda.
Menurut versi salah satu sejarah, ketika tanah Sunda masih dalam kekuasaan Kerajaan Pajajaran, di Banten ada dua kerajaan, yaitu Kerajaan Banten Girang dan Kerajaan Banten Pasisir.
Kerajaan Banten Girang dipimpin oleh Adipati Suragana dan Banten Pasisir dipimpin oleh Adipati Surosowan.
Konon, kedua pemimpin ini merupakan putra dari Prabu Siliwangi. Adipati Surosowan memiliki seorang putri bernama Kawung Anten yang kemudian dinikahkan dengan Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati.
Dari pasangan ini, lahir putra bernama Maulana Hasanuddin atau Pangeran Sabakingking, yang pandai dalam memerintah kerajaan.
Maulana Hasanuddin berhasil menaklukkan Banten Girang pada 1525 dan mempertemukannya dengan Banten Pasisir.
Setelah itu, Maulana Hasanuddin mendirikan kesultanan Islam pertama di Banten yang kemudian dikenal sebagai Kesultanan Banten.
Maulana Hasanuddin kemudian membangun keraton yang berfungsi sebagai pusat pemerintahan dan pusat kota, yang bernama Keraton Surosowan (sekarang terletak di Kecamatan Kasemen, Kota Serang).
Setelah Maulana Hasanuddin wafat pada 1570, tampuk kekuasaan diteruskan oleh putranya, Maulana Yusuf sebagai Sultan Banten II.
Pada 1596, Maulana Yusuf menghadapi beragam peristiwa, salah satunya adalah orang-orang Belanda datang untuk pertama kalinya di Pelabuhan Banten yang dipimpin oleh Cornelis de Houtman.
Namun, karena sifat congkak dari orang-orang Belanda, pemerintah Banten tidak mau bersimpati kepada mereka, sehingga kerap terjadi selisih paham yang berlangsung sangat lama.
Pada 1651, pemerintahan Banten dipegang oleh Sultan Ageng Tirtayasa. Selama masa pemerintahannya, politik, ekonomi, perdagangan, pelayaran, dan kebudayaan berkembang sangat pesat.
Di saat yang sama, bentrokan dan peperangan antara Belanda dengan pemerintah Banten semakin sering terjadi karena Sultan Ageng Tirtayasa sangat membenci Belanda.
Untuk melumpuhkan Sultan Ageng Tirtayasa, Belanda mempraktikkan devide et impera atau politik adu domba.
Pada akhirnya, karena bujukan sang anak, Sultan Haji, yang telah dipengaruhi Belanda, Sultan Ageng Tirtayasa berhasil ditangkap dan dipenjara di Batavia sampai akhir hidupnya tahun 1692.
Sejak saat itu, Kesultanan Banten mulai mengalami kemunduran, bahkan dapat dikatakan jatuh ke tangan Belanda.