Jaga Ketahanan Pangan, Deregulasi Impor Pangan Harus Diimbangi Langkah Ini
IDXChannel - Kebijakan deregulasi impor pangan yang tengah menjadi perhatian, terutama terkait dengan potensi dampak tarif dari kebijakan Presiden AS Donald Trump, harus diimbangi dengan upaya serius untuk meningkatkan produksi pangan dalam negeri.
Pengamat Pangan IPB University Sahara mengatakan, hampir semua negara memiliki perhatian yang sama terhadap sektor pangan dan pertanian.
"Kita lihat dulu dari semua negara itu punya concern yang sama yaitu sektor pangan atau sektor pertanian, presiden Trump salah satu alasan beliau memberlakukan tarif resiprokal tersebut karena terjadi defisit di neraca perdagangan untuk pangan dan pertanian," ujarnya dalam Market Review IDX Channel, Selasa (15/4/2025).
Dia menyoroti pentingnya menjaga neraca perdagangan pangan agar tidak defisit, seperti yang menjadi perhatian Trump.
"Beliau mengatakan itu tidak boleh defisit karena sektor pangan dan pertanian itu berperan sangat penting, begitu juga dengan pemerintah Indonesia itu kita harus benar-benar memperhatikan itu terutama defisit neraca perdagangan itu," kata Sahara.
Meskipun pemerintah telah menyatakan tidak akan mengimpor beras, Sahara mengingatkan impor komoditas pangan lainnya masih tinggi.
"Untuk beras kita tahu bahwa pemerintah sudah menyatakan tidak impor, tapi untuk komoditas lain, itu impornya masih banyak, gula, keperluan konsumsi, garam, industri, termasuk juga kedelai juga jagung yang juga industri dan konsumsi," katanya.
Dia pun lantas menekankan pentingnya perlindungan terhadap produk pertanian yang diusahakan oleh petani dalam negeri.
"Memang ya kebijakan di pangan kita harus liat juga adanya sensitively product, itu adalah produk pertanian yang diusahakan oleh petani-petani yang ada di Indonesia, contohnya beras, makanya Malaysia, India itu mengenakan tarif yang tinggi untuk beras yang termasuk diprotes oleh Trump," ujarnya.
"Tetapi mereka mengatakan ini penting untuk melindungi produsen kami yang ada di dalam negeri, karena apa? Pasar yang ada di produk pertanian itu di tingkat global itu residual market," kata dia.
Sahara menjelaskan, residual market berarti negara lain baru akan mengekspor produk pangan mereka jika kebutuhan dalam negeri sudah terpenuhi.
"Residual market itu artinya apa? Negara lain baru mau mengekspor produk pangan mereka manakala di dalam negeri itu sudah mencukupi, ketika di dalam negeri belum mencukupi, maka mereka mau mengekspor," katanya.
Oleh karena itu, dia mengingatkan agar Indonesia mengantisipasi potensi pembatasan ekspor pangan oleh negara lain.
"Nah indonesia harus mengantisipasi itu, misalkan kalau mau membebaskan semuanya kemudian dikenakan tarif serendah mungkin, lalu tidak diikuti dengan upaya peningkatan produksi di dalam negeri melalui yang tadi ekstensifikasi dan intensifikasi sebagainya, konsumen happy untuk jangka pendek, tetapi dalam jangka panjang nanti ketika negara lain membatasi ekspor pangan, lah kita mau ke mana? Itu yang harus diperhatikan," ujar dia.
Dengan demikian, Sahara menegaskan, upaya deregulasi impor harus sejalan dengan peningkatan produksi dalam negeri.
"Upaya deregulasi impor harus diikuti dengan upaya untuk meningkatkan produksi di dalam negeri. Katakanlah kita mengenakan tarif untuk jagung yang kita impor, gula dan sebagainya, tarif itulah yang berasal dari penerimaan tarif itulah yang digunakan untuk upaya-upaya meningkatkan produksi pangan yang strategis," katanya.
(Dhera Arizona)